Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mesin Pengecer Kondom: Sebuah Tantangan Sosiokultur

19 Juni 2011   14:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:22 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pertama kali melihat condom vending machine (mesin pengecer kondom) di toilet laki-laki di Chathucak Weekend Market, Bangkok, Februari 2010. Saya jejalkan koin 10 Baht seperti yang tertulis di mesin, mencet tombol hijau, dan meluncurlah sebungkus kondom merek tertentu dari mesin. Kondom ini saya simpan sampai sekarang, barusan ketemu lagi di antara tumpukan peta dan brosur wisata. Karena berjumpa lagi dengan sang kondom,maka saya bergagasan menulis artikel ini.

[caption id="attachment_114915" align="aligncenter" width="611" caption="Condom Vending Machine di Thailand (foto : Eddy Roesdiono)"][/caption]

Mesin pengecer kondom, di luar dugaan, sudah diproduksi sejak 1928 oleh perusahaan bernama Julius Fromm. Sejumlah negara telah mengadopsi ide ini dan memasang mesin-mesin kondom di toilet pria, di bandara, di pusat keramaian, di bagian depan apotik, di stasiun kereta bawah tanah dan tempat strategis lain. Ukuran mesin ini bisa beragam, mulai dari sebesar telepon umum sampai sebongsor ATM.

Ide mesin pengecer kondom tentu saja bermuasal dari upaya peningkatan seks aman, dan untuk menekan resiko penularan HIV. Apakah aman membeli kondom dari mesin pengecer kondom? Aman saja, asalkan (a) kondom terbuat dari latex, (b) kondom dilabeli kata-kata ‘perlindungan terhadap HIV/AIDS dan STI (sexually transmitted infection) lain, (3) mesin kondom tidak terpapar sinar matahari langsung atau terletak di tempat panas, dan (4) kondomnya tidak berlabel ‘novelty’, karena kondom novelty hanyalah untuk guyonan dan tidak untuk pencegahan kehamilan atau infeksi tularan seks. (menurut FDA, Dinas Makanan dan Obat-obatan Amerika).

Sejumlah negara di dunia sudah ditebari mesin kondom termasuk negara-negara di Asia, seperti Cina, India, Malaysia dan Thailand (setidaknya inilah yang saya tahu). Mesin kondom disediakan sebagai bantuan kenyamanan bagi yang membutuhkan karena mesin ini siaga 24 jam, dan pembelinya tidak perlu malu-malu karena kondom di mesin bisa dibeli tanpa kehadiran orang lain. Tujuan mulia lainnya, adalah untuk mendukung program pengendalian jumlah penduduk dan perlindungan terhadap infeksi tularan seks.

[caption id="attachment_114916" align="aligncenter" width="317" caption="Mesin Pengecer Kondom di Malaysia (foto : www.topnews.com)"][/caption]

Secara gampang, fungsi mesin ini memang jelas : menyediakan sarana yang dibutuhkan dalam keadaan mendesak, yang berimplikasi pengamanan seks juga. Bila keadaan mendesak ini tak memperoleh jalan keluar, bisa dibayangkan penyesalan yang timbul akibat seks tanpa perlindungan sama sekali, di tengah gencarnya perilaku seks bebas di luar nikah, demikian tulis www.merinews.com.

Namun seberapa mudah sang mesin kondom bisa bertengger dengan nyaman di kalangan masyarakat yang multikultur?

Masyarakat Indonesia jelas menolak ide ini. Situs www.indonesiamatters.com pada 7 Maret 2006 menurunkan berita penolakan rencana pemasangan dua mesin pengecer kondom oleh BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) di Sumatra Barat. Penolakan berasal dari Majelis Ulama Indonesia. Ketua MUI setempat saat itu menyatakan bahwa semua elemen masyarakat menolak tegas pemasangan mesin kondom di tempat-tempat umum.

[caption id="attachment_114917" align="aligncenter" width="325" caption="Mesin Kondom di India (foto : www.merinews.com)"][/caption]

Di India juga sempat terjadi penolakan. Ini karena adanya mesin kondom bisa merusak mental anak muda dan menggerus nilai-nilai kehidupan bangsa selain ada keraguan para pelaku seks tak akan repot-repot memanfaatkan mesin ini, dan adanya lain adalah kekuatiran mesin itu akan dirusak oleh tangan-tangan jahil.

Namun kemudian akhirnya India pasang juga itu mesin kondom, karena pada akhirnya kehadiran sarana perlindungan seks memang lebih merupakan kebutuhan daripada kemewahan tanpa makna.

Di Thailand, sang mesin kondom mendapat warm welcome dan langsung bertahta di berbagai tempat strategis, dimanfaatkan wisatawan asing dan penduduk lokal.

Di negara-negara lain, pro dan kontra pasti ada yang semuanya berkisar pada masalah kepantasan sosial dan budaya. Saya sendiri berpendapat bahwa masyarakat kita belum cukup dewasa untuk langsung bisa menerima dan mengadopsi gagasan ini. Masih banyak orang yang bakal mendahulukan reaksi kerasnya katimbang duduk tenang dan menelaahnya panjang lebar dari banyak sisi sebelum merentangkan pendapat.

Selain itu, kayaknya mesin kondom di Indonesia bakal mengundang banyak reaksi dan kontroversi lantaran suburnya persepsi yang multibudaya. Saya malah membayangkan yang simple : mesin kondom bakal  jadi sumber cekikikan anak-anak sekolah, mencengangkan para wanita, sementara para orangtua bakal kuwalahan menjawab tubi-tubi pertanyaan polos anak-anak mereka soal kehadiran mesin seperti itu. Atau jangan-jangan mesin kondom malah akan jadi background foto-fotoan narsis dengan telepon kamera, atau malah dikira model telepon umum baru.

Dan bila melihat pembenaran tingkat urgensinya, tampaknya posisi penetrasi mesin kondom di Indonesia bakal lemah; karena dewasa ini bertebaran toko swalayan kecil di tempat keramaian yang buka 24 jam; dan dengan demikian, beli kondom di toko kendalanya hanyalah rasa malu. Kalau tidak perlu malu, mesin kondom tidak perlu ada.

Dengan takzim saya mengundang segenap Kompasianer untuk berbagi komentar.

Rujukan :

http://www.indonesiamatters.com/151/condom-vending-machines/

http://www.goaskalice.columbia.edu/2516.html

http://www.merinews.com/article/condom-vending-machines-in-india/126005.shtml

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun