EPISODE 9 bisa dibaca DI SINI
“Apakah kau mencintai Rodi? Apakah kau melakukan itu demi cinta?” terdengar getar lemah dalam suara Alexandrous.
Eleni tersenyum kecil dan sempat melirikku sejenak. Lirikan cantik itu membuatku galau.
Aku, Trista dan Alexandrous tak sabar menantikan jawaban Eleni.
“Apa bedanya?” tanya balik Eleni. “Aku bisa saja mengatakan aku mencintai Rodi atau tidak. Tapi apa bedanya?”
“Sangat berbeda!” hentak Alexandrous. “Kalau kau lakukan itu hanya karena ingin balas dendam, ingin menyamakan skor, aku tak tahu istri macam apa kamu!”
“Kalau memang cinta?” Eleni menohok Alexandrous.
“Jangan pakai kata ‘kalau’!” Alexandrous meradang.
“Look, Alex, my dear husband. Aku menolak menjawab ini. Lihat, tadi Trista memilih diam ketika Rodi bertanya soal apakah ia mencintai Rodi, karena aku tahu persis Trista berpikiran seperti aku; apa bedanya,” Eleni berdiri, “aku tak akan melanjutkan percakapan ini. Kalau kau balik ke apartemen kita, pastikan itu adalah waktunya membuat keputusan yang jelas. Jika kau ingin aku berkemas, akan segera kulakukan itu,” Eleni melangkah ke pintu dan menoleh Trista. “Pastikan kau juga membuat keputusan yang cerdas yang terbaik buatmu,”
Eleni melintas melewati aku dan menyentuh bahuku sesaat. “Maafkan saya, Rodi. One thing, kau mitra ranjang yang hangat dan hebat!”
“Eleni!” hardik Alexandrous, geramnya memuncak.
“Yia sou, good bye, Alexandrous!”
Eleni berjalan cepat keluar kamar dan menyusuri lorong. Alexandrous hendak menyusul. Tapi rengkuhan tangan Trista di lengan Alexandrous menghambatnya.
“Biarkan ia sendiri dulu, honey!” ujar Trista. Alexandrous menurut. Aku menelan ludah.
“Okay, sebaiknya aku tinggalkan kalian berdua di sini. Bicaralah baik-baik,” kataku.
“Trista, kalau sempat pulanglah barang sebentar; bukan buat aku, buat Reina. Aku yakin ia rindu kamu,” aku melenggang meninggalkan kamar.
Percakapan delapan mata barusan sebenarnya tak menghasilkan apa-apa, kecuali fakta-fakta mendasar yang belum genap kejelasannya.
***
Sampai pukul 10 malam belum terdengar kabar dari Trista. Aku baru saja membacakan cerita pengantar tidur buat Reina dan memastikan Reina sudah terlelap ketika derum taksi membahana di depan pagar rumah. Tante Fitri membukakan pintu untuk Trista. Istriku tampak acak-acakan, tak pernah ia kulihat sekusut masai ini. Ia membuka pintu kamar Reina yang baru saja kututup. Kubiarkan Trista merebahkan diri di samping Reina dan menciumi pipi gadis kecilku. Sepuluh menit kemudian ia keluar dari kamar Reina.
“Apakah ini masih kamar kita?” ia berdiri mematung di depan pintu kamar kami.
“Kau saja yang beri definisi,” kataku.
“Aku mau bicara di kamar,” ia mendahului membuka pintu. Aku mengikutinya.
“So?” aku menantangnya bicara.
“Aku salah. Aku khilaf. Aku minta maaf,” tutur Trista, berusaha tidak terhisak. Aku membisu.
“Dalam suasana seperti apa kau meninggalkan Alex di kamar hotel Shangrila baru saja?” tanyaku setelah menemukan kata-kata yang tepat.
“Tak jelas. Ia bingung. Ia bimbang. Sama seperti aku!”
“Hm!”
“Sekarang terserah kamu!” Trista menunduk.
“Terserah aku?”
“Ya, terserah kamu. Kamu bisa pilih mencampakkan aku selamanya, atau memaafkan aku demi Reina!”
“Lalu Alexandrous?”
“Itu urusanku. Aku akan mengatasinya. Aku yakin ia tak rela melepas Eleni begitu saja”
Aku menyeka jidat. Kelihatannya permasalahan tak semudah bicara.
“Jika aku memaafkan kamu?” kataku.
“Jika kudapatkan maafmu, aku selesai dengan Alexandrous. Tak akan ada apa-apa lagi. Dan kau harus usai pula dengan Eleni,”
“Semudah itukah?”
“Jika kita semua sama-sama rela menyudahi dan mau membangun kembali hubungan cinta yang yang sudah rusak,” kata Trista. “Kau bisa melupakan Eleni?”
“Entahlah!” kataku. “Kau bisa melupakan Alex?”
“Aku akan coba! Bantu aku untuk mencobanya”
Trista menghampiri aku dan memelukku erat. Aku tak tahu harus balas memeluknya atau tidak. Wajah Eleni berdansa di mataku.
“Kau memaafkan aku?” bisik Trista.
“Aku memaafkan kamu!” jawabku.
“Dan aku memaafkan kamu, meski kamu tidak minta!” bisik Trista lagi, menengadah, menyiapkan bibirnya.
Aku melepas dekapan itu.
“Maaf, Trista!”
“Tak ingin ciumanku? Kalau tak salah sudah lama kita tidak berciuman?”
“Tidak mudah bagiku untuk saling merapatkan bibir setelah bibir kita masing-masing bersentuhan dengan lawan lain. Tidak, bagiku, Trista. Maaf!”
Aku meninggalkan kamar dan membiarkan Trista sendiri.
***
Seminggu penuh Trista tinggal di rumah bersama Reina. Ia mengajukan cuti. Aku berangkat mengajar murid-muridku seperti biasa, minus kelas bahasa Indonesia Alexandrous dan Eleni. Aku tak tahu apa yang yang terjadi dengan Alexandrous dan Eleni. Dugaanku, sama dengan aku dan Trista, mereka juga berbenah diri dan saling bikin ikrar baru untuk tak saling meninggalkan. Aku sendiri mati-matian berusaha menyingkirkan wajah Eleni dari benakku, berusaha membuang jauh-jauh pesona, keelokan, harum tubuh, kerling, sibakan rambut dan gairahnya yang membuncah-buncah. Adakah ia sedang kembali berbagi kasih dengan suaminya?
Aku masih enggan bersentuhan dengan Trista. Belum bisa.
Minggu berikutnya Trista masuk kerja seperti biasa dan pulang kantor pada jam normal, tak lebih dari senja.
Hampir sebulan sejak percakapan delapan mata di kamar hotel Shangrila itu, e-mail Eleni menyeruak ke alamat e-mailku. Kubaca e-mail itu.
“Aku jadi berkemas seminggu lalu dan meninggalkan Alex di Surabaya. Pada malam setelah percakapan di hotel, Alexandrous kembali ke apartemen. Kami bicara baik-baik, dan demi hormatku pada lelaki Yunani dan keluarganya, kami saling bermaafan dan berusaha melupakan yang sudah terjadi. Tapi ternyata fakta berbicara lain. Alexandrous masih bertemu Trista dan menggunakan saat istirahat siang untuk saling melampiaskan rindu. That’s it. Tak ada lagi yang perlu dipertahankan”
Aku tercenung membaca e-mail Eleni. Sebetulnya ini tidak mengejutkan aku. Trista tak akan pernah bisa pegang janji dan Alexandrous tak akan pernah bisa meninggalkan pesona Trista begitu saja. Kata orang jalinan kasih dengan selingkuhan itu lebih hebat, lebih sensasional dan lebih menggentarkan, lahir bathin.
Aku melanjutkan e-mail Eleni.
“Kamu punya paspor? Aku sudah menulis surat ke Kedutaan Besar Yunani di Jakarta, dengan tembusan ke alamatmu. Aku mengundang kamu untuk datang ke Yunani. Segera urus visa Yunani begitu surat undangan datang. Sudah pula kupesankan tiket Surabaya- Singapura – Athena via Istanbul, Turki. Kode booking penerbangan kucantumkan di email ini. Jangan bertanya kenapa aku harus bertemu kamu. Pokoknya aku harus bertemu kamu, penting! Jauh lebih penting dari yang kau kira. Kujemput kau di bandara Athena!”
Aku menopang kepalaku dengan kedua belahan tangan memandangi email Eleni.
Tampaknya ini makin rumit! Trista! Eleni!
[caption id="attachment_138721" align="aligncenter" width="235" caption="Perempuan Yunani (foro : dcgreek.com)"][/caption]
(BERSAMBUNG KE SINI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H