Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kaliandra (Novel Seru). Episode 12

18 Mei 2011   00:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:31 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sujarno lenyap. Si rambut jagung hanya ditemukan paspornya di tempat sepi.Apa pula ini?

EPISODE 12

UJUNG TANDUK

Rio menyeka rambut yang awut-awutan dan jidat yang berkeringat. Sama sekali ia tak mengerti setan apa yang merasuki raga Bu Lurah, sehingga wanita cantik istri Asromo itu jadi l tak terkendali.

Membasuh muka di sumur, Rio mencoba menghilangkan sisa-sisa luapan kehangatan wanita itu di sekujur bibir, leher dan wajahnya. Sebentar kemudian ia menatap halaman belakang rumah Bu Parmi. Masih hening. Ia baru tahu lelaki yang berdiri di luar rumah yang nyaris ditubruknya tadi adalah Harjo.

Sekilas Rio melihat bagaimana Bu Lurah mengundang Harjo masuk rumah dan tak keluar lagi lama sekali. Rio tak habis pikir bagaimana wanita yang seelok kembang itu tiba-tiba menjadi liar dan gagal menguasai diri. Rio memang suka menikmati tatapan syahdu Bu Lurah yang menyejukkan hati, dan menatap keindahan total wanita yang secerah bunga-bunga itu. Tapi betul-betul tak pernah berpikir wanita itu memendam hasrat yang dahsyat. Apa yang terjadi padanya?

Rio masuk rumah Si Mbah lewat pintu belakang, dan langsung menuju kamar si mbah yang tampak sepi. Istri Sujarno ternyata masih setia menunggui Si Mbah bersama dengan anak Sujarno yang masih belum bersekolah. Istri Sujarno tampak letih dan bosan. Itu terlihat dari wajahnya yang demikian kuyu dan tak bercahaya. Ketika Rio datang, ia menatapnya sekilas dan berucap sedih.

”Suami saya belum pulang sejak sore kemarin,” loyo sekali wajah istri Sujarno, ”Tak biasanya ia begitu,”

Rio menyeret kursi berhati-hati dan duduk tak jauh dari perempuan lugu itu, ”Barangkali pergi sambang ke rumah sanak saudara di kota,” Rio berusaha menenteramkan hati istri Sujarno.

”Tapi ia selalu pamit kalau hendak pergi lebih dari satu hari. Lagipula, ini bukan saat yang tepat untuk sambang sanak saudara. Sekolah tidak libur,” istri Sujarno tertunduk, ”Perasaan saya tidak enak, Dik!”

Rio menarik nafas, dan menatap onggokan tubuh Si Mbah yang pulas. Dalam hati Rio mengakui persoalan Kemiren tak segampang yang diduga. Peristiwa demi peristiwa datang bertubi-tubi. Misteri dan teka-teki menyergap mendadak. Apa yang selama ini ia lakukan bersama Candi? Nyaris tak ada yang berarti, kecuali menambah panjang daftar teka-teki yang melanda Kemiren. Dan, benarkah tubuh tua yang tergolek menderita ini sebenarnya menyimpan sejarah palsu? Benarkah ia Probosangkoro dan bukannya Parto Sumartono? Diakah yang memegang rahasia ’bukti’ itu. Apa sebenarnya kunci jawaban misteri itu?

Si Mbah terbatuk kecil. Bersamaan Rio dan istri Sujarno menatap sosok tua yang tergolek tak berdaya itu. Pemuda itu kemudian berdiri, dan mengusap kepala bocah yang bermanin di dekat kaki ibunya.

”Saya akan coba cari tahu tentang Pak Jarno, Bu,” ucap Rio. Istri Sujarno mengangguk pasrah. Tapi wajahnya menyiratkan ia bersyukur ada orang yang mulai mengulurkan tangan. Perempuan itu kemudian memberi Rio alamat dan nama sekolah tempat Sujarno mengajar di kota kecamatan. Pada istri Sujarno, Rio berjanji akan kembali tak lama lagi.

Dengan motor ojek sewaan Rio melesat ke kota kecamatan. Dari Kemiren, ia harus menempuh 5 kilometer ke jalan raya besar. Dari pertigaan jalan, ia perlu tancap 11 kilometer lagi ke SMP tempat Sujarno mengajar.

Rio tak tahu apa yang harus dikatakan pada istri Sujarno. Di SMP itu Rio mendapat penjelasan bahwa Sujarno tidak masuk mengajar sejak kemarin. Rekan guru di sekolah itu malah ingin mendapat kabar kemana Sujarno pergi.

Kemana Sujarno?

Kecurigaan mulai menggerayangi darah Rio. Sebetulnya hati kecil Rio tak menaruh curiga pada anak semata wayang Si Mbah Parto Sumartono itu. Tapi kemana Sujarno pergi saat keruwetan desa makin menjadi-jadi, saat semakin mudah orang mencari kambing hitam untuk melabuhkan rasa curiga?

Hampir tiga jam kemudian Rio sampai di desa Kemiren kembali. Manakala ia baru saja membayar ongkos sewa ojek dan menyerahkan kembali motor pada pemilik, seperti tersambar petir ia mendengar penjelasan tukang ojek di pangkalan ojek.

”Mas, cepat kembali ke rumah Si Mbah! Ada yang gawat!” tutur tukang ojek itu. Rio diantar tukang ojek ke rumah Si Mbah. Sejumlah orang, termasuk beberapa staf desa bergerumbul di rumah Si Mbah.

”Ada apa?” Rio menyeruak di antara kerumunan. Di sekeliling, rumah Si Mbah terlihat sangat berantakan. Koleksi fosil dan temuan Si Mbah berhamburan ke sana kemari. Sekat-sekat kaca sebagian pecah dan porak-poranda. Gambar-gambar di dinding tak ada lagi. Dan semua benda yang mudah teguling, berserak hampir di segala penjuru.

”Ada apa ini?” Rio jengkel tak segera mendapat jawaban. Orang-orang hanya menatap dengan mata kosong dan bahu yang terangkat. Nyaris tak ada seorangpun yang mampu bicara.

Rio mencari-cari. Istri Sujarno sedang dikerumuni beberapa wanita desa. Ia tergeletak dan matanya berurai air mata. Ketika ia hendak menerobos kerumunan yang melingkung Si Mbah, Asromo keluar dari kerumunan dan mengisyaratkan agar Rio mengikuti Asromo untuk bicara di tempat yang lebih hening.

Tampaknya, daftar teka-teki segera bertambah panjang. Kegawatan akan mendapat tempat lebih luas, dan kunci rahasia makin sulit dicari.

***

Asromo jengkel luar biasa. Paling tidak itu bisa terlihat dari mata meradang dan kata-kata yang bergelegak. Ia mencoba melampiaskan dengan menghisap asap rokok dan menghempaskannya kuat-kuat. Tapi itupun agaknya tak mampu membantu Pak Lurah menghapus rentetan peristiwa di desa yang makin menggetirkan posisinya sebagai pemimpin desa. Pasti Asromo khawatir, kalau itu dibiarkan, kepercayaan orang pada wibawanya bisa meruncing, dan mungkin bergulir ke ujung tanduk. Apa kata Pak Camat kalau terbukti Asromo tak mampu mengatasi masalah di desa?

Dengan langkah kurang bersemangat, Asromo memimpin Rio mencari tempat yang aman untuk bicara berdua saja. Rio menunjukkan semak-semak berpayung Kaliandra; tempat yang pernah dianggap paling aman ketika Candi menunjukkan surat ancaman untuk pertama kalinya.

Masih dengan mata nyalang, Asromo duduk di bangku kayu, dalam rengkuhan teduh Kaliandra. Ketika Asromo mulai menatap Rio untuk berbagi kejengkelan, baru disadari Rio tak berani menatap terus-terusan wajah Asromo. Entah kenapa, sejak insiden dengan Bu Lurah tadi pagi di rumah Bu Parmi, Rio sedikit jengah menatap mata Asromo. Ada semacam perasaan bersalah menyudut Rio, yang bersumber dari kelengahannya memberi jalan bagi hasrat membara istri Asromo yang tidak pada tempatnya itu. Rio benci pada dirinya sendiri, yang dengan mudah terkipasi oleh pesona wanita cantik yang tampaknya punya masalah itu. Rasa jengah, bercampur juga dengan perasaan iba atas beban sosial yang bergayut di pundak pemimpin desa ini. Mudah-mudahan seluruh kejadian di rumah Bu Parmi tadi pagi cuma beredar sebagai rahasia di tengah pelaku-pelakunya; Rio, Bu Lurah dan Harjo.

”Pak Lurah hendak membicarakan sesuatu?” Rio membantu mengawali percakapan, lantaran terlalu lama menunggu Asromo yang mendadak kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. Asromo mengangguk, sembari meremas-remas filter rokok.

”Desa ini makin genting,” Asromo mulai membeber ilustrasi. ”Ketika kau pergi, ada orang yang datang ke rumah Si Mbah dan melakukan kegiatan biadab itu,” suara Asromo tertahan gelegak nafasnya. ”Semua sudut rumah diacak-acak. Lemari dicongkel dan isinya dibongkar. Hampir tak ada barang yang utuh,” Asromo menahan geram. Rio yang sudah menduga sejak tadi, cuma mengangguk-angguk. Tapi tak urung, panas juga hati mudanya mendengar penjelasan itu.

”Si Mbah sendiri bagaimana?” desak Rio.

”Untung ia tak dijamah. Tapi istri Sujarno cedera. Ia dihantam tangan di bagian tengkuk. Tadi semaput. Sekarang ia sudah siuman. Kata istri Sujarno, ada dua orang tak dikenal, tanpa bicara sepatah katapun, mengobrak-abrik ruangan. Aku yakin mereka kelompok bajingan yang sedang memburu bukti itu,” desis Asromo, menyalakan rokok, menyambung puntung yang baru saja dilontarkan entah kemana.

”Ada barang yang hilang?” selidik Rio.

”Belum tahu. Masih diperiksa,” Asromo menatap pasrah, ”Tapi apa kita tahu kalau ada barang yang hilang? Hanya Si Mbah yang tahu persis ragam koleksi di rumahnya”

Rio terdiam sesaat, tapi kemudian berusaha mengimbangi kegusaran Asromo.

”Bajingan-bajingan itu lihai sekali, dan pandai membaca situasi. Mereka tahu pada siang hari penjagaan sangat longgar di rumah ini,” kata Rio, ”Saya menyesal pergi ke kota kecamatan meninggalkan istri Sujarno bersama anaknya,” Rio tertunduk.

”Tak apa. Kata istri Sujarno, kau memang berniat membantu mencari suaminya, yang sudah dua hari tak pulang,” ujar Asromo, ”Bagaimana hasil pencarianmu?”

”Nihil. Sujarno tak masuk mengajar sejak kemarin,” jawab Rio. ”Bocah kecil anak Sujarno tak apa-apa?”

”Beruntung ia sedang berada di belakang rumah ketika dua orang itu menyerbu masuk. Ia lolos dari bencana,” ucap Asromo, lalu terdiam.

”Pak Lurah,” Rio kemudian memecah sunyi, ”Saya terpaksa menceritakan satu hal lagi. Pak Lurah bersedia mendengar? Ini penting,” tanya Rio, takut kalau informasinya malah membuat kepala Asromo makin berdenyut-denyut.

”Katakan”

”Kemarin sore, sewaktu saya dan Candi berjalan di sekitar Kali Randu, kami sempat dihadang dua orang. Satu orang kemudian mengejar saya, dan seorang mengejar Candi”

Asromo melotot, ”Kenapa kau tak cerita lebih awal?” protes kepala desa itu.

”Saya khawatir beban pikiran Pak Lurah makin berat,” Rio memungut selembar daun kering di tanah dan memulir-mulir dengan tangannya. ”Saya berhasil lolos, atas bantuan Pak Kuntoro, orangtua baik hati yang tinggal di seberang rumah itu”

”Kuntoro?” Pak Lurah sedikit gusar, ”Lalu, Candi?”

”Candi diuber orang, yang malam sebelumnya mencoba membunuhnya. Tampaknya, sarang mereka di daerah itu”

”Bagaimana ia bisa lolos?” tanya Asromo, bersemangat.

”Ia terperosok ke dalam sebuah lembah kecil. Bajingan itu tidak mengejarnya lagi. Dikira Candi tewas di situ”

”Kurang ajar!” gemeretak gigi Asromo. ”Benar-benar kacau desa ini,” matanya kembali menyorotkan merah darah. Dengan nafas naik turun, Asromo menebar mata berkeliling, berusaha mencari jawab pada dedaunan rimbun dan bercak-bercak sinar matahari di tanah yang tersaring dedaunan.

”Pak Lurah tidak mencoba menghubungi pihak berwajib, dan mengakhiri ketertutupan desa ini?” tanya Rio tiba-tiba. Ia tak perduli lagi kata-katanya ini akan menyudutkan Asromo. Tapi memberi jalan yang terbaik toh bukan merupakan saran buruk. Dan rasa-rasanya, kepala desa ini memang sedang butuh banyak saran; baik saran yang gampang ditempuh, atau saran yang memahitkan perasaan dan bertentangan dengan kepentingan.

Tak lekas Asromo memberi jawaban. Wajahnya mengusut, kerut-kerut di lehernya dan otot menonjol seolah berlomba menghiasi permukaan kulit. Memang sulit bagi pejabat desa seperti Asromo untuk menutup-nutupi kejadian penting di desa yang mudah diendus orang luar. Tapi keresahan dan kegusarannya sudah menunjukkan orang ini berusaha mengatasi permasalahan. Mudah-mudahan Asromo kali ini tak bersikukuh menolak ide Rio.

”Pada akhirnya,” desah Asromo setelah beberapa saat memilih diam, ”Itu memang harus. Saya tak mampu lagi mengatasi teka-teki ini tanpa gagal menyembunyikan permasalahan-permasalahan citra desa yang mulai diminati wisatawan ini,” ujar Asromo, mulai menyingkap hal-hal tersembunyi dalam benaknya, dengan kalimat yang sedikit ruwet, yang boleh jadi sekusut pikirannya.

”Tadinya saya khawatir sekali pihak luar akan menilai desa ini tak aman untuk dikunjungi. Tapi lalu saya berpikir, ketenangan desa jauh lebih penting daripada niat-niat menjunjung perekonomian desa itu sendiri,” kata-kata Asromo berubah arif, meski wajah yang sarat beban belum menunjukkan tanda-tanda cerah.

”Saya akan bikin laporan sejujurnya besok pada Pak Camat, dan meminta petunjuk,” kata Asromo, sedikit lega. Seolah untuk sementara, dengan persediaan ’petunjuk’ dari pejabat di atas-nya, hati kepala desa ini sedikit teduh.

”Besok, Pak Lurah?”

”Ya, besok,” desis Asromo, ”Bantulah saya mengumpulkan bahan”

Rio mengangguk, ”Akan saya bantu”

Pak Lurah berdiri. Keputusan Pak Lurah rupanya sudah final. ”Tolong periksa barang-barang di rumah Si Mbah. Siapa tahu ada barang yang menurutmu sudah raib dari tempatnya.”

Rio menyanggupi, dan membuntuti Pak Lurah melangkah kembali ke rumah Si Mbah. Bersama beberapa staf desa, ia sibuk mencatat barang yang rusak, mendata fosil yang retak dan mencoba menebak barang apa yang lenyap dari meja pamer. Tapi, ternyata agak sulit mencari tahu adanya barang yang tercuri. Satu-satunya hal yang gampang dilakukan, adalah menghitung jumlah poster-poster lama yang digantung di dinding. Menurut perhitungan Rio, ada tiga gambar kuno yang lenyap. Barang-barang inilah yang sudah pasti dijarah para pencoleng siang bolong itu.

Sampai sore Rio menyusun laporan yang dipesan Pak Lurah. Ia mencoba mengurai selengkapnya, mulai penganiayaan Si Mbah di malam pertama sampai pada insiden pengejaran di tepian Kali Randu. Sayang sekali ia masih harus menyembunyikan satu hal; kisah pertemuan Candi dengan orangtua misterius di tebing rahasia Kali Randu. Kalaupun nanti itu harus dikisahkan, Candilah yang akan ia minta membuat laporannya. Rio menduga, ada maksud-maksud tertentu kenapa Candi merahasiakan pertemuan dengan orangtua itu. Boleh jadi, gadis itu punya rencana khusus merekayasa rahasia itu. Siapa tahu?

***

Matahari menjelang rebah di barat saat Candi meloncat turun dari ojek tepat di depan pelataran rumah Si Mbah. Begitu menjejak tanah, langsung Candi berlari kecil ke rumah Si Mbah untuk mendapatkan Rio. Lega Rio melihat Candi datang.

”Sudah ada berita tentang Wolfgang?” tanya Candi, mengejutkan.

”Ia belum datang, kenapa?” sambut Rio.

”Ini aneh,” Candi meletakkan tas di meja, ”Salah satu tukang ojek mengatakan, ia ditumpangi seorang bule, yang ciri-cirinya persis sama seperti Wolfgang,”

”Ditumpangi kemana? Kapan?” tanya Rio.

”Ya ke sini, dari pertigaan jalan raya, kemarin sore,”

”Tapi ia belum sampai,” Rio mulai gusar.

”Itulah yang kubilang aneh. Kemana perginya Wolfgang?” Candi duduk di lantai, menghadap meja, dan menangkap atmosfir lain di ruangan itu. Ia baru sadar situasi di sekitarnya agak beda dari biasanya. Barang-barang semburat, dan teracak-acak.

”Katakan, ada apa ini?” Candi menyapu pandangan berkeliling.

”Jangan kaget, ruang ini diacak-acak orang tadi siang,”

”Astaga!” Candi melongo.

”Sudah kubilang jangan kaget!”

”Diacak-acak? Kau sendiri kemana? Apa tak ada orang di rumah ini?”

Rio kemudian membeber peristiwa siang itu, tak lupa mengurai rencana-rencana Pak Lurah. Candi cuma mampu terbengong-bengong. Tetap masih sulit menerima bagaimana kejutan demi kejutan susul menyusul.

”Jadi Sujarno pun lenyap?” tanya Candi.

”Begitulah, ia tak berada di Kemiren sejak kemarin,” tukas Rio, ”Terus terang aku mulai khawatir; curiga, tepatnya. Dan terlebih-lebih, aku merisaukan Wolfgang,”

”Ya, masih kata tukang ojek itu, Wolfgang memang minta diturunkan satu kilometer sebelum sampai rumah ini. Kemana dia pergi?”

Tercenung Rio dengan informasi bertubi-tubi, yang semuanya tak mengenakkan hati itu. Kalau ia menuliskan informasi tambahan ini dalam laporan, sudah pasti pecah kepala Asromo.

Candi menggigit ujung pena dan matanya menerawang matahari yang kian redup, yang membuat papan nama bertuliskan kebesaran Si Mbah di sana terliha remang.

Dingin mulai merobek tulang. Satu persatu staf desa uang sedari tadi sibuk merapikan koleksi Si Mbah, meninggalkan rumah. Seperti bersamaan, Rio dan Candi merasakan sepi luar biasa. Dan malam makin terlihat kelam. Memang ada sejumlah wanita dan laki-laki tua yang bergantian menjenguk dan menjaga simbah, dan Pak Mantri, tapi kemudian mereka juga beranjak begitu malam turun.

Orang terakhir yang menjenguk Si Mbah malam itu adalah Kuntoro. Ia datang khusus untuk menyarankan agar Si Mbah ditangani dokter yang dari kota kabupaten. ”Besok saya akan desak Asromo untuk mengirimkan Si Mbah ke rumah sakit di kota kabupaten,” demikian Kuntoro berbisik di telinga Rio sebelum orangtua itu meninggalkan rumah Si Mbah. Sepeninggal Kuntoro, hanya ada wanita tua dan istri Sujarno yang sudah mendingan yang menjaga Si Mbah.

Candi dan Rio melihat Karman, staf desa, muncul dari gelap malam.

”Mbak Candi, Mas Rio. Ada orang menemukan ini.” Karman menyerahkan sebuah buku kecil. Candi menerimanya.

”Paspor Wolfgang!” ujar Candi.

”Di mana ini ditemukan. Si Rambut jagung di mana?” tanya Rio.

”Saya ndak tahu di mana si rambut jagung. Buku ini ditemukan oleh warga desa di semak-semak sekitar satu kilometer dari sini. Pak Lurah minta ini ditunjukkan pada Mas Rio dan Mbak Candi,” tutur Karman.

Rio menatap paspor itu. ”Kenapa barang sepenting ini bisa tercecer? Apa yang terjadi pada Wolfgang?”

”Apa kata Pak Lurah?” tanya Candi kepada Karman.

”Saya cuma disuruh berikan ini pada Mas dan Mbak. Saya permisi dulu, masih ada kerjaan lembur di kantor desa,” kata Karman.

Candi dan Rio tak tenang sepeninggal Karman.

”Kita harus melakukan sesuatu, malam ini juga, tak perlu tunggu besok,” kata Candi.

”Kau punya rencana?” tanya Rio.

”Ya!”

”Sebutkan!”

”Kita harus kembali ke persembunyian Probosangkoro di lembah itu. Aku yakin ada banyak misteri yang kita bisa pecahkan dari situ,” kata Candi.

”Malam-malam begini, ke lembah liar dan menakutkan itu?” tanya Rio.

”Ya. Bakal terlambat kalau menunggu besok!” otot Candi.

Rio tak segera menimpali Candi. Ia bisa bayangkan, pada siang hari saja medan di lembah itu sulit ditempuh dan terbentang luas berbagai kemungkinan kejahatan. Bagaimana Candi ingin kembali ke tempat itu malam-malam begini? Apakah ada yang tak beres pada gadis ini, pikir Rio.

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun