Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kaliandra (Novel Seru). Episode 8

13 Mei 2011   23:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:44 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian misteri mulai terkuak. Akankah Rio dan Candi mulai gentar?

EPISODE 8

SEPUCUK SURAT

Embun pagi masih memeluk rerumputan dan kelopak-kelopak bunga di depan rumah Pak Lurah. Matahari belum nampak. Pagi benar-benar redup dan beku. Beranda rumah Pak Lurah berselimut kabut tipis.

Hendro, anak Pak Lurah bersiap dengan jaket dan tas punggung yang berat. Sebuah sepeda motor menanti dengan suara knalpot meraung-raung. Bu Lurah mengantar Hendro ke halaman rumah dan menanti Hendro naik di boncengan motor salah satu anak buah Pak Lurah yang akan mengantarnya ke kota kecamatan. Sampai Sabtu depan Hendro akan berada di kota kecamatan, tinggal dengan kerabat Pak Lurah.

Hendro melambaikan tangan. Bu Lurah membalas lambaian tangan Hendro, ”Hati-hati, ya, Nak!” ujar Bu Lurah.

Bu Lurah merapatkan mantel hangat dan hendak masuk rumah ketika ia melihat Candi dan Rio muncul dari keremangan kabut pagi itu.

”Dik Candi?” sapa Bu Lurah, ”Sudah sehat, to?”

“Saya sudah mendingan, Bu. Sekarang kami mau bertemu Pak Lurah. Tadi ketika Pak Lurah ke tempat kejadian, saya belum bicara banyak. Ini penting, bu!” kata Candi.

Bu Lurah sempat melirik Rio. Rio menangkap wajah segar Bu Lurah pagi ini.

”Bapak belum tidur sejak tadi subuh setelah meninjau tempat kejadian. Ayo pinarak di dalam. Dingin di sini,” Bu Lurah memimpin masuk rumah.

Asromo keluar dari bilik tidurnya ketika Rio dan Candi baru saja duduk di ruang tamu. Mukanya lebih kusut daripada yang sudah-sudah. Kerut-kerut di wajahnya makin banyak.

”Apa saya bilang? Firasat saya betul, kan? Ancaman itu tidak main-main, kan? Masih untung kau tidak tewas digorok bajingan itu,” kata Pak Lurah tanpa basa-basi. Ia tampak berada di atas angin karena kata-katanya kemarin terbukti benar.

”Bukan itu masalahnya, Pak. Saya tidak minta simpati Bapak. Tapi, Bapak lihat Saidun jadi korban,” kata Candi.

”Lha itu kan karena kesalahan kalian! Coba kalian hengkang dari kemarin sore, tak akan ada korban itu!” bentak Pak Lurah. Rio tersentak.

”Pak Lurah tidak selayaknya bicara begitu. Si Mbah dikeroyok orang. Apa itu juga salah kami? Apa itu juga salah saya karena hadir di desa ini bertepatan dengan hari penganiayaan itu?” kata Rio, agak emosional. Sudah luntur rasa hormatnya pada Pak Lurah.

Pak Lurah tidak menyahut.

”Desa ini gawat, Pak! Tak akan ada gunanya Bapak menyembunyikan sesuatu pada kami. Korban akan berjatuhan dengan atau tanpa kehadiran kami di sini. Kami sudah cukup terlibat sekarang!” kata Rio.

”Berulang kali saya bilang saya tidak ingin melibatkan kalian. Ini urusan pribadi desa ini. Jadi pergilah kalian dari desa ini selagi bisa,” salak Pak Lurah.

”Tapi kejadian-kejadian yang berkembang sudah tidak lagi pribadi. Dua korban sudah jatuh. Temanku Candi hampir tewas dicabik-cabik belati,” tegas Rio.

Bu Lurah menggigit bibir menyimak percakapan yang makin panas ini. Ia urung menyiapkan teh hangat. Pak Lurah tampak bimbang. Wajahnya kacau balau.

”Baiklah,” kata Candi. ”Kalau memang Pak Lurah bersikukuh untuk menyembunyikan fakta yang sebenarnya, kami akan cari sendiri. Dunia luar harus tahu ini. Saya akan kirim faks ke kantor redaksi saya siang ini. Saya akan tulis berita lengkap peristiwa-peristiwa kriminal desa ini dan saya akan kutip kata-kata Pak Lurah yang menyatakan pimpinan desa ini menutup-nutupi kejahatan”

Candi berdiri diikuti Rio. Asromo gusar. Sesaat ia membiarkan Rio dan Candi meninggalkan ruang tamu. Sejenak Asromo tak tahu apa yang harus dilakukannya.

”Sebentar!” seru Pak Lurah. Rio dan Candi menoleh.

”Kalian tunggu saya di kantor. Lima menit lagi saya menyusul,” kata Pak Lurah kemudian.

Candi dan Rio melangkah menuju ke kantor lurah. Penjaga kantor tergopoh-gopoh membuka pintu kantor. Matahari perlahan muncul. Redup berganti terang. Rio mengais embun di dedaunan di depan kantor desa dan membasuhkan ke wajahnya.

Begitu sampai di kantor desa, Asromo mengisyaratkan agar Candi dan Rio masuk kantor pribadi Asromo. Sebelum masuk ruang kantor, Asromo menyapukan pandangan berkeliling untuk memastikan tak ada orang lain di sekitar kantor, kecuali penjaga kantor yang kini tengah menyapu halaman.

Sembari menempati kursinya, Asromo mengeluarkan secarik amplop dari saku baju batiknya. Amplop itu tidak biasa. Terlihat kertasnya bagus, dengan ketikan mesin tik elektronik di bagian depan, dan berperangko luar negeri.

”Sehari sebelum Mbah Parto dianiaya orang, saya terima surat ini lewat pos,” berhati-hati Asromo bicara, dan berhati-hati pula ia mengangsurkan sepucuk amplop surat . Amplop itu berperangko Belanda itu.

”Bacalah!” kata Asromo. Rio memberi tanda agar Candi membuka surat itu. Candi melepas carik kertas dari amplopnya. Surat itu ditulis dalam bahasa Inggris, ditandatangani oleh seorang Belanda.

Tak sabar Rio menanti Candi menuntaskan membaca surat. Candi menutup kembali surat itu setelah membaca, dan menoleh Rio.

”Ini surat dari Yayasan Kristoff von Weissernborn di Leiden, Belanda. Yayasan ini berencana akan menghibahkan uang 500.000 gulden untuk Parto Sumartono,“ ucap Candi.

“Lima ratus ribu gulden?“ mulut Rio menganga.

“Jumlah yang cukup besar,“ sela Asromo.

“Sekitar limaratus juta rupiah,“ sambung Rio, menghitung dengan kurs 1 gulden Belanda sama dengan 1000 rupiah.

”Uang hibah ini akan cair dengan syarat Parto Sumartono bisa menunjukkan ’bukti’ tertentu. Untuk itu, tak lama lagi Yayasan Kristoff von Weissernborn akan mengirimkan utusan untuk meneliti ’bukti’ itu. Kalau bukti itu benar, uang hibah akan segera diterima Si Mbah,” kata Candi melanjukan isi surat.

”Ya, siapa yang punya bukti itu, dialah yang bakal terima uang hibah itu,” kata Asromo.

”Kira-kira, bukti apa itu, Pak Lurah?” tanya Rio.

Asromo mendesah. ”Saya sendiri tidak tahu. Tapi bisa jadi itu adalah dokumen atau benda lain yang dulu pernah disepakati oleh von Weissernborn dan Parto Sumartono sebagai tanda pernah bekerjasama. Hanya Si Mbah yang tahu bukti itu,” kata Asromo.

”Tapi alasan apa yayasan itu perlu melacak bukti terlebih dahulu. Apa mereka tak percaya pada Si Mbah?” Rio menyampaikan pertanyaan yang sejak tadi ingin disampaikannya.

”Boleh jadi,” sela Candi, ”karena yayasan bertindak hati-hati. Maksud saya, mereka tak akan percaya begitu saja pada orang-orang yang dihubungi. Ingat, von Weisserborn sendiri wafat pada tahun 1982”

”Sekarang aku mulai mengerti,” ujar Rio. ”Bukti itu yang dicari pengeroyok Si Mbah. Masalahnya, bagaimana bajingan-bajingan itu tahu?”

”Selain Pak Lurah,” sela Candi, ”siapa lagi yang tahu isi surat itu?”

Asromo menggeleng. ”Hanya saya yang tahu. Saya sendiri heran bagaimana isi surat ini tercium orang lain”

”Di mana Pak Lurah menyimpannya?” tanya Rio.

”Pada hari pertama, saya simpan di tempat tersembunyi di laci kerja saja. Laci saya kunci. Kuncinya saya kantongi terus. Baru pada hari kedua surat itu saya simpan di lemari pribadi di rumah saya, di tempat yang tersembunyi. Bahkan Bu Lurah juga tidak tahu surat ini,” ujar Asromo.

”Maaf kalau saya lancang. Surat ini kan ditulis dalam bahasa Inggris. Maaf, bagaimana Bapak bisa faham isi surat ini. Bapak bisa bahasa Inggris?”

”Saya mencoba membaca sebisanya, pakai kamus. Lumayan berhasil, buktinya yang Dik Candi katakan tadi soal isi surat ini benar seperti dugaan saya, walaupun saya hanya baca kata-katanya lewat kamus,” jelas Asromo.

”Baiklah, ini lain soal. Barangkali Pak Lurah tahu kenapa kami mendapat surat ancaman itu?” tanya Candi.

Asromo tak lekas menjawab. Ia menyeka dahi dengan telapak tangan. Lama ia mengurut-urut dahinya sendiri.

”Terus terang,” kata Asromo, ”saya yang perintahkan staf saya memata-matai kalian. Saya curiga kenapa kamu, Candi dan rambut jagung itu bisa hadir hampir bersamaan saat adanya surat ini. Tapi soal ancaman itu, saya tidak tahu. Saya berani angkat sumpah saya tidak tahu menahu soal ancaman itu. Sekarang saya malah balik percaya ada kelompok tertentu yang ingin main kayu menguasai uang hibah itu. Jika utusan dari yayasan Belanda datang, bajingan-bajingan itulah yang akan mengaku punya bukti itu,” gigi Asromo bergeletuk.

Candi dan Rio berpandangan. Rupanya, kecurigaan mereka pada Pak Lurah selama ini tidak terbukti. Asromo, sejauh ini, tampaknya bukan dalang di balik pembokongan Si Mbah. Lalu siapa?

”Baiklah, Pak Lurah,” Candi bicara, ”Kami hargai keterbukaan Pak Lurah. Kami kepalang basah. Atas ijin Pak Lurah, kami ingin bantu mengusut sampai tuntas masalah desa ini. Kami tak punya tujuan buruk. Kami hanya ingin membantu agar uang hibah itu sampai ke tangan yang berhak menerimanya”.

Pak Lurah mengangguk-anggukkan kepala, bahkan sebelum Candi tuntas bicara.

”Baiklah, adik-adik,” kata Asromo perlahan, ”Sebetulnya sejak awal saya senang kalian berada di desa ini. Saya merasa mendapat dukungan. Sejak peristiwa penganiayaan Si Mbah, saya kehilangan kepercayaan pada staf saya. Saya curiga salah satu di antara mereka adalah kaki-tangan kelompok misterius ini,” mata Asromo menarawang jauh.

”Saya berharap persoalan tuntas sebelum utusan yayasan itu datang di Kemiren. Dan saya minta bantuan serta dukungan kalian”

Candi dan Rio mengangguk. Mereka bisa dengan mudah membaca ketulusan Asromo lewat matanya. Kini, untuk sementara Asromo lebih tampak sebagai lelaki tua yang bijaksana, pengertian dan perlu bantuan. Rio dan Candi berharap agar ini bukan merupakan taktik lain Pak Lurah untuk menyingkirkan mereke. Mudah-mudahan Asromo tidak berubah lagi.

Melenggang dari kantor desa, Rio menyikut Candi. ”Kau tadi bilang siap membantu Pak Lurah mengusut sampai tuntas misteri ini. Memang kita bisa?” tanya Rio.

Candi menyeka hidung. ”Memang kita bisa?” ulang Candi. ”Entah ya! Kayaknya sih nggak bakal gampang. Kita pikir nantilah!” katanya.

***

Rio dan Candi berjalan balik ke rumah Si Mbah. Di sepanjang jalan, kedua anak muda ini menjadi sumber tatapan yang tiada habisnya. Entah apa yang diperbincangkan orang-orang itu. Mereka sempat memesan tiga bungkus nasi pecel pada seorang perempuan penjual pecel keliling, lengkap dengan rempeyek kacang.

Ketika sampai di rumah Si Mbah, beberapa orang Hansip masih berjaga, dan beberapa orang lain yang tanya ini-itu ingin tahu kejadian dini hari tadi. Rio tak menemukan Wolfgang di kamarnya. Ia mendapati secarik kertas pesan dari Wolfgang di atas meja. Wolfgang ternyata harus ke kota kabupaten untuk membeli slide-film dan menukar uang. Dia bilang di pesannya dia akan balik sore nanti.

Sebungkus nasi pecel yang tadinya disediakan buat Wolfgang langsung disantap sendiri oleh Rio. Rempeyeknya dikunyah Candi.

Candi kemudian balik ke rumah Bu Parmi untuk membersihkan diri. Pak Mantri baru saja pulang dari rumah Si Mbah. Ia bilang Si Mbah baik-baik saja. Istri Sujarno masih menjagai Si Mbah. Kata istri Sujarno, Sujarno sendiri pagi tadi sudah berangkat ke kota kecamatan. Pada hari Senin dan Rabu, Sujarno mengajar pelajaran Bahasa Inggris dan ketrampilan di satu SMP swasta di kota kecamatan.

Rio menebar pandangan ke seantero ruang museum Si Mbah yang berukuran 7 x 8 meter itu. Foto Si Mbah semasa muda bersama von Weissernborn yang dipajang di atas pintu ruang tengah nyaris tak dapat dilihat dengan jelas; kekuning-kuningan dan kertasnya rontok. Kayu pinggiran pigoranya pun merapuh.

Pandangan Rio kini menebar ke arah benda-benda koleksi purbakala Si Mbah. Adakah barang-barang ini yang bisa disebut sebagai bukti itu? Apakah bukti itu satu dari onggokan barang-barang ini? Apa wujud bukti itu? Bongkahan batu? Sehelai foto? Poster-poster tua kusam yang bergelantungan dengan pigora seadanya? Di manakah bukti itu disimpan Si Mbah? Apakah disimpan di rumah ini? Atau sudah diamankan oleh Sujarno barangkali?

Rio kemudian melangkah ke bale-bale bambu di depan rumah dan merebahkan diri dan terpejam sesaat.

***

Candi mengamati Bu Parmi yang sibuk membersihkan kamar Candi dan membuang jauh-jauh bantal dan guling yang sudah tercabik-cabik. Bu Parmi memerciki seluruh ruangan dengan air kembang dan berkomat-kamit dengan suara yang sama sekali tak difahami oleh Candi. Kata Bu Parmi, ini adalah cara menghindarkan diri dari mara bahya.

”Jeng Candi sudah terhindar dari malapetaka. Doa dan percikan bunga ini akan menghindarkan jeng candi dari dari malapetaka lain,” ujar Bu Parmi ketika ia bertanya kenapa Bu Parmi melakukan ritual itu.

Candi tersenyum, ”dengan doa Bu Parmi, saya akan selalu terhindar dari mara bahaya”

”Ya, tapi jeng Candi harus tetap waspada. Bahaya itu ada terus kalau orang tidak waspada,” ujar Bu Parmi.

”Terimakasih, Bu. Saya akan ingat itu terus,” kata Candi, meraih handuk dan pergi ke kamar mandi.

Ketika ia selesai berpakaian, Rio sudah berada di pintu belakang Bu Parmi. Sudah pula bersih dan segar.

”Banyak orang di sekitar sini. Aku bosan ditanya-tanya soal kejadian dini hari tadi. Kita perlu menjauh beberapa saat dari rumah Si Mbah pagi ini. Enaknya kemana?” tanya Rio.

”Aku mau kembali ke rencanaku yang belum tuntas : jalan-jalan, memotret, dan menyelidik,” kata Candi.

”Tidak takut akan adanya serangan kedua?” tanya Rio.

”Aku tidak takut, mau serangan kedua, ketiga, keempat. Kita waspada saja, demikian pesan Bu Parmi,” tutur Candi.

”Siplah. Aku juga pingin jalan. Mau jalan ke mana?” kata Rio.

”Selagi masih bisa, aku mau tengok bekas lokasi penggalian. Letaknya di pinggiran Kali Randu,” Candi mengencangkan tali sepatu.

”Dadamu baik-baik saja?” tanya Rio.

”Nggak ada masalah. Obat si rambut jagung itu cespleng,” kata Candi. Ringan ia melangkah mendahului Rio. Makin kagum Rio pada gadis muda enerjik dan tak kenal takut ini.

Tapi benarkah mereka tak perlu takut? Sepertinya tidak seluruhnya benar. Mereka sebenarnya harus lebih dari sekadar waspada, setidaknya memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan aksi lanjutan kelompok penjahat itu.

Gerakan orang-orang jahat itu pasti tak akan lama lagi terulang.

(bersambung)

catatan :

pinarak = bahasa Jawa untuk ’silakan masuk, silakan duduk’

Saat ini mata uang gulden Belanda sudah tidak ada lagi karena Belanda kini menggunakan mata uang Euro. Nilai 1 Euro saat ini adalah Rp 12.000-an.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun