Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kaliandra (Novel Seru) Episode 15

20 Mei 2011   23:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:24 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam kelam seperti tak berkesudahan. Tapi, rahasia demi rahasia terkuat lebar. Bagaimana malam kelam ini menyapa pagi? Dengan darah, keserakahan yang membuncah, atau wangi bunga?

EPISODE 15

KELAM MERUNCING

Rio masih belum siuman. Probosangkoro juga tertidur mengorok hebat. Perlahan Candi melepaskan lingkaran lengan dari leher orangtua itu dan beralih memperhatikan Rio.

Wolfgang dan Sujarno duduk bersandar ke dinding tanah. Si rambut jagung melayangkan pandangan berkeliling. Ke delapan anak buah Kuntoro yang masih tersisa di ruangan itu sibuk menuang kopi panas dari sebuah ketel yang dipanaskan di atas tungku berkayu bakar. Tampaknya mereka sangat yakin dengan kekuatan dan keniscayaan para tawanan yang sudah lelah ini untuk melarikan diri sehingga mereka tak perlu ketat mewaspadai mereka.

“Kasihan,” ujar Sujarno dalam bahasa Inggris, ‘Pemuda-pemuda desa ini tak sada r mereka diperdaya dan dimanfaatkan oleh Kuntoro. Kuntoro pasti sudah mengobral janji muluk pada orang-orang ini. Mereka ini adalah orang-orang miskin yang tinggal tak jauh dari Kali Randu dan biasa menerima derma dari Kuntoro. Mereka terlalu setia pada kakek brengsek itu”

Candi tak menimpali, tapi mencoba mencerna kata-kata Sujarno.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” kata Wolfgang.

“Cari cara meloloskan diri. Tapi kita harus buat Rio siuman dulu,” kata Candi. “Kau masih bawa krem obat gosokmu itu, Wolf?’

Wolfgang meneliti tas pinggangnya. Untung masih ada di tas. Ia mengangsurkan krem itu pada Candi.

“Astaga! Bau apa ini?” Rio langsung tergeragap ketika Candi mengolekan krem ke bawah hidung Rio. Ia membuka mata dan mencoba bangun.

“Woi, kau bangun juga!” seru Candi. Rio melihat sekelilingnya. Langsung Candi menjelaskan rentetan peristiwa yang Rio tak ikuti karena pingsan tadi.

“Sekarang kita terperangkap di sini dan tak ada jalan ke luar? Aku yakin ruang terbuka di depan itu langsung menganga ke jurang curam yang tak mungkin bisa kita turuni dengan cara merayap,” ulang Rio. Candi mengangguk.

“Sekarang dengar ini, teman-teman” kata Candi, “Probosangkoro tadi membisikkan sesuatu padaku. Dia bilang ada jalan rahasia yang lebih mudah untuk ke luar di lorong-lorong ini. Jalan rahasia itu tembus ke semak-semak dan lepas ke Kali Randu,” kata Candi.

“Hai, kalian jangan kasak-kusuk pakai bahasa was-wis-wus. Bikin sebal saja,” teriak salah satu anak buah Kuntoro.

“Aku butuh selimut untuk orangtua ini,” kata Candi menunjuk Probosangkoro.

“Aku gak perduli. Biar ia modar kedinginan!” sentak orang itu. Lega Candi. Orang-orang ini pasti tidak mengira mereka sedang membahas soal jalan rahasia.

“Kuntoro di mana sekarang?” tanya Rio.

“Aku tak tahu. Ia keluar lewat lorong itu bersama si jebah, si kumis dan si celana longggar serta satu orang lain. Ia sesumbar akan mengubur kita hidup-hidup di rongga ini setelah anak Kuntoro pasti mendapatkan separuh bukti yang tersimpan di rumah Si Mbah”

“Kalau begitu kita harus gerak cepat. Kita harus cari jalan rahasia itu. Masalahnya, bagaimana kita lolos dari orang-orang ini?” kata Rio. Candi berpikir sebentar.

“Begini saja,” kata Candi, “bagaimana kalau Pak Jarno mengobrol dengan mereka, dan kita coba pengaruhi kesetiaan mereka pada Kuntoro. Pak Jarno pakai bahasa Jawa bicara pada mereka,”

“Ya, tapi bicara apa?” tukas Sujarno. Rio berpikir sesaat.

“Katakan begini pada mereka,” Rio mendekat pada Sujarno dan mengajari Sujarno apa yang musti diomongkan. Sujarno manggut-mangut.

Dapurane! Dibilang jangan was-wis-wus, kok terus was-wis-wus! Nanti kusumpal pakai tanah mulut kalian!” orang yang sedari tadi benci was-wis-wus itu menyalak lagi.

“”Ini bukan sedang ngrasani njenengan, Mas,” kata Sujarno dalam bahasa Jawa. “Saya, rambut jagung dan dua anak muda ini kedinginan dan kehausan. Boleh minta kopi?”

“Kopi tidak cukup,” jawab pemuda itu dalam bahasa Jawa juga.

“Sedikit saja, Mas,” tutur Sujarno, “saya dan njenengan kan sama-sama orang Kemiren. Dan lagi sebentar lagi kita semua akan mati terkubur di sini. Tak ada jeleknya ngopi sedikit bareng-bareng”

“Kita semua? Kalian berempat yang modar. Saya dan 11 pemuda lainnya bakal hidup senang dengan masing-masing 5 juta rupiah, “ kata pemuda itu menyombong.

“5 Juta? Memang sudah terima uangnya?” ujar Sujarno, senang mulai dapat bahan untuk berimprovisasi.

“Ya belum!” jawab si pemuda.

“Walah, kok belum to? Mbah Kuntoro tadi sudah pergi dengan 4 temanmu. Kata Mbah Probosangkoro, ke-empat temanmu itu bakal tenteram hidupnya dengan masing-masing 25 juta rupiah, malah sudah dapat persekot masing-masing 5 juta rupiah. Lumayan, bisa buat beli sapi!” ujar Sujarno, pintar sekali ia membual.

Selawe juta? Tenane? Ojo ngawur!” tanya salah satu pemuda yang sedari tadi tak ikut bicara.

“Iki tenan. Ke-empat orang itu istimewa, posisinya lebih penting daripada kalian. Makanya yang empat itu diajak pergi Kuntoro sementara kalian berdelapan ditinggal di sini. Kalian ra bakal dapat 5 juta itu karena uang Kuntoro bakal tidak cukup buat bayari kalian. Makanya kalian ditinggal di sini,” Sujarno sengaja mengulang kata ‘ditinggal di sini’.

“Pak Kuntoro tidak mungkin meninggalkan kita di sini,” kata pemuda itu, “Jangan coba-coba menghasut!”

“Lha kalau tidak percaya, kenapa salah satu dari njenengan tidak menengok ke lorong sana. Coba lihat, apakah Kuntoro dan empat temanmu masih ada di sana,” kata Sujarno.

Beberapa dari orang-orang ini mulai berkasak-kusuk kuatir. Satu orang berinisiatif menuju ke lorong tempat Kuntoro dan iempat orang itu ke luar. Ia balik lima menit kemudian.

“Celaka, Kang! Jalan ke luar ke atas menuju ke gubug Probosangkoro tertutup. Ditimbun batu besar-besar. Kita tidak bisa keluar!”

Tak cuma orang-orang itu yang terkejut. Rio, Candi dan Sujarno tak kalah kagetnya. Tiga pemuda lalu memeriksa kebenaran soal lorong yang terbuntu itu. Mereka balik dengan infromasi yang sama.

Edan tenan! Ruangan ini sudah tertutup beneran. Kita dikubur hidup-hidup di sini. Bagaimana ini?” panik orang-orang itu. Mereka menoleh pada Candi. Candi mengangkat bahu :

“Waduh, maaf, Mas-mas, jangan menoleh ke saya. Saya juga tak mengira Kuntoro sungguh-sungguh mau mengubur kita di sini. Kalau bukti yang ia cari sudah ketemu, ia tinggal merobohkan rongga ini dengan alat yang ia kuasai,” kata Candi.

“Terus bagaimana ini?” desak seorang pemuda yang mulai kuatir, “lusa aku ini mau melamar pacarku,” tuturnya tanpa malu-malu.

“Ya, mikir sana. Jangan ribut thok!” pemuda yang sedari tadi kelihatan memimpin jadi meradang. Ia kemudian menatap Rio.

“Ada cara ndak, Mas?” pemuda itu bertanya, lebih sopan nadanya.

“Cara terbaik, adalah menuruni tebing di depan itu, pakai tali,” kata Rio menunjuk ruang terbuka di depan rongga.

“Ndak ada tali,” celetuk salah satu pemuda, membetulkan sarungnya..

“Kalau begitu, pakai sarung, disambung-sambung. Saya yakin delapan sarung kalau disambung-sambung bisa mencapai salah satu tempat datar di bawah sana,” kata Rio.

Pemuda-pemuda itu berunding dalam bahasa Jawa. Satu orang mulai melepas sarung, memotong sambungan sarung dengan golong dan melipatnya jadi panjang. Yang lain mulai mengikuti. Sarung-sarung itu disambung-sambung erat, menghasilkan lebih dari 10 meter tali buatan.

Rio mendekati pinggiran ruang terbuka itu dan menyorot lampu ke bawah. Angin dini hari mendesir. Tak ada apa-apa di bawah selain ruang menganga, dan agak jauh ke bawah ada sebidang tanah datar, yang bisa digunakan untuk mendarat. Mudah-mudahan, dari tanah datar itu ada dataran lain yang bisa dilewati.

“Awas, jangan terlalu maju. Bisa jatuh nanti,” kata Rio, melihat beberapa pemuda mengeratkan ujung tali sarung ke sebuah batang pohon.

“Baiklah, Mbah Probosangkoro harus diturunkan dulu. Siapa yang mau bantu?” tanya Sujarno.

“Mbah Probo ditinggal wae. Bikin repot saja,” bentak pemuda pemimpin.

“Kalau begitu, saya saja turun duluan,” kata Candi.

“Tidak bisa! Kami duluan!” kata pemuda pemimpin yang dipanggil ‘kang’ itu. Ia menyingkirkan Candi dengan kasar. Rio tersenyum dalam hati. Ia memang berharap orang-orang ini yang turun duluan; bagian dari strategi yang sudah disusun di otaknya.

Sedikit gaduh dan takut-takut pemuda-pemuda itu bergiliran turun. Sujarno, Rio, Candi dan Wolfgang menanti dengan geli sekaligus cemas.

Si Kang turun terakhir. Begitu ia melorot perlahan dengan sarungnya, Rio menanti beberapa saat. Rio kemudian mengambil sebuah lampu minyak dan membakar ujung separuh penampang sarung dengan lampu.

“Kenapa tidak dibakar habis sekalian?” tanya Sujarno.

“Kalau terbakar habis, mereka akan tahu kita memperdayai mereka. Kalau saya bakar sedikit, mereka mengira tali masih terikat. Kalau mereka naik lagi pakai tali ini, tali bakal putus dan tak bisa dipakai buat naik,” kata Rio. Sujarno mengerti maksud Rio.

“Bagus juga akalmu. Orang-orang itu, gagal dapat lima juta malah kehilangan sarung,” kelakar Sujarno

“Oke, sekarang kita cari jalan rahasia itu,” kata Candi.

Dengan sejumlah cublik mereka berempat menelusuri lorong demi lorong dan cabang-cabangnya. Wolfgang yang bertubuh besar mengangkat Probosangkoro di pundaknya.

“Menurut Probosangkoro, lintasan itu sudah lama tidak terpakai. Ia menggali lubang itu untuk bersembunyi kalau-kalau tentara Jepang menemukan tempat persembunyiannya,” tutur Candi.

Pada saat mereka masih sibuk menetapkan jalan rahasia yang dimaksud, tiba-tiba terdengar gelegar berat dari bagian lorong yang telah mereka tinggalkan, diikuti guncangan keras dan remah-remah berguguran dari atap lorong. Hembusan butiran tanah terhempas sampai di lorong tempat mereka berada. Udara jadi pengap.

“Kuntoro tidak main-main. Ia benar-benar merobohkan rongga tadi,” kata Candi.

“Kita harus temukan jalan rahasia itu secepatnya. Sebentar lagi tidak ada cukup oksigen buat kita,” kata Rio.

Selama beberapa menit mereka meneliti setiap cabang lorong. Tak ada satupun yang bisa disebut sebagai jalan keluar. Udara makin pengap. Keringat menghiasi wajah. Wolfgang terengah-engah membawa Probosangkoro.

Rio melihat sebuah batu aneh sebesar pelukan penuh tangan orang dewasa, separuh tertancap di dinding salah satu lorong. Ia mendekatkan lampu senter.

“Buat apa kira-kira batu ini?” tanya Rio.

“Mungkin ini batu penutup jalan rahasia. Ayo kita angkat,” kata Candi.

Sujarno, Candi dan Rio mencoba mengangkat batu itu. Berat sekali. Semula batu tak bergerak. Wolfgang menurunkan Probosangkoro dan membantu. Batu itu bergerak. Bersamaan dengan itu, lorong makin bergetar hebat. Atap lorong runtuh satu persatu. Gumpalan debu menyesaki lorong. Lorong-lorong ini pasti bakal ambruk seluruhnya.

“Betul,” ada terowongan di sini,” Rio menyorotkan senter. Bau tanah apek menyergap hidung.

“Apa tidak terlalu curam menurutmu?” kata Candi terbatuk-batuk bernafas dalam debu..

“Mana aku tahu. Tapi ini peluang terakhir kita, tak ada pilihan. Ayo masuk,” ujar Rio. “Masuk kepala dulu. Wolfgang duluan, bawa lampu senter menyorot ke belakang. Aku dan Pak Jarno akan bawa Mbah Probosangkoro paling belakang,”

Menahan bau apek luar biasa, Candi merangkak menyusul Wolfgang menerobos lorong yangtidak bisa dilalui sambil berdiri itu.

Susah payah Rio dan Sujarno membawa tubuh lunglai Probosangkoro. Sujarno bergerak dengan punggung terlebih dahulu karena kedua tangannya menyangga bahu Probosangkoro, dan merayap mundur. Rio kebagian menahan kaki Probosangkoro dan mengikuti gerakan tarik Sujarno.

Beberapa meter setelah kaki Rio masuk terowongan itu. Tanah berdebum hebat dan mulut terowongan tertutup. Sebagian debu terhantar ke terowongan sempit itu dengan butiran batu bercampur tanah menghantam kaki dan punggung. Rio berharap terowongan itu tak ikut ambruk, dan perjalanan menembus terowongan itu akan aman-aman saja.

Tapi siapa nyana kemudian Wolfgang berteriak.

“Celaka! Terowongan ini makin curam dan licin!”

Belum sempat Rio menimpali, ia mendengar Wolfgang meluncur tanpa kendali meski dengan tangan bersitumpu di dinding terowongan untuk menahan derasnya luncuran. Luncuran ini diikuti tubuh Candi, dan tentu saja Sujarno yang meluncur dengan punggung terlebih dahulu, dan Rio yang mati-matian berusaha keras menangkap kaki Probosangkoro yang terseret luncuran deras Sujarno.

Kelima tubuh itu meluncur deras selama beberapa saat. Tak terhitung teriak kesakitan kesakitan mana kala tubuh tersayat bebatuan di permukaan lorong. Rio tak tahu berapa lama mereka meluncur ketika ia mendengar ceburan di barisan paling depan diikuti tiga ceburan lain dan akhirnya ia sendiri yang tercebur. Inilah ujung lorong itu.

“Huah!” terdengar lemparan nafas lega dari para peluncur itu. Mereka mendarat di salah satu bagian Kali Randu yang masih berair, dan untungnya, lumayan dalam untuk menahan luncuran itu, tapi tidak terlalu dalam untuk membuat mereka tenggelam. Sujarno dan Rio sibuk menyelamatkan Probosangkoro dari air dan mencari tepian. Gelagapan orang tua itu bernafas dengan wajah penuh air.

“Super sompret!” teriak Candi. “Tiga kali sudah aku meluncur di desa ini! Tidak lagi, deh!”

”Ini salah satu palung Kali Randu, di bawah sebuah tudung baru di tebing. Untung musim kemarau. Kalau musim hujan palung ini dalam,” kata Sujarno mencoba mengangkat Mbah Probosangkoro dan merebahkannya di dataran kering.

”Itu ada cahaya lampu dari seberang kali,” Candi menunjuk jauh ke seberang.

”Itu rumah penduduk!”

”Ayo cepat kita cari bantuan. Bagaimana Mbah Probosangkoro?” tanya Rio.

”Gawat! Tak ada denyut nadinya,” kata Sujarno setelah memeriksa Probosangkoro yang berada dalam panggulan pundak Wolfgang. Terseok-seok mereka melintasi badan Kali Randu yang setengah kering’

Wolfgang perlahan menurunkan Probosangkoro di antara pasir sungai mengering.

”Ia tak tertolong. Mbah Probosangkoro sudah tewas!” kata Sujarno setelah memeriksa nadi Probosangkoro sekali lagi.

Mereka berempat duduk tertunduk di seputar tubuh tak bernyawa Probosangkoro, sejenak tanpa bicara, menyesali kepergian orangtua itu. Terlalu besar deraan derita buat orangtua itu.

Mereka kemudian memutuskan membawa tubuh Probosangkoro ke tepian sungai. Beruntung mereka menemukan sebuah dangau reyot dan membaringkan Probosangkoro di sana.

”Untuk sementara kita baringkan Probosangkoro di sini! Kita harus mencari bantuan untuk menghentikan Kuntoro. Ia pasti berada di suatu tempat menunggu anaknya,” kata Candi.

”Anaknya?” ulang Rio. ”Anak Kuntoro! Siapa dia kira-kira?” Rio bertanya-tanya sendiri.

Ia berdiri, ”Aku harus mencari anak Kuntoro. Siapapun dia. IA harus dicegah agar tak mendapatkan bukti itu dari rumah Si Mbah," kata Rio.

"Kita bagi tugas, Can. Kau, Pak Jarno dan Wolfgang coba lacak Kuntoro. Aku akan ke rumah Si Mbah. Mudah-mudahan belum terlambat menghentikan anak Kuntoro mengambil bukti itu,” kata Rio.

”Ya, Rio. Segera saja. Bukti kertas itu dilipat di balik bingkai cermin kuno di dalam kamar Si Mbah. Bongkar bagian belakang cermin itu, kau akan mendapatkannya!” kata Sujarno.

Rio segera beranjak dari gubug itu dengan lampu senter yang mulai meredup. Lampu yang masih menyala terang ia tinggalkan untuk Candi.

”Hati-hati, Rio!” ujar Candi. Iaberkacak pinggang meneliti sekeliling. ”Kita harus segera mencapai dusun terdekat, cari bantuan dari penduduk. Jam berapa sekarang?” tanya Candi.

”Jam tiga!” kata Sujarno, melihat arlojinya dekat mata.

”Pak Sujarno kenal kawasan sini?” tanya Candi.

”Mudah-mudahan!”

Candi, menutupi sekujur tubuh Probosangkoro dengan jaketnya. Ia kemudian menyusul Sujarno dan Wolfgang berlari kecil dalam kelam dengan bimbingan nyala lampu senter. Mereka menerabas puluhan semak dan memanjat tebing, mencoba makin dekat dengan kelap-kelip lampu dari rumah penduduk.

Ketika kelap-kelip lampu makin terang, sekonyong-konyong terdengar teriak-terkan memecah sunyi. Jauh di seberang sungai, di tengah tebing-tebing, tiba-tiba muncul banyak pendaran lampu terang yang bukan berasal dari nyala lampu minyak. Cahaya lampu sorot besar berseliweran. Terdengar pula sejumlah tembakan dengan desing membahana.

Candi, Wolfgang dan Sujarno tertegun sesaat dan menatap kegaduhan di kejauhan itu. Terdengar pula lamat-lama suara terbawa angin, berasal dari sebuah pengeras suara jenis megaphone.

”Saudara-saudara yang berada di tebing harap menyerah! Kalian sudah dikepung polisi!” berulang-ulang suara itu dikumandangkan, makin jelas dan terang.

”Polisi?” gumam Sujarno lega, ”syukurlah, ”Pak Lurah pasti sudah menghubungi polisi”

Dan suara polisi itu terdengar lagi.

”Saudara-saudara kami beri waktu 10 detik untuk menyerah. Ulang, saudara kami beri waktu sepuluh detik untuk menyerah!”

Candi, Sujarno dan Wolfgang berdiri menatap tebing-tebing yang pasti merupakan tempat ke delapan anak buah Kuntoro itu terjebak setelah turun melalui tali sarung tadi.

”Satu.......dua......tiga.......” terdengar suara dari megaphone.

Lalu senyap. Tapi sebentar kemudian terlihat makin banyak cahaya di tebing itu dan terdengar suara letusan senjata yang mungkin merupakan tembakan peringatan.

”Mereka pasti sudah menyerah sekarang. Dugaan saya, polisi menggunakan petugas macam pemanjat tebing untuk menjangkau anak buah Kuntoro atau melempar tali ke atas untuk membantu mereka turun dari tempat mendarat pakai sarung tadi,” kata Candi.

”Apakah kira-kira Kuntoro juga tertangkap?” desis Sujarno.

”Ayo kita cari tahu,” kata Wolfgang. Mereka kemudian berbalik arah, mencari jalan ke bagian bawah tebing agar bisa mendekat ke lokasi benderang itu.

Tak gampang mencapai bagian bawah tebing itu. Mereka harus memutar cukup jauh untuk menghindarkan tebing-tebing di sisi lain Kali Randu.

”Terus terang, Pak Jarno, saya masih ragu Kuntoro sudah tertangkap,” kata Candi berjalan dalam gelap si sebelah Sujarno dan Wolfgang.

”Mudah-mudahan!” kata Sujarno. ”Aku sudah muak pada tingkahlaku orangtua itu,”

”Tertangkap? Tentu saja tidak semudah itu!” tiba-tiba mereka dikejutkan sebuah suara suara dari semak-semak, diikuti lampu senter yang sengaja ditutupi sarung agar redup.

Candi dan Sujarno terkejut. Meski remang, Candi langsung tahu pemilik suara itu. Itu Kuntoro! Di sebelahnya, berdiri si jebah, si celana longgar, dan si kumis. Bagaimana mungkin Kuntoro berada di sekitar sini?  Orangtua keji ini benar-benar licin.

”Aku selalu beruntung memilih tempat lari atau bersembunyi," kata Kuntoro seolah ingin menjawab rasa penasaran Candi kenapa ia bisa berkeliaran di kawasan ini.

"Yang menyerah di sana itu adalah orang-orang yang bimbang pada kesetiannya padaku, dan yang tak pintar memilih ruang untuk bertahan,’ Kuntoro tersenyum, memuji olah kata filosofisnya.

”Kini semua tugasku hampir tuntas. Kertas yang kuambil dari rambut jagung itu sudah ada pada anakku dan anakku pasti sudah menyelesaikan tugasnya mengambil satu carik lagi di rumah Parto Sumartono. Ia kemudian akan membawanya ke luar Kemiren”

Candi dan Sujarno mencoba mencerna kata-kata Kuntoro. Kuntoro pasti tidak bohong. Pasti salah satu dari empat orang yang mengawal Kuntoro telah diutus untuk membawa kertas bukti itu ke anak Kuntoro yang menunggu entah di mana.

Kuntoro mendekati Candi, ”Tahu tugas terakhir saya? Melenyapkan kalian!” suara Kuntoro menjadi bengis.

”Kau akan segera tertangkap, Kuntoro!” geram Sujarno berteriak.

”Aku pasti tertangkap, tinggal tunggu waktu!. Tak jadi soal aku menghabiskan sisa umur di penjara. Tapi anakku bisa mengenyam uang itu, di negeri asal uang itu disalurkan. Selamat tinggal!” Kuntoro tersenyum lagi, dengan sungging kemenangan di bibir.

Si jebah mengambil tempat Kuntoro tak jauh dari Candi dengan parang terhunus. Benda yang sama terhunus juga di tangan si celana longgar, dan si kumis. Tiga jagal ini tinggal menunggu perintah, untuk membuat tepian Kali Randu bersimbah darah.

***

Benar-benar bukan pekerjaan mudah mencari jalan ke perkampungan penduduk pada malam segulita itu. Kalau tadi habis kulit dibabat dinding kasar jalur perosokan, kini kulit Rio tanpa jaket harus rela tergores-gores ujung dahan-dahan ranggas.

Ia dikejutkan pula oleh suara rententan tembakan dan kelap-kelip banyak lampu di tebing jauh di depan. Ia mendengar pula suara pengeras suara dari corong megaphone.Ia tahu aparat penegak hukum pasti tengah beraksiseperti yang dijanjikan Pak Lurah. Dan Rio berjalan terus dalam gelap.

Begitu ia berhasil mendekati sebuah rumah, ia langsung menyambar lampu minyak berdinding kaca yang tergantung di depan rumah orang. Dengan lampu itu ia agak leluasa bergerak dan segera mencari jalan makadam menuju ke rumah Si Mbah. Ia harus adu cepat dengan siapapun yang akan datang ke rumah Si Mbah untuk mencari bukti kertas itu.

Agar lebih cepat, Rio berputar lewat halaman belakang rumah Bu Parmi. Tak ada Hansip di belakang rumah Bu Parmi. Sejumlah Hansip hanya terlihat berseliweran lewat bayang-bayang lampu yang terlihat dari jauh.

Rio berhenti sesaat ketika ia melihat dua bayangan manusia berjalan tergesa meninggalkan rumah Si Mbah dan berjalan ke arahnya. Itu mirip seorang wanita, terlihat dari rambutnya yang berkibar ditiup angin pagi. Ketika berpapasan dengan Rio, lampu baterai salah satu sosok itu tertancap ke Rio. Harum rempah menebar dari sosok di depannya. Heran Rio mendapati Bu Lurah berjalan tergesa dengan Harjo. Bu Lurah mengenakan celana jeans ketat dengan t-shirt warna putih dan jaket olahraga bermerk.

”Dik Rio!” pekik kecil Bu Lurah, jadi salah tingkah, mungkin karena ketahuan berduaan dengan Harjo dalam gelap dini hari itu. Harjo malu-malu menatap Rio.

”Si Mbah tambah gawat, Dik,” ujar Bu Lurah sebelum Rio bicara, ”Saya baru saja memberinya obat Cina khusus. Pak Lurah sedang memandu penggerebegan komplotan bajingan di Kali Randu bersama pasukan dari Polres. Dik Rio dari mana?” tanya Bu Lurah.

”Saya.......dari.....” Rio menjawab.

”Baiklah, Dik. Saya tergesa-gesa. Rumah dan kantor desa tidak ada yang jaga. Saya dan Harjo harus balik ke kantor desa. Cepatlah tengok Si Mbah,” serobot Bu Lurah bersiap bergerak.

”Sebentar, Bu Lurah,” tahan Rio.

”Maaf, Dik. Maaf. Ayo, Jo,” Bu lurah menggamit Harjo. Harjo menyambutnya dengan rengkuhan di pinggang ramping Bu Lurah. Kelihatan bangga sekali Harjo bisa memperlakukan Bu Lurah sedemikian rupa.

Rio melanjutkan langkah. Tapi sejenak ia merasa ada getar aneh dari wajah Bu Lurah. Ia menoleh, melangkah mundur sembari terus memperhatikan dua sosok yang berjalan menjauh. Rio melihat Bu Lurah berhenti dan menoleh pada Rio dalam gelap, seolah tahu persis Riopun tak lepas menatap kepergiannya. Harjo berkacak pinggang, jengkel.

”Mbak Prap, tunggu apa lagi? Ayo jalan,” kata Harjo.

”Kau jalan dulu, Jo! Aku bali ke Rio dulu. Masih ada yang perlu kubicarakan dengan Rio,” kata Bu Lurah.

”Mbak Prapti!” protes Harjo.

”Kau jalan dulu! Tunggu aku di pertelon,” Bu Lurah bernada memerintah. Takut-takut Harjo melangkah menuruti kata-kata Bu Lurah. Bolak-balik ia menoleh ke arah Bu Lurah yang melangkah balik ke arah Rio. Harjo cemburu melihat perempuan itu berbalik ke arah mahasiswa itu.

Rio tahu Bu Lurah berbalik. Ia menanti di bawah sebuah pohon. Sebentar kemudian wanita itu kini berada di hadapan Rio. Ia tetap kelihatan hebat pada dini hari seperti itu, rambut terurai, senyum menggoda dan semerbak rempah-rempah.

“Rio,“ ucap Bu Lurah perlahan, “Saya mau minta maaf soal kejadian di rumah Bu Parmi itu. Saya menyesal, tak akan itu terulang lagi“

Rio mengangguk dan menatap mata perempuan itu. Bu Lurah mendesah kecil.

“Tapi kau perlu tahu, aku sangat suka kamu. Kamu muda, ganteng dan gagah. Aku jatuh hati!” Bu Lurah menatap Rio sesyahdu yang sudah-sudah.

”Saya juga minta maaf telah berlaku kasar,” hanya itu yang bisa diucapkan Rio. Dadanya bergetar, sama bergetarnya seperti yang sudah-sudah ketika meladeni tatapan perempuan itu.

Bu Lurah beringsut lebih dekat ke wajah Rio. ”Mungkin kita tak akan pernah bertemu lagi. Kita akan sibuk dengan urusandan dunia masing-masing. Olah karena itu, bila kau rela, bisakah kau mengabulkan satu permintaanku?” mendesah bibir Bu Lurah.

”Apa itu?”

Bu Lurah meraba tangan Rio yang sedang menggenggam lampu minyak dan membantu Rio menurunkan lampu itu di tanah. Keduanya berhadapan demikian dekat. Dari jauh, dengan sinar lampu minyak dari bawah, ini terlihat seperti sepasang kekasih siap bercumbu dalam temaram lampu minyak.

”Dengan kerelaanmu,” lirih suara Bu Lurah, ”beri aku ciuman”

Rio menatap dalam-dalam mata Bu Lurah. Menengadah Bu Lurah menanti.

”Cium aku. Aku janji tak akan mendekapmu. Beri aku ciuman terbaikmu dan tak akan kulupakan itu seumur hidupku,” Bu Lurah memejamkan mata. Rio menyapukan bibir ke bibir Bu Lurah. Bu Lurah menyambutnya hangat tanpa menyentuh Rio. Rio melingkarkan lengan di pinggang Bu Lurah dan menarik erat ke tubuhnya. Sejenak perempuan itu tak berusaha membalas dekapan Rio. Taoi angin dingin terlalu kuat berhembus, membuat perempuan itu ingkar janji. Ia memeluk lebih erat, dan Rio tak keberatanBu Lurah ingkar janji. Rio tahu perempuan ini demikian menginginkannya. Dibiarkannya hangat dari dada Bu Lurah merembet ke dadanya.

Tapi tiba-tiba saja Bu Lurah melepaskan diri. ”Maafkan saya....maafkan saya,” ia berkata lirih. Rio masih bisa melihat merah menyala bibir itu dengan nafas memburu.

”Mbak Prap!” seru Rio.

”Maafkan saya ....,” Bu Lurah mundur beberapa langkah, berbalik dan berlari ke arah pertelon. Rio sangat berhasrat untuk memanggilnya. Tapi angin dingin membuat lidahnya kelu. Ia membiarkan saja wanita itu hilang ditelan kelam.

Agak lama Rio mematung di bawah pohon itu. Ia baru sadar ketika mendengar suara Hansip dari kejauhan di depan rumah Si Mbah, yang mengingatkannya bahwa ia harus lekas ke tempat Si Mbah.

Tak sempat Rio menyapa dua hansip di depan rumah Si Mbah. Ia langsung mencari si Mbah di kamarnya. Istri Sujarno heran melihat Rio baru datang dini hari itu. Bu Parmi juga ada di situ, menemani istri Sujarno.

”Bu Jarno tahu satu persatu anak-anak Pak Kuntoro?” tanya Rio langsung, sedikit tersengal, tak menghiraukan pandangan aneh istri Sujarno dan Bu Parmi.

”Ya, tahu semua,” ujar istri Sujarno heran.

”Adakah salah satu dari anak Pak Kuntoro datang kemari malam ini?”

”Tidak. Semua anak Pak Kuntoro tinggal di luar Kemiren. Ndak mungkin menjenguk Si Mbah malam-malam begini,” kata istri Sujarno. ”Yang datang ke sini malam ini cuma Bu Lurah, barusan, ditemani Harjo. Bu Lurah mengantar obat buat Si Mbah, dan mengambil sesuatu dari balik cermin tua di kamar Si Mbah. Katanya Dik Rio yang suruh!

Rio langsung menghampiri cermin lama berbingkai kayu dan memeriksanya. Bagian belakang pelapis cermin sudah tersobek. Bu Lurah alias Praptiwi pasti telah mendapatkan kertas bukti itu.

”Bu Jarno tahu apa yang diambil Bu Lurah dari balik cermin itu?” Rio memastikan.

”Sepertinya kertas pelapis cermin!”

”Kalau begitu. Tahan. Obat dari Bu Lurah jangan diminumkan Si Mbah!”

”Kenapa?”

”Ini gawat. Saya tidak minta Bu Lurah ambil apapun dari rumah ini!”

”Oh, begitu?” kata istri Sujarno. ”Lalu kabar suami saya bagaimana?”

Candi, Wolfgang dan Pak Sujarno selamat. Ibu tak usah kuatir. Kuntoro, biang kerusuhan semua ini sedang dalam pencarian polisi,” kata Rio.

”Kuntoro?” sambar Bu Parmi yang sedari tadi cuma mendengarkan.

”Ya, Kuntoro. Saya, Candi, Wolfgang dan Pak Jarno baru lolos dari sekapan Kuntoro di tebing rahasia Kali Randu. Mbah Probosangkoro tewas dianiaya Kuntoro. Kuntoro bilang malam ini anak Kuntoro datang ke sini untuk mengambil sesuatu”

”Kuntoro! Kuntoro, kata Nak Rio!” sekali lagi Bu Parmi memandang Rio panik.

”Ya, Bu!”

”Duh Gusti!” pekik Bu Parmi menutup wajahnya dengan kedua belah tangan.

”Kenapa, Bu Parmi?”

”Oh, si bajingan itu......gusti....,” Bu Parmi terhisak. Rio mencoba menenangkan perempuan tua ini.

”Ada apa, Bu. Bicaralah pada saya?” kata Rio.

”Kejar Bu Lurah! Kejar si Praptiwi itu,” sambar Bu Parmi.

”Bu Lurah?” Rio heran.

”Ya. Ia anakku, tapi anak Kuntoro juga!” kata Bu Parmi.

”Hah!”

”Saya yang salah. Saya yang salah.....saya malu....Kuntoro itu kekasih gelap saya. Ini rahasia yang bertahun-tahun terpendam. Sekarang harus saya buka. Praptiwi anak saya dengan Kuntoro. Sejak dulu Kuntoro memang punya dendam pada Si Mbah Parto Sumartono. Kuntoro pasti telah memanfaatkan Praptiwi. Kejar dia, Nak Rio! Dapatkan dia! Cegah apapun yang ia akan lakukan! Dia sudah kerasukan nafsu serakah Kuntoro!” Bu Parmi tak berhenti melolong.

Rio menatap gelap di depannya. Tak habis pikir dari malam sampai pagi ini misteri Kemiren membuahkan rahasia-rahasia tak terduga. Ia harus mengejar Praptiwi.

Kelam pagi ini makin meruncing saja.

(bersambung)

catatan :

ngrasani = membicarakan diam-diam (bahasa Jawa)

njenengan = Anda (bahasa Jawa)

selawe = duapuluh lima (bahasa Jawa)

dapurane = seperti’sialan’ (bahasa jawa)

tenane = betul (bahasa Jawa)

thok = saja (bahasa Jawa)

pertelon = pertigaan (bahasa Jawa)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun