Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Radio, Someone Still Loves You!

11 September 2014   19:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:59 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, 11 September adalah Hari Radio Nasional. Adakah di antara pembaca Kompasiana yang menyadarinya sebelum membaca artikel ini?

Hari ini, pada saat siaran televisi yang penuh warna dan penuh gaya menyusup ke setiap sudut bumi; pada saat video gampang hadir dari compact disc dan layanan online; pada saat fitur-fitur smartphone dan aplikasi-aplikasi media sosial menyeruak ke hati manusia, masihkah radio diminati; does anyone still love you, radio?

[caption id="attachment_323316" align="aligncenter" width="420" caption="Ilustrasi : www.myconfinedspace.com"][/caption]

Sebelum kita berbincang tentang peran radio dewasa ini, mari kita simak cermati lirik lagu Radio Gaga, dinyanyikan oleh Freddy Mercury dari kelompok Queen, yang pernah sangat kondang di jaman saya muda dulu. Ini dia :

"Radio Ga Ga"

I'd sit alone and watch your light
My only friend through teenage nights
And everything I had to know
I heard it on my radio
Radio.

You gave them all those old time stars
Through wars of worlds - invaded by Mars
You made 'em laugh - you made 'em cry
You made us feel like we could fly.

So don't become some background noise
A backdrop for the girls and boys
Who just don't know or just don't care
And just complain when you're not there
You had your time, you had the power
You've yet to have your finest hour
Radio.

All we hear is Radio ga ga Radio goo goo
Radio ga ga All we hear is Radio ga ga Radio blah blah
Radio what's new?
Radio, someone still loves you!

We watch the shows - we watch the stars
On videos for hours and hours
We hardly need to use our ears
How music changes through the years.

Let's hope you never leave old friend
Like all good things on you we depend
So stick around ‘cos we might miss you
When we grow tired of all this visual
You had your time, you had the power
You've yet to have your finest hour
Radio - Radio.

All we hear is Radio ga ga Radio goo goo Radio ga ga
All we hear is Radio ga ga Radio goo goo Radio ga ga
All we hear is Radio ga ga Radio blah blah
Radio what's new? Radio, someone still loves you!

Video Radio Gaga bisa disimak di sini

Tak pelak lagi, radio memiliki kelekatan sejarah di hati sebagian besar orang. Radio-lah alat komunikasi masa paling bernas yang memuat informasi berita, hiburan dan musik sebelum televisi, video, dan internet mengambil alih peran komunikasi sosial. Radio-lah yang sangat berjasa membangun ketenaran dan kemasyhuran artis penyanyi di jamannya. Radio pulalah yang mengantarkan berita-berita dunia dan berita kemerdekaan Indonesia ke telinga masyarakat. Radio pulalah yang menemani hari-hari menjemukan pegawai kantoran, petugas Hansip atau ibu-ibu rumah tangga yang harus berkutat seharian di dapur.

Ingat pula bagaimana pada jamannya, kamu cerdik pandai Indonesia mulai mengakses berita-berita, informasi dan musik luar negeri melalui radio-radio siaran luar negeri seperti BBC (British Broadcasting Commission), VOA (Voice of America), Radio Nederland Wereldomroep, Radio Australia atau Deutsche Welle baik dalam bahasa penyelenggara atau dalam bahasa Indonesia.

SEJARAH SIARAN RADIO DI INDONESIA

Sejarah siaran radio di Indonesia pertama kali ditandai oleh mengudaranya siaran Bataviasche Radio Vereniging (BRV) di Batavia, pada tanggal 16 Juni 1925; 5 tahun setelah siaranperdana serupa hadir di Amerika, Inggris dan Uni Soviet.Siaran BRV diikuti siaran-siaran sejenis di kota-kota lain di Bandung, Medan, Solo, Jogja, Surabaya, Madiun dan Semarang. Di Jakarta, selain BRV, hadir pulaNederlandsch Indische Radio Omroep Mastchapij (NIROM) yang memiliki fasilitas lengkap karena dapat sokongan dana dari pemerintah Hindia Belanda. NIROM pula yang mulai mengutip pajak radio, dan dengan pendanaan yang besar, lembaga ini mampu meningkatkan daya pancar, membangung stasiun-stasiun relay dan memanfaatkan sambungan 1,2 juta sambungan telepon untuk menyuplai modulasi ke stasiun-stasiun pemancar yanmemiliki sambungan telepon.

Lembaga siaran radio pertama yang dikelola bangsa Indonesia dalah Solosche Radio Vereniging (SRV) yang didirikan pada tanggal 1 April 1933 oleh Mangkunegoro VII dan seorang bangsawan dan seorang Insinyur bernama Ir. Sarsito Mangunkusumo yang mewujudkan SRV itu. Pendirian SRV mengilhami tampilnya lembaga siaran milik bangsa lainnya di berbagai kota. Lembaga-lembaga siaran milik bangsa Indonesia ini kerap disebut sebagai ‘kelompok radio ketimuran’. Utusan-utusan kelompok ini mengadakan pertemuan di Bandung dan meresmikan nama asosiasi itu : PERIKATAN PERKUMPULAN RADIO KETIMURAN (PPRK), ketuanya Sutarjo Kartohadikusumo.

Pada masa sebelum kemerdekaan, Radio adalah alat ampuh untuk mempropagandakan perjuangan. Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, PPRK dibubarkan oleh pihak Jepang lantaran dianggap meracuni upaya Jepang untuk menguasai Indonesia. Siaran radio pada masa Jepang digantikan oleh Hoso Kanri Kyoku, lembaga penyiaran yang dikontrol penuh oleh Jepang sampai ke tingkat provinsi dan kabupaten. Hoso Kanri Kyoko juga mengharuskan agar bengkel reparasi pesawat radio berada dalam pengawasan mereka. Jepang juga membatasi akses siaran radio luar negeri dan menempatkan pesawat radio di banyak ruang publik agar propaganda mereka lebih tersimak secara massif.

Tapi tentu saja pembatasan siaran oleh Jepang itu tak bertahan lama. Para pejuang kemerdekaan Indonesia masih mendapaktkan celah-celah akses kepada radio asing dan terus aktif memantau berita perkembangan nasional dan internasional melalui radio. Dari siaran radio pulalah para para pejuang penyimak radio ini beroleh kabar Jepang diultimatum untuk menyerah pada Sekutu melalui berita radio BBC tanggal 26 Juni 1945. Selanjutnya, berita kekalahan Jepang terdengar pula dari siaran radio luar negeri pada tanggal 15 Agustus 1945 dan inilah yang mendorong para pejuang untuk minta Sukarno segera mendeklarasikan kemerdekaan. Rakyat Indonesia sendiri baru mendengar proklamasi kemerdekaan Indonesia pada pukul 19.00 tanggal 17 Agustus 1945 melalui siaran radio setelah pembaca berita berhasil menyusup ke studio radio yang saat itu dalam kawalan ketat tentara Jepang. Jusuf Ronodipoero membacakan teks proklamsi dalam bahasa Indonesia dan Suprapto membacakan versi bahasa Inggrisnya. Siaran diulang-ulang setiap lima belas menit sampai mereka dipaksa berhenti siaran oleh tentara Jepang tak lama kemudian.

Jaringan Hoso Kanri Kyoku berhenti beroperasi pada tanggal 19 Agustus 1945 dan sejak saat itu masyarakat tak lagi mendengar berita. Ini membuat sejumlah pegiat radio merasa perlu memiliki organisasi siaran nasional yang mumpuni. Maka bersepakatlah mereka untuk menggelar konperensi nasional, bertempat di kediaman Dr. Abdulrachman Saleh, Menteng, Jakarta.Hadir dalam konperensi itu adalah tokoh-tokoh siaran radio Adang kadarusman, Soehardi, SoetarjiHardjolukita, Soemarmadi, Sudomomarto, Harto dan Maladi. Pertemuan membahasa pelembagaan radio secara nasional itu dimulai pukul 24.00, 11 September 1945. Pertemuan menetapkan pula Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai radio siaran nasional, diketuai oleh Dr Abdulrachman Saleh. Tanggal inilah yang ditetapkan sebagai Hari Radio Nasional.

PERKEMBANGAN SIARAN RADIO

Radio Republik Indonesia pada perkembangannya berjalan berdampingan dengan siaran radio swasta yang bernaung di bawah wadah Persatuan Radio Swasta Niaga Nasional Indonesia (PRSSNI) yang berdiri Desember 1974 dan dikukuhkan oleh Menteri Penerangan pada Desember 1977. Siaran radio swasta di Indonesia digagas oleh sejumlah mahasiswa di Jakarta yang mendirikan Radio Ampera pada 28 Februari 1966. Radio Amperan mengudara untuk menyuarakan aspirasi mahasiswa. Radio Ampera kemudian diikuti oleh puluhan radio swasta di berbagai kota besar di Indonesia.

Maraknya siaran radio di tengah sepinya hiburan membuat radio adalah bagian penting kehidupan sosial masyarakat. Sifat media radio yang membawa muatan suara manusia, musik dan sound-effect menjadikan radio sebagai sarana komunikasi, informasi dan hiburan yang simple; ia bisa dinikmati di mana saja, kapan saja sambil apa saja, apalagi setelah pasar elektronika dibanjiri pesawat radio bertenaga baterai dan mungil dari segi bentuk dan pesawat radio yang dipadukan dengan pemutar CD yang dipasang di mobil Anda.

Berbagai program kreatif siaran radio mulai bermunculan : sandiwara radio, tangga musik, lomba menyanyi, talk-show, wawancara, konsultasi dan semacamnya.Modulasi radio lebih berkualitas, yang kita kenal dengan FM (Frequency Modulation), yang mampu menghadirkan kualitas suara lebih jernih, membuat siaran radio makin seksi. Belakangan, siaran radio mulai menggagas program traffic-report (laporan lalu lintas) yang memfasiltasi pula laporan-laporan langsung pendengar melalui saluran telepon. Suara Surabaya FM adalah salah satu siaran radio yang merintis jenis program traffic-report dan masih jadi andalan pengguna jalan sampai saat ini.

MASIHKAH ORANG CINTA RADIO?

Terus terang agak sulit mendapatkan jawaban yang melegakan di tengah maraknya berbagai media komunikasi modern dewasa ini. “Saya masih menyimak radio untuk mengikuti perkembangan musik,” tutur Ulin Yusron, pegiat media sosial, tinggal di Jakarta.

“Saya simak radio kalau sedang bermobil di jalan, khusus untuk menyimak traffic-report, kalau bosen dengar musik,” kata Yopie Hidayat, mantan Pemimpin Redaksi Harian Kontan. Selebihnya, menurut Yopie, program-program siaran radio kalah seksi dibanding sajian media lain. “Update musik, misalnya, kalah sama iTune yang bisa menampilkan cuplikan album musik bahkan sebelum album musik resmi dirilis”.

Bahwa siaran radio sulit bersaing dengan rona-rona media sosial dan media komunikasi lain barangkali ada benarnya. “Siaran radio tak jelas rubrikasinya; bandingkan misalnya dengan BBC yang punya program tertata rapi antara music, feature, berita yang membuat mereka tetap berbeda daripada media lain. Siaran radio yang bagus menurut saya adalah siaran yang menyajikan musik berkualitas, suara penyiarnya enak didengar dengan bahasa yang baik, tidak diwarnai cekikan-cekikik,” tambah Yopie.

Lalu, siapakah yang masih mendengar radio?

Seperti ditulis di atas, mereka yang di belakang kemudi atau duduk di mobil masih mendengar traffic-report lewat radio. “Para petani di pedesaan masih menyimak musik dangdut atau gending Jawa dari radio kecil yang digantung di pilar dangau selagi bekerja di sawah,” ujar Yopie.

Pendek kata, radio masih diandalkan oleh mereka yang masih belum memiliki keleluasaan akses video, televisi atau media sosial lain. Mungkin masih pula diandalkan oleh mereka yang biasa menantikan informasi harga cabe kriting dan kol gepeng dari RRI, dan masih pula dinantikan oleh istri saya yang begitu duduk di belakang kemudi mobil, langsung pasang radio untuk mendengar talk-show bermuatan iklan penyelanggaraan seminar-seminar.

Bahwa radio masih bergayut dalam kenangan sebagai nostalgia ada benarnya. Abi Yazid, pengusaha di Jakarta mengatakan, “Siaran radio zaman dulu menyenangkan. Saya ingat pernah tergila-gila pada suara perempuan penyiar di sebuah radio siaran swasta FM di Surabaya. Suaranya seksi sekali sampai saya perlu datang ke studio untuk kenalan dengan sang penyiar, yang ternyata, tidak secantik dan seseksi suaranya.”

Masih kata Abi Yazid, yang sebelumnya bekerja di SCTV, “Siaran radio banyak memberi inspirasi kepada siaran televisi. Acara-acara talk-show di televisi adalah visualisasi talk-show radio”

Bagi saya pribadi, radio adalah pernik-pernik sejarah. Saya terjun ke dunia kerja melalui radio, sebagai penyiar pada La Victor FM Surabaya pada tahun 1982. Honor siaran saya gabung dengan honor mengajar bahasa Inggris untuk biaya kuliah. Pengalaman luar negeri pertama kali saya juga berkat radio; saya diundang gratis orientasi dan pelatihan jurnalisme radio di Radio Nederland Wereldomroep di Hilversum, Belanda, tahun 1989, yang merupakan pengalaman luar biasa. Dan satu lagi, artikel pertama saya (dimuat harian Jawa Pos tahun 1984) adalah tentang hari radio.

Jadi, bilamana ada pertanyaan apakah ada yang masih cinta radio, izinkan saya pertama-tama mengacungkan jari; bukan karena masih rajin dengar siaran radio, tapi karena nostalgia dan fakta bahwa siaran radio adalah pembentuk hari-hari perdana dunia kerja dan pengalaman luar negeri saya.

Selamat Hari Radio Nasional! Sekali di Udara Tetap di Udara!

sumber : www.en.wikipedia.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun