Sang Penterjemah 6 bisa di baca di sini
Sesorean itu aku mulai sibuk mencari bahan-bahan lukis. Arang untuk warna hitam mudah didapat. Untuk merah dan coklat bisa kugunakan getah pohon yang dicampur air. Kini aku perlu putih. Aku melaju ke bibir sungai dan berjalan sedikit ke rerimbunan. Sejumlah bocah asyik mandi di sungai, telanjang dengan suara riuh dan saling sembur air.
Aku terus berjalan di antara pepohonan di pinggir sungai. Beberapacangkang kerang dan siput-siputan berserak di pinggiran sungai; kukais satu demi satu dan kukumpulkan dalam sebuah keranjang anyaman daun pohon kelapa.
Matahari agak condong ke barat. Sinar matahari sore menerobos di antara pepohonan. Sepi sekali di sekitar situ. Tapi tunggu dulu, bisa kudengar suara tawa nyaring dari kejauhan; suara perempuan. Aku melangkah ke arah suara itu dan menyibak perdu-perdu di hadapanku.
Amboi! Tiga perempuan muda tengah mandi di bawah sebuah pancuran yang mengalir dari gundukan tanah. Air pancuran jatuh bergemericik di sendang di bawahnya. Tumpukan busana para perempuan itu terhampar di bebatuan tak jauh dari mereka. Perempuan-perempuan berkulit cerah itu mandi tanpa sepotong kainpun.
Aku merogoh sepotong arang dari keranjang, dan kuratakan pelepah kering daun kelapa yang tadi kupungut di jalan. Mulai kugoreskan tipis-tipis pemandangan tiga perempuan itu dalam lembaran lukisku.
Lama aku duduk menatap dan melukis tiga perempuan berambut panjang dalam siraman sejuk air pancuran di sore hari. Aku berdoa, semoga perempuan-perempuan itu tidak memergoki aku.Untunglah tak satupun dari mereka memergoki aku mengintip mereka, sampai kemudian mereka berkemas, berpakaian dan berlalu ke arah lain.
Aku membawa pulang lembaran lukisku. Cukup sudah goresan-goresan arang itu membentuk gambar dasar tiga perempuan cantik mandi di sungai. Aku meneruskan lukisanku dengan mewarnainya di depan tempat peristirahatanku. Warna putih sudah kudapatkan dengan membawan cangkang kerang, menggerusnya dan mencapurnya dengan air.
Esok harinya, aku tak perlu bekerja menyiapkan gajah. Nyai Apsara harus ke istana raja dengan Pibulwongsawat. Mereka berangkat ke istana dengan perahu-perahu kerajaan yang berdermaga tak jauh dari padepokan Pibulwongsawat. Kata temanku sesama perawat gajah, Pibulwongsawat memang punya jadwal menemani raja berperahu keliling sungai untuk menemui rakyat.
Karena tak ada pekerjaan mengawal gajah, para gajah dimandikan di anak sungai. Kami menggiring dua belas gajah ke tempat pemandian gajah. Sedikit siang, aku melihat iring-iringan perahu kerajaan melintas aliran sungai tak jauh dari tempat pemandian gajah. Pada iringan paling depan adalah perahu yang dinaiki oleh Pibulwongsawat, lengkap dengan bendera tanda penjaga keamanan kerajaan. Pibulwongsawat duduk dalam naungan teduh di atas perahu dengan mata awas menyorot setiap sudut sungai. 20 orang pendayung bekerja dalam 10 barisan di kanan dan di kiri dengan gerakan dayung yang selaras dan seirama.
Di belakang perahu Pibulwongsawat adalah perahu Raja Ramathibodi beserta permaisuri dan selir-selirnya. Naungan di atas perahu penuh dengan hiasan berukir dan panji-panji simbul kenegaraan.
Tak jauh dari peahu raja adalah perahu yang dinaiki sejumlah perempuan. Kulihat Apsara ada di perahu itu bersama dua istri Pibulwongsawat lainnya.
Rakyat di sepanjang aliran sungai langsung merunduk rata dengan tanah dengan tangan terjulur rata pula dengan tanah menghaturkan sembah.
Seusai memandikan gajah, aku berkutat dengan lembaran lukisan. Kugoreskan lukisan kapal-kapal kerajaan di sungai itu.
***
Beberapa hari ini tampaknya Apsara harus berkunjung ke istana raja untuk pekerjaan menterjemahkan, dan aku menyibukkan diri dengan pewarnaan lukisanku. Kini lukisan itu mulai terlihat seperti suasana aslinya dengan warna-warna yang mendekati aslinya pula. Aku akan tunjukkan lukisan ini pada Apsara nanti kalau ketemu dia.
Eh, tapi sudah berapa lama aku tak bertemu Nyai cantik itu? Ada rasa tak nyaman di hatiku. Rasanya ingin melihat Apsara barang sejenak. Ingin dapat senyumnya, ingin menatap rambutnya. Ah, gila! Aku merindukan Apsara rupanya.
“Rakandi, sedang apa kau?” tiba-tiba pagi itu Apsara berdiri di sebelahku. Aku merunduk ke tanah dan memberinya hormat. Apsara hadir tanpa ditemani emban.
“Saya sedang menyempurnakan bahan-bahan lukisan saya, Nyai,” ucapku, mendongakkan kepala, menatapnya sebentar.
“Berarti bahan-bahan sudah siap?”
“Sudah, Nyai. Saya sudah pula mencoba melukis kapal-kapal kerajaan. Apakah Nyai berkenan melihatnya?”
Apsara mengangguk. Aku membeber lukisan perahu-perahu kerajaan. Apsara mengambil lukisan itu dari tanganku dengan mata membundar.
“Kau punya bakat, Rakandi. Lukisanmu bagus, terlihat hidup dan beraneka rona,” puji Apsara.
“Terimakasih, Nyai!”
“Sekarang aku ingin tahu apakah kau juga hebat dalam melukis manusia. Aku mau dilukis, untuk hadiah ulangtahun Tuanku Pibulwongsawat” kata Apsara.
“Siap, Nyai. Sekarang?”
“Ya! Aku akan duduk di balai-balai ini,” Apsara melangkah ke balai-balai tak jauh dari bagian depan padepokan. Sementara itu emban datang membawakan nampan berisi makanan yang diletakkan di bale-bale tempat Apsara duduk.
Aku menyiapkan lembar lukisan, pewarna dan kuas baru yang baru kubuat dengan serabut kelapa. Apsara membetulkan tatanan rambutnya yang terurai dan duduk manis di bale-bale dengan menyungging senyum.
Bersemangat aku mulai membuat goresan dasar. Dan inilah saat yang paling indah dalam hidupku, menatap wajah Apsara berlama-lama dan memindahkan aura cantiknya ke dalam lukisan. Dan senyum itu, meski sebenarnya ditujukan untuk mendapatkan citra ramah, tetap saja kuanggap sebagai senyum yang sengaja dilontarkan padaku, apalagi dengan mata yang jarang berkedip menatapku bekerja.
Emban menanti dengan sabar dengan duduk bersimpuh tak jauh dari aku, turut memperhatikan hasil kerjaku yang sebentar lagi rampung. Kini aku tengah memberinya warna yang sesuai; warna kulit yang cerah, warna rambut, warna latar belakang, warna makanan dalam nampan dan warna busana kemben Apsara yang hanya sampai di garis dada, selendang yang terlilit di lengan, dengan bahu bersih yang seperti memantulkan cahaya matahari.
(hasil lukisan Apsara bisa dililihat di sini )
“Oii, suay maaak,” emban berkomentar melihat hasil lukisanku. Aku tahu itu maksudnya ‘cantik sekali’.
Aku tak berani menirukan ucapan emban yang bernada memuji itu, takut Apsara gusar. Jadi aku junjung lukisan itu di kepalaku dan kuserahkan pada Apsara sambil merunduk.
“Silakan lukisannya, Nyai!” kataku. Apsara menyambut lukisan itu.
“Hm, bagus sekali. Bagus sekali. Saya suka ini. Tuanku Pibulwongsawat pasti akan suka ini,” kata Apsara dengan wajah berbinar. “Kau bisa menjadi seniman hebat dan bisa puila melukis untuk raja, Rakandi”
“Belum berani, Nyai. Belum terlalu bagus,” kataku. “Tapi saya harap, tuanku Pibulwongsawat akan suka itu,”
“Ya, Anda saja beliau ada di sini. Beliau menemani raja dalam perjalanan kunjungan ke kerajaan-kerajaan kecil di utara,” kata Apsara. “Nanti sepulangnya akan kupersembahkan pada suamiku,” ujar Apsara.
“Saya senang mendengarnya, Nyai!” kataku, menatapnya dalam sembahku, sembari mengingatkan agar lukisan tidak digulung dulu karena masih basah.
“Akan lebih baik bila diberi bingkai. Kalau Nyai tak keberatan, biarlah saya tahan lukisan barang sehari untuk saya carikan bingkai kayu,” kataku.
“Oh, itu bagus!” Apsara menyerahkan lukisan itu kepadaku lagi. Aku menerimanya.
***
Harusnya aku segera mencari kayu bingkai. Tetapi sesiang itu aku terlalu sibuk menatap wajah Apsara dalam lukisan itu, dan semakin kutatap, aku bisa merasakan aku telah jatuh cinta pada perempuan ini, dan selalu ingin tak jauh pandangan dari perempuan cantik ini.
“Oi, katanya bikin bingkai. Kok menatap lukisan terus!” tiba-tiba saja Apsara, seeperti yang sudah-sudah berdiri tak jauh dariku.
“Ampun, Nyai. Saya….saya…..”
“Sudahlah, simpan dulu. Siapkan gajah saya. Saya mau ke jalan-jalan ke pusat desa, cuci mata”
Bergegas aku ke kandang gajah dan menyiapkan gajah kesayangan Apsara. Empat anak buah padepokan siap pula dengan pakaian kebesaran yang merupakan tindakan baku pengantaran Apsara bila keluar rumah. Gajah merunduk untuk memberi kesempatan Apsara menunggang gajah. Biasanya dua punggawa membantu menahan kaki Apsara ketika naik gajah. Tapi rupanya keduanya belum siap.
“Bantu aku!” kata Apsara.
“Memang boleh?” aku terkejut.
“Kali ini saja boleh”
Sigap aku mengangkat kedua belah kaki Apsara untuk naik ke pelana gajah. Berdebar dadaku menyentuh kaki perempuan itu. Kupastikan ia duduk aman di pelana gajah bernaungan itu. Berdesir lagi dadaku menatap Apsara dari bawah.
Dua punggawa berjalan di kiri dan dan dua lagi di kanan gajah, sementara aku memegang tongkat pengendali gajah, tak jauh dari belalai gajah. Kami mulai berjalan melintasi pinggiran sungai, dan berbelok ke arah jalan setapak untuk menuju ke pusat keramaian. Aku pernah ke pusat keramaian ini untuk membeli beberapa potong kain dan pengikat kepala, jaraknya lumayan jauh dari padepokan.
Iringan kecil itu tengah melewati sebuah jalanan dengan pohon-pohon besar di kanan kiri ketika tiba-tiba saja dari kanan dan kiri muncul beberapa lelaki dengan pedang terhunus. Gajah tersentak kaget. Dua punggawa bersiaga. Bisa kulihat orang-orang itu berbusana berbeda dengan kebanyakan orang Ayutthaya.
“Orang-orang Bama!” teriak Apsara. Teriakan Apsara disambut teriakan-teriakan tak ramah dari orang-orang itu. Dua punggawa langsung menghadang mereka. Hadangan itu langsung disambut sabetan pedang dari salah satu orang Bama itu. Tampaknya akan ada pertarungan tak imbang antara empat punggawa dan sekitar 10 orang Bama yang beringas itu.
“Celaka! Nyai, diam di tempat. Jangan bergerak!” kataku.
(BERSAMBUNG KE SINI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H