Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Penterjemah (4)

3 Juli 2012   11:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:19 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

SANG PENTERJEMAH(3) bisa dibaca di sini

Kerajaan Ayutthaya, Siam, 1368 Masehi.

Matahari mulai rebah di barat ketika rombongan bergajah sampai kembali di pelataran pesanggrahan Tuanku Pibulwongsawat. Sinar matahari terpantul indah dari permukaan sungai di kejauhan. Aku melepas semua pelana gajah, mengikuti gerakan perawat gajah yang lain, menggiring gajah ke rumah-rumah gajah di bagian belakang pesanggrahan.

Nyai Apsara menghilang ke dalam pesanggrahan bersama emban. Sedikit merangkak malam, salah seorang perawat gajah dan pelayan pesanggrahan membawakan aku makanan sambil mengucapkan beberapa patah kata.

“Khawp khun khap,” aku mengucapkan terimakasih, selarik kata yang kutahu selain salam ‘Sawadi khap’.

Pemuda itu mengangguk, mengulas senyum. Timbul niatku untuk belajar bahasa Siam lebih banyak. Nanti aku akan minta pemuda itu memberi pelajaran singkat. Kutunggu pemuda itu kembali ke bongkahan-bongkahan batu agak jauh dari pelataran pesanggrahan, dengan sebaki talas untuk makan malam.

Talas berbumbu garam ini nikmat nian dilahap sembari menatap permukaan sungai yang kini ditaburi sinar perak dari bulan yang baru naik sepenggalah. Di Trowulan, Majapahit, kala bulan naik dan bersinar terang, semua orang keluar rumah dan mengobrol di bawah langit terbuka sembari menembangkan geguritan.

Kudengar suara di belakang. Pasti pemuda itu mendatangiku untuk makan talas bersama. Tapi ternyata itu bukan dia. Nyai Apsara berdiri tak jauh di belakangku, bersama emban setia. Aku langsung melorot ke tanah dan menyembah.

“Duduklah kembali. Tak perlu terlalu resmi,” ujar Apsara.

“Sembah, Nyai. Mohon beritahu kalau kehadiran saya mengganggu Nyai,” kataku.

“Tidak, Rakandi. Duduk saja. Kau pasti sedang menikmati sinar rembulan dan suasana syahdu ini. Aku juga suka suasana ini, lebih baik katimbang mengurung diri di kamar terus,” ujar Nyai Apsara.

“Terimakasih, Nyai” aku duduk takzim memandang permukaan sungai. Apsara tetap berdiri agak jauh dari aku.

“Jorat, pemuda perawat gajah yang menyiapkan makanmu tadi bilang kau mulai bisa bicara bahasa Siam,” kata Apsara.

“Benar, Nyai. Saya ingin belajar. Kalau berkenan, saya nanti akan minta diajari oleh Jorat,” kataku.

“Hm. Tuanku Pibulwongsat pergi ke pusat kerajaan untuk bertemu raja Ramathibodhi., sampai besok. Aku punya waktu sedikit untuk mengajarimu kalau mau,” kata Apsara.

“Sungguhkah, Nyai? Kehormatan bagi saya”

Apsara duduk si salah satu batu agak dekat dengan batu yang kududuki.

“Bahasa Siam adalah bahasa yang indah dan diucapkan dengan cara yang indah. Aksara Siam dikukuhkan pertama kali oleh Raja Ramkhanghaeng dari kerajaan Sukothai, dracik il dari aksara Pali, Sansekerta dan India,” Apsara menoleh kepadaku. “Kau tak perlu belajar menulis, cukup belajar bicara, lebih mudah,”

“Siap, Nyai!”

Bulan merangkak makin tinggi tatkala sudah beberapa patah kata dan ucapan bahasa Siam kukuasai dengan baik. Sederhana saja, cara Apsara mengajari, dengan penuh kesabaran dan seperti menyirnakan derajadnya yang lebih tinggi dari aku, membuat belajar bahasa Siam menjadi gampang. Harus kuakui, Apsara adalah perempuan yang serba mahir : sebagai penterjemah dan sebagai guru bahasa.

Beberapa kali ia mengajukan pertanyaan sederhana dalam bahasa Siam dan sebisanya kujawab dengan baik. Bila aku salah, ia membetulkannya dengan senyum dan cara mengucapkan yang membuat mimik wajahnya lebih dari sekedar jelita.

“Tak kuduga kau bisa belajar secepat itu, Pemuda Majapahit. Dalam beberapa purnama, kau pasti bisa bicara Siam semahir orang Siam,” kata Apsara.

“Tidak akan semahir Nyai berbicara bahasa Jawi,” kataku. “Tapi saya berjanji tak akan menyia-nyiakan kebaikan Nyai ini. Saya akan belajar terus, agar bisa berbicara dengan orang Siam. Nyai adalah pengajar bahasa yang baik”

“Kau memujiku lagi, Rakandi. Tiga kali sudah hari ini,” Apsara menyorot mataku.

“Ampun Nyai. Mohon maaf kelancangan saya! Mohon ampun, jangan hukum saya karena banyak memuji. Tapi Nyai adalah perempuan yang cerdas dan sangat terpelajar. Itu membuat saya kagum. Sangat jarang di negeri saya ada perempuan secemerlang Nyai”

“Empat kali memuji, Rakandi!” suara Apsara meninggi. Aku merundukkan kepala dan menyembah.

“Ampun Nyai! Tidak akan saya ulangi”

“Kau pasti tak akan bisa pegang kata-katamu”

“Saya akan coba Nyai……tapi, mohon beritahu saya, Nyai. Apa salahnya memuji. Apakah karena saya orang rendahan?”

“Itu salah satunya. Jika ada seorang pemuda yang berulang kali memuji perempuan, itu pertanda ia mulai menaruh perhatian. Kalau ada orang yang tahu, kau bisa celaka! Kalau Tuanku Pibulwongsawat tahu, kepalamu bisa dipenggal

“Ampuni saya Nyai. Kalau memang demikian, saya tak akan berani-berani melontarkan pujian. Saya masih sayang kepala saya,”

Apsara melirikku sekejap, kemudian menatap ke arah emban yang duduk terkantuk bersandar pada sebuah batang pohon, dan membangunkannya dengan teriakan kecil. Emban tergeragap dan segera mengikuti Apsara masuk ke pesanggrahan. Aku berdiri dari simpuh dan mengikuti lambaiann tubuh Apsara.

Khawp khun khap, ratri sawad,” aku mengucapkan terimakasih dan selamat malam. Apsara menoleh sedikit, memberiku sekilas senyum; mungkin senyum lega karena aku bisa menggunakan salam dalam bahasa Siam yang tadi ia ajarkan pada saat yang tepat.

“Jangan lupa siapkah gajahku pagi-pagi benar; aku ingin berjalan-jalan menyusuri sungai,” Apsara hanya menolehkan kepala. Kibasan rambut hitam panjang itu, yang mengemas wajah cantiknya tak menyurutkan padanganku ke arah kelebat Nyai memasuki pintu depan pesanggrahan.

Sesaat aku berdiri mematung menatap pintu masuk pesanggrahan. Aku kemudian kembali ke batu duduk dan menatap rembulan yang makin bundar di titik tengah langit. Raut Apsara terpancar dari sang rembulan itu.

(BERSAMBUNG KE SINI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun