Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Penterjemah (6)

16 Juli 2012   08:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:54 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sang Penterjemah (5) bisa dibaca di sini

Kerajaan Ayutthaya, Siam, 1368 Masehi

Aku baru saja menggiring gajah ke pelataran ketika seorang punggawa menghampiriku dan memberi isyarat agar aku mengikutinya masuk ke ruang tengah padepokan. Di ruang itu, Tuanku Pibulwongsawat tengah duduk, di samping Apsara. Dua emban mengipasi Pibulwongsawat perlahan dengan kipas besar. Emban Apsara duduk di tanah tak jauh dari Apsara.

Aku merunduk di lantai dan menghaturkan sembah.

“Pagi ini kau menyelamatkan istriku dari serangan ular berbisa. Aku berhutang padamu,” ujar Pibulwongsawat seperti yang diterjemahkan oleh Apsara, “terimalah hadiah dariku, 50 kepeng tembaga,”

Seorang pembantu menyerahkan sekantung kepeng dengan santun padaku. Aku ragu menerimanya.

“Ampun, Tuanku. Saya tidak sengaja menolong Nyai Apsara. Sudah kewajiban sesama manusia untuk saling tolong menolong,” kataku, yang diteruskan oleh Apsara kepada Pibulwongsawat.

Ngu gap pha itu ular paling berbisa dan orang bisa mati dalam beberapa kedipan mata kalau ia tergigit. Aku berhutang besar padamu. Jangan biarkan aku berhutang,” suara Pibulwongsawat agar meninggi. Aku tahu ia tak suka diremehkan dengan penolakan ini. Aku menjunjung kantung uang itu di kepalaku dan berucap, “Khawp khun khap, Khun Pibulwongsawat”, terimakasih dalam bahasa Siam.

Pibulwongsawat tersenyum sedikit. “Rupanya sudah pula kau bisa bicara bahasa Siam?”

“Nyai Apsara yang bijak dan cerdas yang mengajari saya, Tuanku!” jawabku.

Aku mundur beberapa tapak setelah kulihat Pibulwongsawat tak lagi perlu bicara padaku. Aku kembali ke depan pelataran. Sekantung uang ini lumayan berat di tanganku, semuanya kepeng tembaga dari negeri Cina, persis seperti yang digunakan di Majapahit. Dengan 50 kepeng, di Majapahit, aku bisa hidup makmur selama duabelas purnama. Alangkah baik hati Tuanku Pibulwongsawat.

***

Menjelang siang, rekanku sesama perawat gajah mengisyaratkan agar aku mulai menyiapkan gajah lagi. Kali ini Tuanku Pibulwongsawat hendak menuju ke istana raja bersama Apsara. Ketika Apsara naik gajah di sebelah gajah Pibulwongsawat, ia berbisik sedikit.

“Tugas menerjemah. Ada lima ahli bangunan candi dari kerajaan Khmer di istana Yang Mulia Raja”. Apsara saat itu tampil resmi, dengan busana rapi, tapi masih dengan bahu terbuka lebar, dan rambut digelung ke atas.

Aku mengangguk, dan siap berjalan mengawal gajah tak jauh di bawah kaki Apsara yang duduk manis di atas pelana gajah.

Perjalanan ke istana raja Ramathibodhi tak makan waktu lama. Kawasan istana berada di bagian lain pulau Ayutthaya yang dikelilingi sungai. Sejumlah tanaman yang ditata asri melingkungi kawasan istana. Orang-orang yang berseliweran merunduk saat iring-iringan Pibulwongsawat, kepala keamanan kerajaan melintas.

Tuanku Pibulwongsawat segera menunduk rata dengan tanah menyampaikan sembah kepada raja Ramathibodhi, bersama Apsara. Aku berada di luar ruang utama istana bersama perawat gajah yang lain, terus merunduk dan harus mengikuti aturan untuk tidak menatap wajah raja.

Raja Ramathibodhi, terlihat sekilas, adalah seorang berwajah tegas, yang kata orang adalah keturunan Cina dari Cina selatan. Rambutnya digelung ke atas, seperti pehadir yang lain. Tak jauh dari raja, lima orang Khmer duduk di hdapan raja, dengan posisi lebih rendah. Tak satupun berani berdiri tegak, semunnya posisi merunduk dengan dua tangan tertangkup di depan dada.

Pibulwongsawat dan Apsara menepi, mengambil tempat duduk. Raja bersuara, dengan tekanan kata tegas, mengajukan beberapa patah kata kepada lima utusan Khmer itu. Apsara menerjemahkan semua percakapan. Makin kaum aku pada wanita ini. Ia bicara Khmer dengan sangat fasih, seperti tanpa kesulitan sama sekali menerjemahkan kata demi kata. Tak sedikitpun aku faham isi pembicaaraan.

Cukup lama raja berdiskusi dengan ke lima utusan kerajaan Khmer itu, sampai akhirnya ke lima utusan itu undur diri dan menepi, kemudian menghilang ke ruangan lain. Pibulwongsawat kemudian maju ke hadapan raja dengan beingsut di lantai, menjunjung tinggi kedua tangan dan kemudian menyembah rata dengan tanah. Ia berbicara kepada raja.

Sebantar kemudian, seorang punggawa bangkit dan menyongsongku di depan ruang istana, dan memintaku untuk mengikutinya. Aku takut dan ragu. Kenapa pula aku diundang masuk.

Pibulwongsawat menyongsongku ketika aku makin dekat ke tempat singgasana raja. Aku merunduk serendah-rendahnya. Pibulwongsawat angkat bicara. Raja kemudian balas bicara. Apsara membuka mulut.

“Berikan salam sembah pada Yang Mulia Raja Ramathibodhi, orang Jawa!” kata Apsara.

“Sembah hamba, Yang Mulia, merupakan kehormatan bagi hamba dipersilakan masuk ke istana agung ini,” kataku. Apsara menerjemahkan untuk raja dengan santun. Raja berbicara lagi. Apsara menerjemahkan.

“Benar kau berasal dari Majapahit?” demikian tanya raja.

“Benar, yang mulia!”

“Aku mendengar tentang Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Benarkah Patih Gajah Mada, saat ini sedang gencar meluaskan pengaruh Majapahit ke kerajaan-kerajaan di luar Jawa?”kata Raja lewat mulut Apsara.

“Benar, Yang Mulia. Telah banyak kerajaan-kerajaan kecil di Jawa dan di luar Jawa yang telah takluk dan bersedia berada di bawah kekuasaan Majapahit”

“Kudengar pula patihmu bermuhibah ke Tumasek dan Malaka. Ada apa di balik muhibah itu?”

“Maaf, Paduka Yang Mulia. Hamba hanya orang biasa, seorang pembersih kapal yang terbawa kapak muhibah itu!”

“Jangan bohong!” gelegar Raja Ramathibodhi. “Kau tahu daerah kekuasaan Ayutthayadi selatan berdempetan langsung dengan Tumasek, Malaka, Khmer , Cina dan Jawa. Pasti kunjungan muhibah itu ada maksudnya!”

“Ampun, Paduka. Hamba tidak bohong. Hamba bukan mata-mata. Hamba bukan hulubalang, bukan punggawa. Hamba hanyalah seorang pekerja kasar biasa. Hamba bahkan tak pernah menginjak kawasan istana raja Hayam Wuruk!”

“Sekarang, angkat wajahku dan pandangi aku!” perintah raja. Gemetar aku mengangkat wajah. Raja Ramathibodhi memperhatikan roman mukaku dalam sekali. Pastilah ia sedang berusaha mencari roman kejujuran di wajahku.

“Baiklah. Untuk sementara aku percaya padamu, orang Jawa. Tapi kau lihat, Ayutthaya adalah kerajaan besar, kuat dan tangguh. Patroli berkapal di sepanjang sungai dan samudra di selatan tak akan luput memantau gerakan kapal mencurigakan! Ketahui itu”

“Hamba yakin itu tidak akan terjadi, Paduku. Tidak akan sejauh itu Patih Gajah Mada melaju!”

Raja terdiam sesaat, sampai kemudian ia berdiri dan menunjuk aku.

“Baik. Sekali lagi aku percaya padamu. Tapi bilamana suatu saat kudapati perahu-perahu Majapahit mengotori daerah kekuasaanku, darahmu yang akan lebih dulu tercecer di bumi Ayutthaya! Kau akan tinggal di Ayutthaya terus sampai aku mengijinkanmu meninggalkan kerajaan ini”

“Ampun, Paduka. Hamba akan berserah diri untuk itu! Hamba akan berada di Ayuttahaya selama Paduka ijinkan”

Dan itulah akhir pembicaraanku dengan raja Ramathibodhi. Benar-benar aku bersyukur raja memercayai ucapanku.

***

Pibulwongsawat harus tinggal di istana sore ini. Iring-iringan gajah hanya mengawal Apsara pulang. Aku mengawal gajah Apsara.

“Kau gemeteran di depan raja Ramathibodhi, orang Jawa!” kata Apsara dari atas pelana gajah.

“Benar, Nyai. Saya takut luar biasa. Tapi seperti Nyai ketahui, saya bicara apa adanya,” kataku.

“Aku tahu kau jujur, Rakandi, dan Yang Mulia Raja-pun tahu itu”

“Apalah yang bisa diandalkan orang rendahan seperti saya kecuali kejujuran, Nyai,” kataku. Apsara tersenyum kecil, sembari membuka gulungan rambut. Aku meliriknya sesaat.

“Begitu lebih baik, Nyai!” gumamku.

“Apa kau bilang?”

“Eh, maaf, Nyai. Maafkan kelancangan saya!”

“Kadang-kadang keberanianmu melebihi orang biasa, Rakandi, kau tahu itu?” ujar Apsara.

“Maafkan saya, Nyai,” aku menunduk sambil tetap menuntun gajah . Tak berani lagi kutatap wajah Apsara yang bersinar elok dalam terpaan mentari sore, dengan rambut yang dibiarkan tersapu angin.

Aku tak berani banyak bicara lagi sampai kami tiba di pelataran padepokan Pibulwongsawat. Begitu turun dari gajah, Apsara bicara padaku.

“Tadi pagi kau bilang kau bisa melukis?” tanya Apsara.

“Demikian yang saya katakan tadi, Nyai?”

“Kau juga bilang bahan-bahan untuk melukis bisa dicari di sekitar sini,”

“Itu juga pendapat saya,Nyai”

“Kalau begitu kau cari bahan-bahan untuk melukis itu!” kata Apsara.

“Maaf, Nyai hendak menugasi saya melukis?”

“Ya!”

“Melukis apa? Atau melukis siapa?”

“Jangan banyak bicara. Lakukan tugasmu setelah mengandangkan gajah!”

(BERSAMBUNG KE SINI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun