[caption id="attachment_298191" align="aligncenter" width="448" caption="Satu reception untuk 8 hotel (foto : Eddy Roesdiono)"][/caption]
Tingginya nilai property di Hong Kong—negara kecil yang terpaksa menganut model pemukiman vertical karena tebatasnya lahan-- berimbas pada tata letak, sistem distribusi dan struktur harga sewa kamar penginapan. Minggu lalu, saya merasakan petualangan lumayan seru untuk mendapatkan penginapan bagi tujuh orang dalam trip group saya.
Kami bertujuh semula dijadwalkan terbang ke Hong Kong dari Surabaya via Kuala Lumpur dengan penerbangan AA tanggal 14 Februari 2014. Seminggu sebelumnya, saya memesan kamar hotel secara online melalui biro pemesanan hotel AGD, tentu saja mencari hotel kelas budget, alias tarif hemat. Setelah menyimak spesifikasi sejumlah hotel, pilihan jatuh pada Russian Hostel, yang terletak di Chungking Mansion, Nathan Road, kawasan Tsim Sha Tsui Hong Kong. Saya memesan dua kamar double dan satu kamar triple untuk 4 malam. Tarif semalam untuk kamar double adalah Rp 575.000 dan untuk kamar triple Rp 625.000. Dari awal saya agak bingung menatap alamat hotel seperti ini :
Dari alamat hotel, terlihat jelas ada beda antara lokasi bagian reception dan kamar hotel itu sendiri. Lebih membingungkan lagi, puluhan kamar hotel budget yang saya browse melalui AGD menunjukkan model alamat yang nyaris sama, bahkan lokasi reception dan nama ‘Chungking Mansion’.
Balik ke pemesanan kamar lewat AGD.
Penerbangan ke Hong Kong tanggal 14 Februari 2014 dibatalkan karena langit terganggu hujan abu vulkanik Gunung Kelud. Kami baru dapat jadwal ulang terbang tanggal 19 Februari 2014. Saya bergegas menelepon AGD biro Jakarta dan minta jadwal ulang hotel. Beruntung pemesanan hotel bisa dijadwal ulang, tanpa biaya tambahan.
Rabu tanggal 19 Februari, pukul 21.30 kami sampai di alamat yang dimaksud. Chungkin Mansion adalah nama sebuah bangunan apartemen di Jalan Nathan, berlantai 20 yang ternyata multi-fungsi. Pemandangan lantai 1 mirip pasar, yang selarut itu masih aktif dengan kios dan lapak-lapak yang berjual berbagai macam barang. Kesan yang sekilas tertangkap, mansion itu dikuasai imigran India, Pakistan, dan Bangladesh. Begitu mobil jemputan dari bandara berhenti di parkiran di seberang Chungkin Mansion, kami segera diserbu sejumlah orang yang menawarkan hotel. Saya menepis mereka dan mengatakan saya sudah booking kamar Russian Hostel.
[caption id="attachment_298190" align="aligncenter" width="538" caption="Bangunan tinggi di belakang saya adalah Chungking Mansion (foto Eddy Roesdiono)"]
“Oh, itu hotel saya. Yuk saya antar,” kata seorang pemuda asal Pakistan yang memperkenalkan diri dengan nama Sem. Ia memimpin kami bertujuh (salah satu anggota grup saya adalah nenek berusia 84 yang pakai kursi roda).
Kami berjalan berdesakan dengan orang-orang yang berlalu lalang di lantai satu, memembus lorong-lorong padat manusia ke bagian mansion yang disebut Blok D. Kami sampai di depan sebuah lift kecil untuk naik ke lantai 16. Di depan lift, sudah ada antrian sejumlah wisatawan Asia dan bule, menunggu lift berkapasitas 6 orang untuk naik turun. Seperempat jam kemudian, kami berhasil mencapai Lantai 16, dan Sem membawa kami masuk di koridor sempit lantai 16 menuju ruang reception. Tahulah saya ruang reception sempit itu ternyata adalah fasilitas reception untuk sejumlah hotel seperti yang ditunjukkan pada foto paling atas.
Sem menyerahkan cetakan formulir pemesanan hotel saya pada pihak petugas reception. Petugas berbicara sebentar pada Sem. Tampaknya ada masalah. Petugas kemudian menulis nomor kamar hotel dengan pena di atas formulir : 1509, 1514 dan 1604.
“Yuk, saya antar ke kamar Anda,” kata Sem.
Tadinya saya mengira kamar kami ada di sekitar lantai itu. Ternyata Sem mengajak kami semua turun ke lantai 1, antri lagi untuk turun. “Sori, Russian Hostel sudah penuh. Saya antar Anda ke hotel lain, tidak jauh kok,” kata Sem.
[caption id="attachment_298196" align="aligncenter" width="448" caption="Polisi memeriksa papan nama usaha yang baru terjatuh dari ketinggian di depan pintu masuk Harilela Mansion, jalan masuk menuju ke lift Sandhu Hotel (Foto Eddy Roesdiono)"]
Saya mulai menggerutu dalam hati. Jam sudah menunjukkan pukul 22.20. Nenek di kursi roda sudah waktunya beristirahat dengan nyaman setelah perjalanan panjang dari Surabaya pulul 9.00 pagi tadi.
Ketika turun ke lantai satu, dua anggota trip saya masih tertinggal di lantai 16. Kami menunggu. Sementara menunggu, kami berdiri di antara orang-orang yang hendak antri naik. Seorang lelaki tiba-tiba menyapa, dalam bahasa Indonesia patah-patah.
“Kenapa pesan hotel di sini? Ini kawasan brengsek. Tamu hotel selalu dipindah-pindah. Coba lihat, besok kalian pasti dipindah ke hotel lain. Enakan pakai hotel saya, dijamin murah, enak, aman dan gak bakal dipindah-pindah,” katanya. Sem menatap orang ini dengan geram dan mengisyaratkan dengan gerakan wajah agar kami berhenti bicara dengan orang itu. Saya mulai faham adanya gejala persaingan tak sehat bisnis hotel di kawasan Tsim Sha Tsui ini. Pantaslah sejumlah blog menyebut Tsim Sha Tsusi adalah kawasan famous sekaligus infamous hotel-hotel budget.
Sem membawa kami menyeberang jalan Nathan di depan Chungking Mansion, dan memimpin berjalan di trotoar menjauh dari Chungking Mansion.
“Ini kemana?” tanya saya tak sabar.
“Ke Sandhu hotel di Harilela Mansion. Don’t worry my friend, ini hotel baru,” katanya.
Setelah berjalan dalam suhu 7 derajad Celsius sejauh sekitar 150 meter kemudian, kami sampai di Harilela Mansion, dengan jalan masuk di menuju lift yang hanya bisa dilewati dua orang berpapasan. Kami naik ke lantai 15 dan 16 dengan lift berdinding tripleks yang ditempeli kertas lift is under rennovation’.
Untunglah kamar pengganti itu benar-benar baru, terang dan bersih. Bergaya apartemen, setiap sejumlah berada dalam sebuah sub-blok yang dilengkapi pintu khusus yang hanya bisa dibuka dengan kunci elektronik yang dipegang oleh penyewa kamar. Di sub-blok kamar saya (lantai 16) terdapat kamar nomor 1300 – 1320. Sub-blok anggota trip saya di lantai 15 terdiri atas kamar 1509 sampai 1514.
Sem meninggalkan kami dengan salam sopan. “Kalau mau check-out, cukup pastikan tak ada barang-barang yang tertinggal, dan tinggalkan kartu kunci elektronik di dalam kamar,” pesan Sem. “Kalau mau ngopi, ngeteh atau memanaskan makanan beku, silakan gunakan dispenser, dan gula-kopi-teh gratis yang tersedia di pojokan ruangan masing-masing sub-blok,”tambahnya. Kata-kata Sem ini menyiratkan agar tamu tidak berharap banyak pada layanan kamar karena semuanya bakal self-service.
[caption id="attachment_298192" align="aligncenter" width="480" caption="Fasilitas kopi-teh-pemanas gratis di masing-masing sub-blok (Foto Eddy Roesdiono)"]
Kecurigaan saya akan kondisi kamar yang tak sesuai harapan sirna. Meski sempit sekali, kamar triple saya lumayan nyaman. Selimut tebal, kamar mandi ukuran 1,5 x 1 meter pakai pancuran berair panas, lemari penyimpan barang, pesawat telepon yang hanya bisa digunakan antarruang, tiga handuk baru, dan televisi 21 inchi layar datar di dinding, mesin pengering rambut, sejumlah colokan listrik dan lemari es kosong melompong.
[caption id="attachment_298193" align="aligncenter" width="384" caption="Kamar triple saya di hotel Sandhu (Foto : Eddy Roesdiono)"]
Tak langsung istirahat, saya dan tiga anggota muda dalam grup saya keluar hotel dan berkeliling Tsim Sha Tsui. Sekitar jam 12 malam, saya bertemu dengan dua pemuda Indonesia yang asyik foto-fotoan. Kami mengobrol. Pemuda itu ternyata punya masalah : ia dan grupnya (6 orang, termasuk 2 perempuan) belum dapat kamar hotel.
“Sudah coba Chungkin Mansion?” tanya saya.
“Tadinya mau kesitu, tapi melihat gerombolan orang-orang berwajah India di depan mansion, cewek-cewek di grup kami jadi takut,” katanya.
“Coba hotel saya. Saya tadi lihat, di sub-blok saya di Hotel Sandhu masih ada banyak kamar kosong. Saya tahu itu kosong karena pintunya dibiarkan terbuka dan sepertinya kamar sudah siap,” kata saya.
Pemuda ini senang bukan alang kepalang. Ia langsung ikut saya ke hotel Sandhu. Saya tanya seorang lelaki paruh baya yang berjaga di meja reception Harilela Mansion yang sejak tadi saya kenal dengan nama Thomas.
“Thomas, ini teman-teman saya butuh kamar. Kamar-kamar di lantai 16 di sebelah saya kan masih kosong,” kata saya.
“Wah, saya cuma satpam di mansion ini. Saya teleponkan saudara saya. Ia punya kamar kosong. Nanti lihat dulu, kalau tak suka tidak apa-apa,” kata Thomas, langsung menelepon seseorang.
Lima menit kemudian, seorang perempuan berjaket tebal tiba. “Perlu berapa kamar? Harga perkamar Rp 900.000 permalam,” ujar perempuan itu. Teman baru itu perlu tiga kamar. Mereka mengiyakan. Perempuan itu membawa teman baru saya itu ke lokasi hotel, dua blok jaraknya dari Harilela Mansion.
Sampai di sini saya jadi paham gaya distribusi dan marketing kamar hotel budget kawasan kondang Tsim Sha Tsui. Saya juga jadi tidak heran kalau masing-masing mansion ternyata tak berfungsi sebagai hotel. Di Harilela Mansion saja, di lantai 4 ada spa khusus laki-laki; di lantai 12 ada Ziafat, rumah makan Muslim dan ada sejumlah bisnis non-hotel lain.
[caption id="attachment_298194" align="aligncenter" width="480" caption="Tenant Harilela Mansion (foto Eddy Roesdiono)"]
Ngobrol lama dengan Thomas, satpam Harilela, saya jadi tahu hotel-hotel di kawasan Tsim Sha Sui memang berada di bawah kekuasaan pebisnis imigran India, Pakistan Bangladesh. “Harilela Mansion ini milik pengusaha India. Persaingan hotel teramat ketat. Petugas marketing hotel berkeliaran di jalanan Tsim Sha Tsui membawa kartu nama menawarkan hotel dan mobil van antar-jemput,” jelas Thomas.
Ketika pagi hari kami meninggalkan hotel untuk berpesiar ke Shenzen (China), saya agak was-was. Kalau memang benar kata orang semalam itu bahwa tamu hotel bisa dipaksa untuk pindah, nanti malam kami pasti mendapati barang-barang bawaan teronggok di depan pintu kamat hotel dan tak tahu harus menginap di mana.
Ternyata kekuatiran itu tidak perlu. Sampai 4 malam everything is alright. Kami check-out dari hotel di pagi hari yang dingin tanggal 23 Februari 2014 tanpa permisi kepada siapapun.
Oh ya, mencari hotel hourly (jam-jaman) juga tak sulit. Hotel-hotel seperti ini, banyak ditemukan di kawasan Mongkok, biasanya digunakan untuk ‘keperluan’ singkat dengan minimal sewa dua jam dengan tariff HKD 68 atau sekitar Rp 94.000.
[caption id="attachment_298195" align="aligncenter" width="560" caption="Hotel jam-jaman di kawasan Mongkok (Foto Eddy Roesdiono)"]
Pengalaman cari penginapan yang lumayan unik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H