Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Deni (Novel Petualangan Remaja). Episode 18

4 Mei 2011   00:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:06 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

EPISODE 18

GERIMIS DI HUTAN PINUS

Anak-anak berteriak-teriak ngeri saat Pak Mul mengayunkan goloknya menyongsong Jeffry. Saat itu pula Feffry dengan gagah beraninya mengibaskan kayu pentungan mengarah ke golok Pak Mul dengan maksud menghantam golok itu duluan agak tak mengenainya. Tapi agaknya kelebat golok Pak Mul lebih cepat sepersekian detik. Pentungan Jeffry tidak mencapai bilah golok pada bidang yang tepat. Bilah itu meluncur deras ke arah tangan kanan Jeffry yang memegang pentungan. Jeffry berteriak kesakitan. Darah muncrat. Sebuah benda kecil terpelanting dari tangan Jeffry. Benda itu melanting ke atas dan jatuh di wajah Novita lengkap dengan tetesan-tetesan darah segar darah. Itu potongan jari jempol Jeffry!

Novita meraung-raung histeris. Jeffry melolong-lolong kesakitan, tak percaya jempol kanannya telah terlepas dari tangan.

Pak Mul makin kalap. Ia menyerang membabi buta. Paul yakin golok yang menggila ini bakal membabat habis semua anak. Anak-anak gemetaran.

“Hentikan! Mul! Hentikan!” tiba-tiba terdengar suara. Itu suara bos. Pak Mul langsung berhenti. Nafasnya tersengal-sengal menahan geram.

“Kenapa, bos? Anak-anak ini berbahaya. Mereka tahu semua kegiatan kita!” dengus Pak Mul dengan suara berat.

“Pokoknya bawa anak-anak itu keluar dari gua dan bakar tempat ini. Awas, jangan sampai ada anak-anak yang cedera!” suaranya menggelegar. Dada Deni berdebar mendengar suara bos. Sekilas ia kenal betul suara itu. Itu suara lelaki tua yang dikenalnya. Tapi siapa? Pak Burhanuddin, kepala sekolah SLTP Harum Bunga Bangsa? Om Bim? Pak Pardi? Siapa orang di balik suara itu. Deni tahu suara itu tapi ia tak bisa menyebutkan dengan benar.

Orang-orang menggiring anak-anak keluar dari gua lewat pintu yang ada di dalam ruang rahasia itu. Deni melihat bos berjalan menuju pintu keluar. Bos kelihatan panik dan bingung. Anak-anak buah bos termasuk Jack juga kelihatan bingung. Joanne sempat menghampiri Jack dan menudingnya.

An American tourist, huh? You’re a dirty rotten scoundrell.Shame on you!” umpat Joanne. Ia bilang Jack bajingan busuk yang memalukan. Jack diam saja. Ia kemudian tergesa mengikuti bos.

Deni masih tertegun dengan benak penuh tanda tanya ketika Bagus menghampiri Sen Kam yang tergeletak di atas meja besar. Kasihan sekali dia, sehari harus pingsan dua kali. Joanne segera datang ketika Bagus melambaikan tangannya. Sen Kam siuman beberapa saat kemudian. Ia mengurut kepalanya.

“Ayo Rambo, bangun!” ujar Bagus. Sen Kam meringis.

“Rambo gundulmu!” kata Sen Kam.

“Lantas Siapa kamu? Pinokio pesek dari Negeri Kangguru?”

“Sialan! Jangan bercanda. Kepalaku sakit sekali!” seru Sen Kam lirih,

“Tapi namamu Achmadi alias Ming Sen Kam, bukan?” tanya Joanne.

“Apa-apaan sih kalian menggoda aku terus?” semprot Sen Kam sewot. Joanne dan Bagus mengernyitkan dahi. Mereka senang Sen Kam sudah normal kembali. Pasti pukulan orang tadi sempat menggoyang kepala Ming Sen sehingga ia sadar kembali secara tak sengaja.

“Mengapa lamban sekali? Ayo cepat keluarkan anak-anak, dan segera bakar tempat ini. Dan tak seorangpun boleh membawa uang itu!” teriak bos keras dari kejauhan. Nadanya penuh amarah dan seperti kesetanan. Anak buah bos bergegas menyeret anak-anak keluar ruangan lewat pintu itu, anak buah bos tak henti-hentinya mengomel kenapa bos tiba-tiba berubah. Bos dikatakan tak biasanya bersifat seperti itu. Mereka bilang bos seperti kebakaran jenggot, hilang kontrol dan luar biasa panik.

Bos baru saja keluar dari pintu gua dan anak-anakpun sudah sampai di udara bebas ketika terdengar gemuruh tapak kaki sejumlah orang menghadang mulut gua. Jumlah orang-orang yang baru datang itu sekitar 20. Mereka menyorotkan lampu terang yang menyilaukan. Bos terkejut dengan kedatangan tamu tak di undang itu. Ia berlari cepat dan berusaha menghilang di balik rerimbunan. Tapi orang-orang yang baru datang itu tampaknya sigap.

“Berhenti! Berhenti! Semuanya menyerah! Tempat ini sudah dikepung!” teriak seorang yang paling depan. Beberapa anak buah bos yang mengiringi Deni dan teman-temannya menjadi panik. Mereka berlari ke semak-semak, sebagian lagi berlari masuk ke ruang rahasia. Beberapa orang yang mengepung bergerak juga mengejar.

“Jangan bergerak! Kalian sudah dikepung polisi!” teriak orang yang berdiri paling depan. Sepucuk pistol ditodongkan. Deni dan teman-temannya terbelalak, apalagi ketika tiba-tiba anak buah bos secara tak terduga juga mengeluarkan pistol dari balik baju masing-masing.

Joanne merunduk ketakutan ketika peluru pertama dilepaskan anak buah bos. Suaranya bergema. Anak-anak ketakutan setengah mati. Orang-orang yang mengepung yang ternyata polisi itu bergerak juga.

“Hati-hati melepas tembakan. Banyak anak-anak,” teriak seorang polisi. Itu pasti komandan. Mereka menyebar tapi tak segera melepas tembakan. Mereka hanya kelihatan sigap dengan mempersiapkan pistol dan senjata laras panjang. Beberapa anggota polisi kelihatan menerobos masuk ke ruang rahasia. Anak buah bos yang berada di ruang rahasia mencoba menghadang mereka dengan acungan pistol. Deni dan kawan-kawannya panik sekali. Jeffry dengan tangan berlumuran darah berlari mencari perlindungan diikuti Novita, Norma, Rudi dan Paul. Bagus, Deni dan Joanne serta Sen Kam merunduk-runduk di beberapa buah kotak dengan peluh bercucuran. Peluru mulai berdesingan tak jauh dari mereka. Para anggota polisi yang mengetahui gerakan anak-anak segera berusaha melindungi mereka. Deni mengangsurkan saputangan kepada Jeffry.

“Sini aku balut lukamu,” kata Deni. Jeffry masih meringis menahan perih.

“Jangan menembak! Banyak anak-anak!” teriak salah seorang anggota polisi mencoba mengingatkan anak buah bos. Tapi anak buah boss tetap saja menembaki mereka dengan genjar.

“Celaka! Ini orang-orang nekad. Lindungi aku. Aku akan menyelamatkan anak-anak!” kata salah seorang anggota polisi itu. Sesaat kemudian, dengan sigap beberapa anggota polisi mengarahkan moncong senapan laras panjang ke ruang dalam, sementara polisi yang memerintahkan tadi kemudian mengendap-endap menghampiri anak-anak. Itu Pak Pardi.

“Pak Pardi!” pekik Bagus. Anak-anak yang lain terkejut mendengar pekikan Bagus. Pak Pardi yang berpura-pura tuli itu ternyata seorang polisi.

“Ya! Sekarang kalian ikuti petunjuk saya. Merangkaklah ke arah pintu! Dengar aba-aba saya. Pada hitungan ke empat, jalan!” kata Pak Pardi. Anak-anak mengangguk.

“Satu... ...dua... ...tiga... ...jalan!” bisik Pak Pardi.

Anak-anak merangkak dengan takut-takut. Sementara desingan peluru terdengar tak habis-habisnya. Para anggota polisi juga segera memberondongkan peluru ke arah mereka. Terdengar erangan kesakitan dari pihak musuh. Pasti ada yang roboh.

Anak-anak sampai di mulut gua dengan selamat dipandu Pak Pardi. Di luar suasana agak benderang dengan lampu-lampu sorot dan lampu petromaks yang dibawa sejumlah penduduk desa. Beberapa polisi kini sedang mengejar bos dan sejumlah anak buah bos yang melarikan diri ke hutan pinus. Anak-anak disambut beberapa anggota polisi dan segera diantar turun tebing. Di bawah sana Bu Emi, Bu Suryati, Fiona, Pak lurah dan sejumlah penduduk desa berkumpul. Suasana ladang kubis dan hutan pinus agak ramai, padahal dingin menyergap dan gerimis turun perlahan dalam suasana malam itu.

“Jeffry, Novita, Norma dan Rudi dan anak-anak lain sudah kelihatan. Itu mereka!” teriak Fiona yang berdiri cemas di dekat Bu Emi. Wajah Bu Emi yang semula pucat bersyukur sekali melihat anak-anak sudah kembali. Begitu mereka sampai segera Bu Emi menghambur memeluk mereka satu persatu.

“Maaf, Bu Emi. Ini di luar kemauan kami!” kata Deni dalam pelukan Bu Emi.

“Tak apa. Tak apa. Ini pelajaran berharga!”

“Tapi sebentar, Bu!” tiba-tiba Deni melepas pelukan Bu Emi, “Ya... ...aku tahu suara siapa itu... ...aku tahu!” ujar Deni.

“Apa maksudmu?” tanya bu Emi tak mengerti.

“Orang yang disebut bos itu. Aku tahu. Aku kenal suaranya... ...” mata Deni berubah bersinar dahsyat. Sesuatu tengah bergejolak dalam hatinya. Ia melihat di bawah sana, di hutan pinus terdengar suara tembakan dan berkas-berkas sinar lampu anggota polisi yang tengah melakukan pengejaran terhadap bos beserta beberapa anak buahnya. Dari pesawat HT terdengar bahwa posisi bos sudah terjepit dan bos segera ditangkap.

Tanpa sepengetahuan orang-orang itu, Deni tiba-tiba berlari ke arah suara tembak-menembak itu.

“Deni, mau kemana kau?” teriak Bu Emi.

“Aku tahu siapa dia!” ujar Deni berlari, suaranya tertelan angin.

“Deni, kembali kesini!” teriak Bu Emi. Tapi Deni tak mendengar lagi. Dia terus berlari.

Bagus dan Jeffry, Rudi serta Paul berlari menyusul Deni berlari menuruni wilayah ladang kubis menuju ke hutan pinus. Mereka tak menghiraukan udara dingin dan gerimis yang semakin besar. Curahan air hujan terasa sakit menerpa pipi anak-anak yang berlarian.

Deni telah sampai di lokasi tembak menembak itu ketika tiba-tiba ia merasa di sekelilingnya keadaan gelap sekali. Sesekali memang terlihat sorot lampu. Tapi sorot itu kemudian mati. Ia tahu itu pasti sorot anggota polisi yang berupaya mengejar sambil mengecoh anak buah bos.

Ketika Deni menoleh kekiri dan kekanan. Ia tiba-tiba melihat kelebatan seseorang, dengan mantel besar. Kelebatan itu menciptakan angin dingin. Itu bos!

Deni tahu boss bersembunyi di rerimbunan. Dan Deni tahu bos tahu ia berada di situ. Perlahan Deni menghampiri tempat bos bersembunyi. Dalam gelap ia berusaha menyibak dedaunan semak. Deni merinding dan terkejut ketika bos tiba-tiba berdiri di hadapannya. Wajahnya tak tampak karena gelap. Hanya sedikit sinar yang datang dari kejauhan membuat Deni bisa melihat bayang-bayang bos.

“Menyingkir dari situ. Menyingkir, kataku!” hardik bos. Semakin mendengar suara bos, semakin Deni tahu siapa dia.

“Ayo menyingkir!” bos mengacungkan pistol ke arah Deni. Ia kelihatan jengkel Deni tak kunjung menyingkir.

“Kalau tidak segera pergi, kutembak kau!” ujar bos lagi.

Tapi Deni tak goyah. Ia menatap wajah bos dalam gelap.

“Menyingkir, Deni! Menyingkirlah!” teriak bos lagi, menyebut nama Deni bersamaan dengan derap-derap langkah polisi mengepung mereka. Lampu-lampu sorot menerangi mereka. Deni terpaku menatap wajah bos. Ingin sekali Deni menutup wajahnya sendiri. Ia sekali ia berlaki dan berteriak, tapi sekujur tubuhnya mendadak lemas.

Komandan polisi yang kelihatan lebih senior dari Pak Pardi mengawasi bos dengan cermat, dengan pistol siap di tangan. Muka bos berpeluh dengan raut kalut. Moncong pistol masih terarah pada Deni. Deni kini adalah sandera yang mungkin digunakan bos untuk menyelamatkan diri.

Komandan polisi, yang Deni dan anak-anak kenal sebagai Om Bimo, perlahan mendekati Deni dan bos dengan sikap sigap.

“Letakkan pistol itu, Hermanto! Menyerahlah! Jangan kau lukai anakmu sendiri. Kau tidak akan bisa melukai anakmu sendiri!” Komandan polisi itu, alias Om Bimo membujuk.

Bos Hermanto menatap Om Bimo dan Deni bergantian. Tangannya yang memegang pistol bergetar. Sebentar kemudian ia menurunkan pistol itu perlahan, da melemparkannya ke sebelah kaki Om Bimo. Ia tak berdaya dan menangis sesenggukan. Om Bimo menurunkan pistolnya. Anngota polisi segerameringkus Hermanto.

“Bapak.....” seru Deni lirih dengan bibir bergetar.

“Saya mohon, biarlah saya bicara dengan putri saya....” Hermanto minta para polisi melepas cengkeraman mereka. Om Bimo mengangguk memberi tanda pada para anggota polisi, dan menurunkan acungan pistol.

Bapak menghampiri Deni.

“Deni,” ujar Bapak. “Ini saat yang paling Bapak takutkan, saat kau tahu dengan mata kepala sendiri apa yang bapak kerjakan. Bapak tahu ini akan membuat ibumu, Dodi dan kamu membenci Bapak seumur hidup. Kau tak perlu tahu kenapa Bapak melakukan ini. Yang kau perlu tahu adalah pekerjaan Bapak ini teramat hina dan tidak terpuji,” Bapak mengusap airmata Deni yang berbaur dengan air hujan. Deni tak mampu berkata-kata. Tenggorakannya seperti tersumbat.

“Bimo,” Bapak bicara pada Om Bimo. “Kesinikan borgolnya,”

Om Bimo ragu-ragu menyerahkan borgol yang sedari tadi sudah siap. Bapak menerima borgol itu dan mengacungkannya di depan Deni.

“Kau bisa memasang borgol?” tanya Bapak. “Ayo, pasang ini di kedua tangan Bapak”

Deni masih terpaku. Orang-orang di sekeliling mereka juga terdiam. Mereka tahu Deni tidak akan bisa melakukan itu.

“Begini saja,” kata Bapak kemudian, “Bapak tahu kamu malu sekali atas perbuatan Bapak. Agar kau tak perlu menanggung malu, akan Bapak sampaikan sebuah rahasia yang bisa didengar semua orang di sini”

Suasana jadi hening. Hujan rintik terdengar bergemerisik.

“Berjanjilah, setelah Bapak katakan rahasia itu, kau akan lingkarkan borgol ini ke tangan Bapak”

Deni masih diam.

“Dengar, Deni. Ini Bapak katakan sejujurnya : Ibumu adalah ibumu, tapi Dodi bukan adik kandungmu, dan saya bukan Bapak kandungmu! ......Kelak akan saya tunjukkan siapa bapakmu yang sebenarnya”

Bagaikan disambar geledek Deni mendengar kata-kata Bapak. Deni mundur beberapa langkah. Joanne dan Bu Emi mendekap mulut. Desir angin dan rintik hujan makin menjadi-jadi.

Tiba-tiba Deni merasakan borgol itu sudah ada di genggamannya dan kedua tangan Bapak sudah diacungkan ke muka Deni. Di tengah kekalutan, Deni memasang borgol itu ke kedua belah tangan Bapak. Terdengar suara borgol terkunci. Bapak tersenyum. Deni tak sempat melihat senyum Bapak. Matanya buram oleh tumpahan air mata. Ia mundur beberapa langkah lagi, beberapa tapak lagi dan berlari menjauh, membelah kerumunan. Bu Emi dan yang lain-lain meneriaki Deni, tapi Deni tak menghiraukannya. Ia terus berlari ke arah belantara pinus di tengah gelap. Deni tidak berhenti. Bagus dan Paul berlari menyusul.

Kilat menyambar di angkasa. Hujan turun menjadi-jadi. Dedaunan pinus menimbulkan suara mengerikan. Sejumlah orang mulai ikut mengejar dengan sorot lampu. Mereka sempat mendengar Deni merintih kesakitan diikuti gemerisik suara tumbuhan berada, lalu suara Deni hilang di tengah derai hujan.

“Deni terperosok ke dalam tebing!” Bagus berteriak. Orang-orang gempar.

Beberapa anggota polisi sigap menuruni tebing dengan lampu sorot, sibuk mengarahkan lampu ke sana kemari. Tapi gadis kecil itu tak terdengar lagi, tak terlihat lagi.

Aduh, kok jadi begini? Bagaimana akhir kisah Deni?

(bersambung ke episode terakhir)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun