Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perempuan dari Malmedy 30: Udara Bebas!

4 April 2012   08:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:03 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13335295821021356463

EPISODE 29 : SEJUMLAH KEMATIAN bisa dibaca di sini

EPISODE 30: UDARA BEBAS!

Pitra siap menghadapi hal terburuk. Ia menatap mata Inrenanu dalam-dalam. Bisa ia lihat nafsu membunuh yang teramat besar.

Tapi, sekonyong-konyong, dari belakang Inrenanu, sebuah benda meluncur deras. Benda itu melabrak tubuh Inrenanu keras.Sekuat tenaga Karin menyodokkan kereta dorong yang semula dipergunakan untuk membawa jasad Inrenanu dari ruang penyimpanan.

Tubuh Inrenanu bergoyang sedikit. Tapi tak urung meleset juga tombak-tombak api dari sekujur jari-jarinya. Pitra mempergunakan geseran arah ini untuk menghindar. Bola-bola api dengan kekuatan lebih dahsyat daripada sebelumnya berdentum membentur dinding, disertai ledakan-ledakan keras di seluruh bagian ruangan. Bola api besar tercipta dan muncrat ke seluruh penjuru ruangan dengan kobaran besar. Sebentar kemudian kobaran bola api sumamburat di mana-mana..

Inrenanu merasa benar-benar terkecoh. Ia menggerak-gerakkan tangan dan matanya nyalang mencari Pitra. Berkali-kali tangan Inrenanu yang berbalut jubah kelam dikibaskan. Saat iti juga angin berhembus keras, dan beberapa bagian dinding mulai rontok.

Sekali lagi Inrenanu melampiaskan amarah dengan mengibaskan kedua tangan. Dan sekali lagi dinding jebol berterbangan ke seluruh penjuru ruangan.

Pitra melompat dan menubruk Karin, kemudian menelungkupkan gadis itu ke lantai agar terhindar dari serbuan api dan pecahan dinding.

”Cepat, merayap dan berlindung ke dekat meja perak itu!” desak Pitra, ”Bajingan ini benar-benar ngamuk”

Karin menurut. Di sela-sela kobaran api ia merangkak. Tangannya bertelekan ke lantai yang juga mulai memanas, telapaknya menyentuh sesuatu, sebuah bendalogam pipih kecil. Cepat Karin menjumput benda itu. Sebuah jarum. Jarum Kalugatii!

”Aku akan tancapkan beda ini ke tengkut keparat itu,” Karin mencoba berdiri, sambil melindungi dirinya dari jilatan api.

”Karin, merunduk!” seru Pitra.

”Aku harus bunuh makhluk itu!” Karin berteriak sambil mendekati Inrenanu.

”Tidak!” Jangan dekati iblis wanita itu. Berbahaya!”

”Ini kesempatan yang baik,” otot Karin. Ia merangsek maju dengan jarum Kalugatii terhunus di antara jempol dan telunjuk kanan. Tanpa rasa takut sedikitpun Karin menerjang Inrenanu yang saat itu sedang sibuk menghindari reruntuhan. Cepat Karin menghunjamkan jarum itu ke tengkuk Inrenanu.

Makhluk itu terkejut, tapi tak bergeser sedikitpun. Ia malah berbalik menoleh dan menyeringai ke arah Karin.

Gadis itu mencabut kembali jarum Kalugatii dengan wajah terheran-heran. Sama sekali tak mengerti kenapa Inrenanu tak goyah sedikitpun, padahal itulah jarum dan senjata rahasia yang paling ditakuti Inrenanu.

Karin mundur beberapa langkah. Inrenanu maju ke arahnya dengan sebuah kibasan tangan. Pitra tahu gadis itu dalam bahaya. Cepat ia menubruk tubuh Karin. Mereka bergulung-gulung di antara deras meja pembaringan. Meja itu jumpalitan dan membentur dinding dengan suara keras.

”Aku tak mengerti. Kenapa jarum ini kehilangan tuah? Kenapa Inrenanu tak binasa?’ Karin menjerit gusar. Pada saat yang sama tiba-tiba saja dari berbagai celah bolong di dinding muncul rembesan air. Rembesan itu makin lama makin besar dan menghantarkan air lebih banyak ke ruangan yang porak poranda itu.

Inrenanu melihat sekilas ke rembesan ke air itu. Sesaat kemudian terdengar kekehnya yang menyeramkan, dan beberapa detik kemudian tiba-tiba saja seluruh tubuhnya menebarkan pijar cahaya menyilaukan.

”Aku tak akan lagi bermain-main dengan kalian,” Inrenanu menyeringai, ”Ini kuburanmu. Matilah terendam! Bawa jarum itu ke neraka. Aku tak membutuhkannya lagi. Terlalu banyak rahasia dari jarum itu yang belum kau pecahkan. Semuanya sia-sia!” Inrenanu terkekeh. Suaranya terdengar busuk dan menjijikkan.

”Kuberi kalian kebebasan memilih cara mati yang terbaik,” Inrenanu masih menyeringai, dan aku akan membuktikan bahwa tidurku yang panjang telah cukup untuk mulai membalas dendam”

Perlahan, seperti terbawa angin tubuh Inrenanu berputar dan terangkat. Pijar tubuh Inrenanu berputar sampai terlihat seperti gasing panjang yang bersalut api. Pusaran itu membumbung ke atas dan dengan mudahnya membobol atap.

Karin dan Pitra takjub. Tak lama kemudian mereka hanya melihat berkas sinar itu di bagian atap yang bolong. Demikian besar energi panas yang membalut tubuh Inrenanu sehingga dengan mudah ia melelehkan dinding campuran besi dan batu itu.

Beberapa saat lamanya Pitra dan Karin Cuma bisa terpana sementara Inrenanu cuma menyisahkan ringik panjang yang masih terdengar lamat-lamat.

”Bajingan itu lolos,” seru Karin, ”dan membiarkan kita terkubur disini”

”Ayo kita cari jalan keluar!” ajak Pitra. ”Sebentar lagi ruangini tenggelam”

Pitra melihat berkeliling. Air sudah merambat setinggi perut, dan bisa dipastikan dalam beberapa menit lagi seluruh ruangan akan terendam.

”Jangan panik! Jangan panik! Kita pasti bisa lolos!” Pitra mencoba menyakinkan Karin.

”Ya, tapi air sudah setinggi dada. Ini air dari kanal di sekeliling kincir angin itu di atas sana. Ruangan sudah ambrol semua rupanya”

“Satu-satunya jalan, adalah lubang diatas yang dibuat oleh Inrenanu itu,” Pitra melihat atas dengan bantuan sisa-sisa cahaya dari kobaran api yang masih memanggang bagian ruangan yang belum terkena api.

“Tapi! Astaga. Getaran apa ini?” pekik Karin tiba-tiba. Pitra juga merasakan getaran sangat hebat diiringi desakan arus air di ruangan itu. Mereka tak sempat berfikir lagi lantaran nyaris tak ada lagi ruang kosong selain air di mana-mana. Dari bagian atas yang berlubangpun, air turun dengan derasnya.

Tak ada waktu lagi untuk berpikir. Pitra segera meraih tangan Karin. Dihelanya Karin menuju ke arah lubang menganga yang mengarah ke atas.

Sambil meraba-raba, Pitra dan Karin terus berenang naik. Cukup sulit karena mereka harus menentang arus yang deras dari atas. Lagipula, perjalanan melewati lubang keatas itu ternyata tak mulus dan tak selalu cukup untuk dilewati berdua. Ada belokan yang harus dilewati dengan lambat, dan sama sekali tak tersedia penerangan. Ini yang membuat perjalanan terasa panjang. Padahal sudah tiba saatnya mereka menarik dan menghembuskan nafas.

Pada saat sekian belokan dan ganjalan telah dilalui, dan ketika dada Pitra terasa di puncak nyeri yang tak tertahankan, kepalanya tersembul ke udara terbuka. Ia menyemburkan nafas kuat-kuat. Cepat ditariknya Karin ke atas.

”Huah! Udara segar!” Pitra melihat berkeliling, ”Dimana ini?”

”Di kanal tua sekeliling kincir,” Karin pun melihat berkeliling, dengan dada tersengal-sengal.

”Kau lihat bendungan kecil tak jauh dari kanal?“ Dalam remang Pitra melihat sebuah alat pengendali bendungan.

”Ya, aku melihatnya. Kenapa?”

”Aku berharap teman-teman lain masih bisa tertolong. Kalau kau buka bendungan itu, seluruh air akan mengalir ke kanal yang lebih rendah di sebelah sana. Siapa tahu masih ada yang bisa tertolong,” ujar Karin masih tersengal-sengal.

”Oke,” Pitra bergegas berenang ke tepian kanal untuk mencapai bendungan itu. Ia naik ke tembok dam berukuran panjang 8 meter dan mencari-cari. Karin datang menyusul.

”Putar alat seperti kemudi mobil itu. Sebagaian air akan tertumpah ke kali di bawah itu,”perintah Karin.

Bersama-sama mereka mengerahkan tenaga memutar keran besar itu. Agak berat karena sekat-sekat besi yang sudah berkarat. Sejenak kemudian, terdengar gemuruh air melaju deras di bawah. Sebagian besar air di kanal yang menyerupai danau itu tertumpah ke dataran lebih rendah yang berbentuki sungai kering di bawahnya lewat sebuah sungai buatan. Air itu meluncur cepat terbuang ke arah lain. Tak lama kemudian permukaan air di kanal menurun. Kalau suasana terang, Pitra bisa melihat pemandangan seperti waduk yang sedang kering air.

Kanal itu luasnya sekitar 100 meter persegi. Kini dengan muntahnya air, remang-remang ia bisa melihat kedalaman sekitar8 meter dari tempat ia berdiri di dinding dam.

”Kalau saja ada lampu baterai,” ujar Karin berharap.

”Lampu baterai? Kalau sepeda kita masih ada, tak jadi soal,”ujar Pitra meneroboskan pandangan ke luar halaman wilayah kincir angin, ”Itu dia, masih ada”

Pitra berlari menghampiri sepeda. Cepat ia mencopoti dua lampu di sepeda mereka. Beruntung lampu itu dihubungkan dengan dua batere medium yang bisa diangkat, dan bukannya dengan dinamo yang diputar oleh gerakan ban sepeda.

”Tangkap ini,” Pitra melemparkan sebuah lampu lengkap dengan batereinya. Mereka menyorotkanlampu itu ke bagian bawah. Merinding Pitra melihat batu-batu besar dan reruntuhan tembok yang menyembul di dasar kanal sekitar 8 meter di bawah sana. Inilah sebagian reruntuhan ruang bawah tanah kincir angin itu.

Pitra dan Karin terus menyorotkan lampu baterei sepeda itu ke segala arah. Karin menyarankan agar mereka turun ke bawah.

”Perasaanku mengatakan ada yang masih bisa ditolong,”ucap Karin.

Dengan sebuah tangga besi yang ditemukan Pitra di dekat kincir, mereka menuruni kanal yang hampir semua airnya sudah terkuras. Mereka berjalan di antara balok-balok pecahan dinding yang berserakan. Keadaan dasar kanal yang juga merupakan atas ruang bawah tanah itu demikian menyedihkan. Porak poranda dan nyaris merupakan bekas reruntuhan gedung terbakar yang diguyur air. Bau api masih menyundut hidung. Pitra sangsi masih ada teman yang bisa terolong. Bagaimana nasib Zaldy, Titon dan Riri?

”Pit, tengok itu!” Karin tiba-tiba memfokuskan sorotan ke sebuah pecahan dinding selebar daun pintu yang mencuat ke atas. ”Ada jalan menjorok ke bawah. Seperti anak tangga,” ujar Karin.

”Betul! Astaga! Lihat,” lampu baterei Pitra menangkap sepotong tangan,

”Ini jaket Zaldy,” pekik Pitra. Ia segera menyerahkan lampunya pada Karin. Dengan dua lampu, Karin mencahayai Pitra yang sibuk memindahkan lempengan dinding besi bercampur beton.

”Zaldy dan Riri!” pekik Pitra, ”Semoga mereka masih hidup. Ajaib, mereka berada di sini. Pasti tadi mencoba merayap keluar,” perlahan Pitra menyusuri tubuh Zaldy. Karin meletakkan dua lampu di tanah dan membantu Pitra.

”Zaldy masih hidup,” Pitra memeriksa nadi dan mendekatkan telinga untuk mendengar detak jantung Zaldy.

”Tapi, lihat, keadaan Riri mengenaskan,” Karin mendekat Riri. Darah segar meleleh di seputar kepala bagian kiri Riri. Lempengan daun pintu itu pasti menindih kepalanya.

Karin mengambil alih Zaldy dan segera memberikan pertolongan pertama. Ia menekan-nekan perut Zaldy.

Zaldy memuntahkan air berkali-kali. Karin kemudian meniupkan nafas di mulut Zaldy untuk memberikan nafas buatan.

”Anak ini berangsur-angsur baik,” teriak Karin, ”bagaimana Riri?”

”Sudah memuntahkan air. Tapi tubuhnya lemah sekali. Kita butuh pertolongan. Kepala Riri luka berat dan ia menderita kedinginan hebat,” ujar Pitra khawatir. Sekali lagi ia memberi Riri nafas buatan.

Pitra gembira sekali saat bibir Riri bergerak dan kelopak matanya menandakan hendak terbuka.

”Mbak Riri...mbak Riri. Ini aku, Pitra. Kau pasti selamat. Bertahanlah sebentar, kami akan bawa kau kerumah sakit!”

”Pitra...oh, syukurlah. Tapi Titon...” Riri berkata lirih.

”Sudahlah, mbak Riri!”

”Ia...ia...terlepas dari tanganku...uuh. Kepalaku sakit sekali. Seluruh tubuhku rasanya hancur,” suara Riri terhenti. Iba sekali Pitra melihat keadaan mbak ini.

”Bertahanlah, mbak Riri. Aku akan mencari telepon terdekat!” kata Pitra.

”Pit...”seru Riri lirih.

”Ya, mbak Riri,” Pitra mendekatkan wajah ke Riri.

”Apakah yang lain selamat?”

”Entahlah. Tapi Zaldy ada di sini. Sebentar lagi siuman,” tutur Pitra.

”Inrenanu?” Riri bertanya penuh kekhawatiran.

”Lolos. Entahlah kemana,”ujar Pitra.

”Aku tahu kemana perginya iblis itu. Titon mengatakannya padaku,” ujar Riri, masih lirih.

”Kemana, Riri?” Karin turut mendekat.

”Ke stasiun kereta api Utrecht,”tukas Riri.

”Stasiun kereta api Utrecht?” Karin melihat arlojinya, sebuah arloji bertanggal yang anti air.

”Astaga!”

”Kenapa?” tanya Pitra.

(BERSAMBUNG KE SINI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun