Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perempuan dari Malmedy 29 : Sejumlah Kematian

28 Maret 2012   13:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:21 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

EPISODE 28 : BENAR-BENAR KACAU bisa dibaca di sini

EPISODE 29 : SEJUMLAH KEMATIAN

”Zaldy! Stop!” Ruud menjemba kerah jaket Zaldy dari belakang. Tapi Zaldy menepis jembaan itu. Ruud kelihatan jengkel. Ia memukul tengkuk Zaldy. Zaldy semaput. Ia terkulai lemas. Cepat Ruud menyeret Zaldy menjauh dari api.

”Benar-benar sial! Kini aku harus menyeret dua orang semaput!” gerutu Ruud.

”Ayo cepat! Kobaran api menyusul kita!” Titon mengingatkan. Ia beruntung Riri kini mampu berjalan sendiri meski tampak sangat lemah. Paling tidak, ini bisa mempercepat langkah.

Mereka baru hendak melangkah lagi manakala tiba-tiba dentuman keras terdengar hebat, membuat lorong itu berguncang keras. Dan semua penerangan tak lagi berfungsi. Kalau tak ada semburan api, barangkali lorong akan sangat gelap.

”Pasti ruang elektronik pusat pengendali ruang utama meledak. Banyak alat peka dan generator listrik di sana,” Titon khawtir.

”Ruang bawah kincir angin ini kiamat sudah. Semuanya sia-sia. Gadis Malmedy itu benar. Kacau balau semuanya,” desis Ruud sambil mencoba untuk tetap bertahan berdiri di tengah guncangan yang makin hebat dengan beban tubuh Smallstone di kanan dan Zaldy di sebelah kiri.

Sekali lagi dentuman keras terdengar. Kali ini kobaran api makin dekat di belakang mereka. Dan lorong seperti bergerak cepat berputar.

”Ampun! Semuanya ambruk!” Ruud berteriak. Saat itulah Zaldy sadar. Ia meronta, namun tak tahu apa yang sedang terjadi. Ia hanya merasa lorong berputar dan dinding-dinding berlomba-lomba meretak.

”Astaga! Apa ini?” jerit Zaldy. Reruntuhan beton mulai menerpa kepala. Dan asap seolah mengamuk dalam lorong sumpek.

”Ambruk? Bagaimana Karin...Pitra?” Zaldy tampak khawatir.

”Sudahlah! Ayo kita bergerak. Masih ada cukup lorong untuk merangkak!” ajak Titon.

”Tapi, Pitra dan Karin?”

”Ayo! Cepat merangkak ke sana kalau tak ingin dijilat api dan terkubur di sini!” Ruud menghardik. Sulit sekali ia membawa tubuh Smallstone yang tak kunjung siuman.

Di tengah ledakan-ledakan keras yang terjadi, mereka terus maju ke depan, karena arah itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri. Zaldy sesekali menoleh ke belakang. Benar-benar merupakan gagasan buruk membiarkan Karin dan Pitra terkubur di ruang interferometer tanpa bantuan.

Tapi, reruntuhan terdengar terus dan dinding-dinding bobol tak henti-hentinya mengikuti suara dentuman. Asap tebal dan pecahan dinding membuat tak tersisa lagi udara segar buat bernafas. Bisa dipastikan ini adalah hasil amukan Inrenanu.

Titon terus berusaha melindungi Riri dari reruntuhan dinding di barisan paling depan. Zaldy di belakang Titon dan Ruud menyeret smallstone paling belakang. Mereka merangkak sangat lambat, sementara potongan beton dinding mulai tak henti-hentinya berjatuhan dan menutup jalan.

”Asap tebal dan debu pekat!Susah bernafas,”gerutu Zaldy.

Beberapa menit kemudian, tiba-tiba saja sebuah ledakan keras terdengar lagi. Kali ini lorong bergetar dan bergoyang lebih hebat diiringi dengan tanda-tanda kerekatan hebat.

Ruud berteriak, nyaris melolong ketika tiba-tiba saja lorong patah tepat di belakang Zaldy. Zaldy menoleh. Dasar lorong berderak keras diiringi gemuruh yang tak kalah deras. Potongan lorong cepat membawa Ruud dan Smallstone meluncur deras ke bagian bawah lengkap dengan jilatan api yang berkobar-kobar. Zaldy berusaha menangkap jas Ruud. Tapi gerakan melorot itu begitu cepat sehingga Zaldy hanya menangkap angin. Ia tak bisa membayangkan bagaimana pemandangan saat Ruud dan Smallstone berkelojotan diterkam api dan tumpukan pecahan dinding yang besar-besar sekitar 25 meter dibawah sana. Lolongan mereka menyeramkan sekali.

”Smallstone dan Ruud. Mereka dijemput ajal di bawah sana. Mengerikan,” Zaldy melongok ke bawah. Lewat kobaran api terlihat dua tubuh teronggok tak bergerak di bawah.

”Aku juga prihatin. Tapi ini ulah mereka. Ini bisa juga terjadi pada kita kalau tak lekas menyingkir. Ayo, Zal. Kalau lorong ini patah lagi, habislah kita,” ujar Titon,

”Kuat jalan terus, Ri? Mumpung api sedikit reda,” Titon meraih lengan Riri.

Titon memapah Riri berjalan. Riri tampak pucat dan loyo, sementara lorong seperti tak habis-habisnya. Zaldy mencari akal bagaimana cara yang terbaik untuk segera keluar dari lorong. Ia berusaha mengingat-ingat. Tapi pikirannya buntu, sama buntunya dengan lorong-lorong yang sebagian sudah terganjal pecahan dinding.

Dan kiamat agaknya benar-benar mendera ruang bawah tanah kincir angin kuno itu. Di tengah seok-seok jalan mereka itu yang kadang juga diseling dengan merangkak karena lorong terhambat, tiba-tiba terdengar gemuruh dahsyat yang menyerbu ke arah mereka. Dari seluruh gemuruh yang pernah terdengar, inilah gemuruh yang paling besar dan menyeramkan.

”Lihat!Air!” pekik Zaldy yang berjalan paling depan.

”Air! Sudah kuduga!” kata Titon, ”Lekas belok kana!” Titon memberi aba-aba. Zaldy faham maksud Titon. Satu meter di depannya, persis ada sebuah belokan ke kanan. Cepat Zaldy menyelinap ke belokan itu sambil meraih lengan Riri dan Titon. Sama sekali tak ada waktu buat berkelit.

”Cepat, mas Titon!” teriak Zaldy, sembari menarik lengan Riri sekuat tenaga. Teriakannya tertelah gemuruh.

”Titon! Astaga!” pekik Riri. Air deras seluas lorong itu tiba-tiba saja melibas mereka berdua. Zaldy memegang erat lengan kanan Riri. Tapi rupanya Titon sama sekali tak sempat berpegang erat pada Riri. Riri merasakan Titon terlepas dari pegangannya.

”Titoooon! Auf!Auf. Zaldy...Titon terlepas!,” suara Riri tenggelam dalam terjangan air. Zaldy tersentak. Tak tampak lagi bayangan Titon. Ia pasti telah terbawa arus. Ia bahkan tak sempat mendengar teriakan pemuda itu. Baik Zaldy dan Riri tak bisa melihat apa-apa lagi selain air di sekeliling mereka.

Riri meronta-ronta dalam air. Zaldy tahu tak mungkin lagi mencari Titon. Derasnya air yang meramba lorong bisa dirasakan lewat debur ujung-ujung rambut. Zaldy kebingungan sesaat. Apa yang bisa dilakukan dalam keadaan terjebak maut seperti ini?

Ia berusaha melotot mencari-cari. Tak gampang menemukan sesuatu dalam air tanpa penerangan. Kalaupun tiba-tiba terlihat sesuatu, itu pasti keajaiban.

Tapi keajaiban tiba-tiba muncul. Kaki Zaldy menyentuh trap-trap berupa anak tangga naik. Ini secercah harapan untuk selamat!

Cepat ia menarik tangan Riri dan berenang sekuat tenaga menyusuri anak tangga. Ia beruntung arus di belokan itu tak terlalu deras. Tapi dadanya seperti mau meledak menahan nafas.

Zaldy mencengkeram lengan kanan Riri kuat-kuat. Kalau lepas, akan sulit baginya untuk menemukan Riri kembali di air tanpa penerangan ini. Ia tak tahu sampai kapan ia bisa bertahan. Ia cuma berharap tiba-tiba ada ruang lowong lain yang belum tergenang air.

Tapi harapannya sia-sia. Riri agaknya tak tahan. Ia terkulai lemas. Zaldy merasakan kepala Riri terjatuh di dadanya. Ia mengoyang-goyangkan kepala itu. Tapi Riri tak bergerak. Pasti ia semaput. Benar-benar Zaldy tak tahu apa yang sedang terjadi. Sementara dadanya siap meledak.

Ditengah kemelut itu, samar-samar ia merasa tekanan air semakin kuat, diikuti sebuah benda berat yang tiba-tiba saja membentur dirinya dari arah atas. Perlahan tapi pasti benda berat itu mendesaknya ke sebuah dinding. Zaldy mencoba berkelit. Ia berpikir pasti itu adalah pecahan dinding yang terjatuh. seberapa besar ia tak tahu persis. Yang jelas, desakan itu semakin berat dan kuat.

Meski sudah berkelit, masih susah juga bagi Zaldy untuk menghindar dari pecahan dinding sebesar tubuh manusia itu. Ia hanya pasrah saja ketika perlahan-lahan pecahan dinding itu menekannya ke dinding di belakangnya. Ia memperkirakan sebentar lagi ia gepeng bersamaRiri di ruang bawah tanah tanpa diketahui siapapun. Yang bisa dilakukan adalah mengenggam lengan Riri kuat-kuat. Mbak ini barangkali sudah ditakdirkan menemaninya terkubur di situ.

Zaldy menutup mata dan hanya mampu mengatur nafas. Ia tak memiliki cukup kemampuan untuk berteriak sekalipun. Ia Cuma mampu menanti. Dan kegelapan disekelilingnya terasa amat lengang dan demikian sunyi.

***

Pitra mencoba bangkit. Inrenanu mendesis tak lebih dari dua meter di hadapannya. Ujung-ujung jarinya masih membara setelah melontarkan tombak-tombak api. Mata Inrenanu tak kalah membara daripada wajahnya. Dan sorotnya seratus persen dihunjamkan ke mata Pitra.

”Kau...terlalu turut campur! Kau harus binasa!” pekik Inrenanu serak dan parau. Sorot matanya memancarkan api amarah yang ganas.

Pitra merasa sekelilingnya sekonyong-konyong makin panas. Memang kobaran api sudah mulai menerkam bebrapa bagian yang mudah terbakar di ruang itu. Tapi bara yang dirasakan Pitra kini bersumber dari getaran amarah Inrenanu.

Pemuda itu berusaha berdiri dan menatap Inrenanu. Baginya, apa yang diucapkan pada Karin beberapa saat lalu ternyata ada benarnya. Ia sama sekali tak gentar. Tak takut

Pitra berdiri menantang dan menatap lurus ke mata Inrenanu.

”Kau Cuma iblis dari abad gelap. Tak ada wewenang sama sekali pada kau untuk melenyapkan manusia. Kau tak memiliki urusan mencabut nyawa manusia!”seru Pitra.

Inrenanu terperangah. Ia mengangkat kedua tangan dan bersiap mengarahkan keseluruhan tenaga yang dimiliki. Pitra sigap. Tapi ia kemudian menyadari jarak Inrenanu terlalu dekat untuk dihindari. Ia tahu persis kecepatan tombak api itu. Mustahil baginya untuk menghindar. Lagipula, kali ini Inrenanu benar-benar cukup marah untuk melontarkan senjata andalannya.

Pitra tak sempat memperkirakan ini. Ia sebenarnya gentar. Tapi, apalah artinya mati?

Iblis wanita berwajah pria itu tak sabar lagi. Ia berteriak mengumpulkan tenaga dan mengayunkan jari-jarinya ke arah Pitra. Pitra mendelik. Jantungnya berdebar-debar. Inrenanu tengah mengirim maut padanya.

(BERSAMBUNG KE SINI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun