Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kaliandra (Novel Seru). Episode 3

9 Mei 2011   03:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:55 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana desa Kemiren makin membara saja. Kehadiran mahasiswa dan wartawati di desa itu

jelas sangat tidak diinginkan.

EPISODE 3

SENYUM DALAM SEMERBAK BUNGA

Sehabis mengobrol sebentar dengan beberapa orang di pendopo, Rio melangkah menuju rumah Pak Lurah. Bu Lurah pasti tahu informasi rumah yang bisa ditinggali Candi barang 3 atau 4 hari.

Rio menangkap kesan taman sari dari sekeliling rumah Pak Lurah. Bunga-bunga tumbuh segar; gerbera, keladi, kastuba, draecena dan segala macam bunga-bunga berwarna indah, yang semuanya menyejukkan mata. Sebagian bunga menebarkan aroma segar. Pandangan Rio terdampar pada sosok Bu Lurah yang sedang sibuk dengan gunting di tangan di antara rerimbunan tanaman hias itu.

“Selamat siang, Bu Lurah,” sapa Rio. Bu Lurah menoleh.

“Eh, dik Rio. Saya kira siapa!” Bu Lurah melempar senyum. Bibirnya yang berpoles lipstik tipis merekah.

“Bunganya bagus-bagus, Bu. Telaten betul merawatnya,” puji Rio, mencium salah satu bunga.

“Daripada menganggur, Dik,” Bu Lurah melirik, “Dik Rio suka bunga to?”

“Suka sekali. Sedari tadi saya tidak habis-habisnya mengagumi warna-warni bunga ibu. Jenis bunga dan pengaturannya, sangat serasi, Bu,” Rio tersenyum.

Bu Lurah tersipu. Salah tingkah ia membetulkan letak blusnya, yang tiba-tiba kelihatan kurang beres. Tapi seperti sengaja pula ia membiarkan lereng lereng dadanya terlihat jelas, di atas kain melintang bagian atas dada yang memangterlampau rendah.

“Orang-orang desa di pasar seharian bicara tentang Dik Rio,” Bu Lurah menggenggam gunting bunga dengan kedua tangannya. Menancap matanya di mata Rio.

“Kenapa, Bu?” tanya Rio tak mengerti.

“Mereka bilang, Dik Rio berani menghadapi para pengeroyok Si Mbah Parto,” mata Bu Lurah berbinar, seolah dia sendirilah yang sedang menyatakan kekaguman.

“Ah, Ibu bisa saja. Saya malah lari memanggil orang kampung, bukan menghadapinya,” kilah Rio.

“Tapi Dik Rio berjasa, lo. Kalau ndak ada Dik Rio, bagaimana nasib Si Mbah. Pasti prothol tulangnya dihajar bajingan-bajingan itu,”

Rio cuma tersenyum. “Saya hampir lupa,” kata Rio, “Saya ingin menanyakan adakah keluarga yang bisa menampung seorang teman wartawati barang 3 atau 4 hari di desa ini? Tak enak kalau dia harus tinggal bersama saya di rumah Si Mbah,”

“Oh, wartawati dari Jakarta itu?” tanya Bu Lurah.

“Benar, Bu!”

Bu Lurah tampak berpikir sejenak. Mimik berpikirnya menarik juga. Ia menggerak-gerakkan bibir sedemikian rupa, kadang menggigit bibir atas, kadang memainkan bibir bawah. Energinya kelihatan lebih tersedot untuk menggerakkan bibir daripada berpikir beneran.

“Di rumah Bu Parmi saja,” kata Bu Lurah beberapa detik kemudian. “Bu Parmi tinggal sendiri di rumah, cuma ditemani seorang cucu masih kecil”

“Rumah Bu Parmi? Di mana itu?” tanya Rio.

“Beda lima rumah dari rumah Mbah Parto. Tanyakan pada para tetangga di sekitar rumah Si Mbah. Mereka pasti tahu,” ucap Bu Lurah, tak lepas matanya menatap Rio. Tatkala angin berhembus sedikit dari arah belakang, tercium harum segar beraroma herbal dari tubuh Bu Lurah.

“Baiklah, Bu Lurah. Nanti akan saya antar Candi ke rumah Bu Parmi. Soal uang sewa nanti biar dibicarakan Candi sendiri dengan Bu Parmi,” kata Rio.

“Saya kira tak perlu bayar. Orang desa akan dengan senang hati menerima tumpangan menginap, asal orang baik-baik,” ujar Bu Lurah tersenyum, kata-katanya meluncur lembut dari bibir wanita yang kelihatan matang itu.

“Oh, begitu,” Rio berusaha mengalihkan pandang dari mimik Bu Lurah yang sejuk, “Permisi, Bu. Terimakasih,” Rio minta diri.

Bu Lurah berdiri mematung menatap Rio beberapa saat. Tahulah Rio, istri Pak Lurah ini memiliki sepasang bulu mata lentik yang sedap dipandang. Warna kulitnya, terlalu bersih untuk ukuran orang desa.

Pareng, Bu!” sekali lagi Rio berpamitan.

Monggo… monggo, Dik!”

Rio membalikkan badan, meninggalkan Bu Lurah yang masih berdiri mematung.

“Dik Rio,” panggil Bu Lurah tak terlalu keras.

“Ya?”

“Antar wartawati itu ke Bu Parmi saja. Nanti saya akan beritahu Bu Parmi,” masih terpancang mata Bu Lurah ke sosok Rio dengan senyum teramat manis. Pemuda itu mengangguk. Heran juga dia, mengapa Bu Lurah mesti mengulang kalimat yang sudah jelas.

Rio kembali berjalan ke pendopodesa. Beberapa orang masih bergerumbul di balai desa. Rio dikejutkan oleh Harjo yang tiba-tiba saja muncul dari samping.

“Mas Rio,” sapa Harjo menepuk pundaknya.

“Astaga! Mas Harjo. Kaget saya,” Rio memegang dada.

“Begini,” ujar Harjo menatap mata Rio dengan senyum dibuat-buat, “Pak Lurah berpesan, tak usah cerita banyak soal peristiwa di rumah Si Mbah tadi malam, terutama pada wartawati itu”

Rio memperhatikan sejenak wajah Harjo, yang berambut kelimis dengan kumis tipis itu. Untuk ukuran desa, Harjo termasuk pemuda ganteng dan menarik.

“Pak Lurah berpesan begitu?” ulang Rio.

“Ya. Dik Rio harus mematuhinya. Jangan tidak. Dik Rio harus bisa memberi keuntungan timbal balik pada desa. Dik Rio melakukan penelitian di sini, sebaliknya desa meminta bantuan dik Rio turut menjaga ketenteraman desa,” ujar Harjo. Gaya bicara Harjo, seperti tidak mengulang ucapan Pak Lurah, melainkan seperti dia sendiri yang sedang menasehati pemuda itu.

Rio manggut-manggut. Perlahan Harjo meninggalkannya. Ada sesuatu yang tiba-tiba sulit dimengerti. Tapi agaknya tak perlu ia terlalu dirumitkan pesan-pesan itu. Rio langsung menghampiri Candi yang baru saja keluar dari ruang kepala desa. Candi mengalungkan kamera di leher.

”Kau masih di sini, bukannya pulang dan tidur?” tanya Candi.

”Aku baru saja mendapatkan tempat menginap buat kamu,” kata Rio.

”Oh ya, di mana?”

”Rumah Bu Parmi, dekat rumah Mbah Parto. Ayo kuantar ke sana”

”Wah, baik sekali kamu,” ujar Candi.

”Kalau memuji terus, batal kuantar kau,” seloroh Rio. Candi tertawa.

”Lama betul kau di kantor Pak Lurah?” tanya Rio.

”Ya, aku mau cerita ke kamu. Pak Lurah memberiku seribu satu macam wejangan, tentang misi pembangunan desa, tentang keamanan dan ketertiban, dan banyak lagi, yang intinya adalah memaksa aku untuk tidak coba-coba menulis tentang pengeroyokan Si Mbah”

”Kesan apa yang kau tangkap dari semua itu?” tanya Rio.

Candi menatap lurus ke depan. ”Seperti dugaanmu, ada yang tak beres di desa ini. Ada selubung yang harus disingkap”

”Aku juga berpikir begitu. Penganiayaan terhadap Si Mbah bukan sekadar peristiwa kriminal biasa. Si Mbak luka berat, kepala bagian belakang bocor terantuk pinggiran ranjang. Dadanya memar dan bibirnya luka. Si Mbah juga kena hantaman linggis. Entah apa yang dicari bajingan-bajingan itu. Mereka ngotot minta bukti dari Si Mbah,” ujar Rio.

”Bukti?” tanya Candi.

”Ya, itu kata yang dipakai para bajingan itu: bukti!”

”Berarti penganiayaan itu memang direncanakan, dan setidaknya ada hubungan antara Si Mbah, pengeroyok dan Pak Lurah,” kata Candi

”Pak Lurah?” sela Rio.

”Ya, kalau tidak, kenapa Pak Lurah gencar sekali menutup-nutupi peristiwa itu dari masyarakat luas? Itulah sebabnya pula kenapa Si Mbah tidak dikirim ke rumah sakit di kota kabupaten. Pak Lurah bilang pengeroyokan itu hanyalah upaya perampokan, perampok yang tak berhasil membawa lari barang berharga karena keburu ketahuan masyarakat berkat teriakanmu,” tutur Candi.

”Pak Lurah bilang begitu?”

”Ya, cukup jelas, kan,” Candi berjongkok, membetulkan tali sepatu yang lepas.

”Boleh jadi begitu. Pak Lurah melarang aku cerita banyak soal kejadian semalam kepada kamu. Soal bukti yang kuomongkan itu merupakan bagian yang seharusnya tak aku ceritakan pada kamu,” kata Rio.

Candi berhenti melangkah dan memandang Rio, seolah baru menemukan bahan pembicaraan yang menarik.

”Apa acaramu hari ini?” tanya Rio.

”Jalan-jalan keliling desa, melihat-lihat,” timpal Candi.

”Oke kutemani kau sampai kantukku maksimal. Kita bisa diskusi soal ini sambil jalan. Jangan lupa alihkan pembicaraan kalau kebetulan ketemu orang desa,” ujar Rio.

”Sip!” sahut Candi.

Candi dan Rio langsung mengambil jalan memutar dan bersiap mengeksplorasi desa. Matahari makin membara di atas sana. Angin bertiup cuma sedikit. Jalan berdebu memantulkan panas.

Sementara itu, dugaan Rio tentang telinga ada di mana-mana kelihatannya mulai terbukti. Dari tempat tersembunyi, sepasang mata terus menguntit gerakan Candi dan Rioi. Pemilik mata itu mengendap di sela semak-semak dan mengwasi dari jarak yang aman. Tak satupun gerakan Rio dan Candi luput dari sorot matanya, tak ada yang terlewatkan. Bahkan gerakan bibir mahasiswa dan wartawati itu dicermati baik-baik, berusaha membaca apa yang sdang dibicarakan kedua orang muda ini. Pengintai itu kelihatan amat terlatih dengan pekerjaannya.

catatan :

pareng = kata bahasa Jawa, disampaikan untuk berpamitan.

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun