Bila Anda pecinta bahasa Jawa dan peminat kajian-kajian pembelajaran bahasa, Anda akan terwawaskan, terhibur dan tergelitik dengan video sandiwara ini. Sri Ngilang, atau The Disappearance of Sri, adalah drama berbahasa Jawa tulisan DrGeorge Quinn, pakar sastra dan bahasa Jawa, dosen senior pada The Australia National University (ANU), Australia.
[caption id="attachment_346801" align="aligncenter" width="575" caption="Screenshot : Eddy Roesdiono"]
Sandiwara berbahasa Jawa itu seperti yang diunggah pada tanggal 16 Januari 2015, bisa Anda simak di sini.
Tokoh-tokoh dalam sandiwara Sri Ngilang, sepenuhnya dimainkan oleh mahasiswa Perkuliahan Bahasa Jawa, School of Culture, Language and History, yang merupakan bagian dari Jurusan Asia dan Pacific pada ANU. Mungkin karena terbatasnya jumlah mahasiswa, tiga tokoh dalam sandiwara ini dimainkan secara ganda oleh dua mahasiswa. Para mahasiswa yang berperan dalam Sri Ngilang adalah : Ed Mosley (sebagai Suparto), Andrew Mitchell (sebagai Landhung), Katrina Reid (sebagai Nur), Evangeline Hall (sebagai Narsih dan Bu Probo), Kirrilly Mackenzie (sebagai pelayan restoran, pembantu dan reporter Endang Winarni), Ben Djung (sebagai polisi), Karina Bontes Forward (penyiar Wulaningsih). Dr George Quinn berperan sebagai Pak Sardi. Video diproduksi oleh Digital Learning Project, ANU.
[caption id="attachment_346802" align="aligncenter" width="577" caption="Screenshot : Eddy Roesdiono"]
Video sandiwara berbahasa Jawa ini dilengkapi subtitles (teks bawah) dalam bahasa Inggris.
Layar video sandiwara diawali dengan image gunungan wayang dan musik keroncong langgam Jawa Setya Tuhu karangan Ki Narto Sabdo. Meski dishot di Canberra, Australia, setting cerita adalah Jogjakarta.
Cerita dibuka dengan pertemuan Suparto dan Landhung di jalan. Mereka sama-sama akan ke rumah Sri. Mengalirlah dialog-dialog dalam bahasa Jawa, ini sedikit petikan dari adegan pertama :
Landhung : “Suparto, kowe arep lungo nangdi?”
Suparto : “Aku arep lungo menyang kos-kosane Sri”
Landhung :”Kowe seneng karo Sri, to?”
Suparto : “Ora, mung arep sinau. Are lungo karo Sri menyang perpustakaan”
Landhung: “Tenane? Arep menyang perpustakaan opo lungo menyang Malioboro Mall?”
Pada adegan kedua, Suparto dan Landhung berada di sebuah restoran. Dua orang teman perempuan datang, yakni Nur dan Narsih. Nur dan Narsih membawa kabar bahwa Sri dirawat di rumah sakit karena kecelakaan dan mereka berniat untuk menjenguk Sri di rumah sakit. Ini petikan dialog:
Suparto : “Rumah sakit sing endi? Bethesda, Panti Rapih opo Muhammadiyah?”
Nur : “Embuh! Orang ngerti aku. Rumah sakit Bethesda mbok menowo”
Potongan adegan lucu ketika Suparto memanggil pelayan untuk bayar kopi.
Suparto : “Piro kabeh, mbak?”
Pelayan : “Mung kopi wae, ora mangan krupuk? Ora mangan nyamikan?”
Suparto: “Ora, mung kopi papat”
Pelayan ; ” Kopi siji limang ewu limang atus, dadi papat, piro yo? Rolikur ewu”
Suparto : ” Iki duwike telung puluh ewu! Susuk sangang ewu”
Pelayan: ”Lo, kok sangang ewu? Wolung ewu!”
[caption id="attachment_346804" align="aligncenter" width="573" caption="Screenshot : Eddy Roesdiono"]
Setelah adegan bayar kopi, telepon seluler Nur berdering. Itu telepon dari Sri. Sri bilang ia baru saja melarikan diri dari rumah sakit, pergi ke Magelang dengan dokternya. Nur dan kawan-kawannya baru tahu Sri tidak benar-benar dirawat karena kecelakaan. Ia cuma pura-pura sakit agar bisa ketemu dokter Gunawan. Empat rekan ini kemudian memutuskan untuk mengunjungi orangtua Sri, yang saat ini sedang menumpang di rumah pak Sardi dalam rangka menengok Sri di rumah sakit.
Adegan ketiga dimulai dengan pak Sardi, pakai kopiah dan batik, membaca koran Tribun Jogja, dan minum kopi. Bu Probo, ibunya Sri, tamu numpang yang baru istirahat, bergabung ngopi dengan pak Sardi. Mereka dilayani Pariyem, pembantu.
Datanglah Nur, Suparto dan Landhung membawa kabar bahwa Sri lari rumah sakit dengan dokter Gunawan. Ini petikannya :
Nur: “Mekathen, Bu. Kolo wau kulo pikanthuk telepun saking Sri. Criyosipun sampun medhal saking rumah sakit mboten pamit rumiyin.Malah mlajeng dateng Magelang kalih pak dokter Gunawan. Criyosipun piyambakipun kasmaran kalihan pak dokter”
Pak Sardi terkejut.
Pak Sardi : “Lo, dokter Gunawan sing nyambut gawe nang rumah sakit Bethesda kuwi anakku?”
Bu Probo: “Wah, piye, anakku isih cilik tur Sri atine apik. Iki piye? Dokter Gunawan wis duwe bojo kok isih selewengan karo cak cilik!”
Pak Sardi:”Kowe kok wani ngomong ngono karo aku? Kowe ngerti aku iki sopo? Kowe tak tompo nginep nang omahku kok malah nranyah!”
[caption id="attachment_346805" align="aligncenter" width="577" caption="Pak Sardi (Dr George Quinn, berpeci, baju batik). Screenshot : Eddy Roesdiono"]
Di tengah keruwetan itu, ada tamu datang. Kali ini adalah seorang polisi. Pak Polisi sedang mencari seseorang bernama Suparto, yang saat itu sedang bertamu di rumah Pak Sardi. Dengan akal bulus Landhung, Suparto berhasil melarikan diri. Dan barulah mereka tahu Suparto sedang dicari-cari polisi karena kasus narkoba.
Adegan terakhir adalah siaran berita televisi ‘Pawartos Dalu Caraka TV’. Penyiar Wulaningsih memberitakan perihal larinya Suparto dari kejaran polisi. Berita televisi juga dilengkapi dengan wawancara reporter Endang Winarni dengan polisi Teguh Prakoso yang sedang memburu Suparto.
Video sandiwara ditutup dengan lagu ‘Minggat” ciptaan Sony Jozz yang dibawakan sekaligus diiringi gitar oleh pemeran Wulangingsih. Seluruh pemain ikut nyanyi bareng, “Ndang balio Sri…..ndang balio….”
Sekilas, video sandiwara Jawa yang merupakan hasil revisi cerita yang sama oleh George Quinn di tahun 2010 ini terlalu sederhana dari segi cerita. Namun, ini merupakan upaya Dr Quinn untuk memberi nuansa pembelajaran yang berbeda. Dari laman link di atas, disebutkan ada 84 juta penutur bahasa Jawa, yang merupakan jumlah penutur bahasa terbanyak ke-10 di dunia. Dr Quinn menyebut –dalam konteks bahasa Jawa—kesulitan berbahasa Jawa bagi penutur asing adalah respect usage. Ia merujuk pada variabilitas tuturan bahasa Jawa yang harus sesuai dengan derajad kesopanan terutama ketika berbicara dengan atau tentang orang lebih tua atau orang berstatus lebih tinggi (ngoko, kromo madyo, kromo inggil)
Dialog-dialog dalam Sri Ngilang juga memuat unsur-unsur itu, dalam hal mana tuturan untuk satu makna tertentu harus disampaikan dengan cara berbeda sesuai dengan respect usage, yang merupakan bagian paling sulit dalam penguasaan bahasa Jawa.
Pembelajaran melalui sandiwara, kata Dr Quinn, sangat jarang ditempuh sebagai wahana pembelajaran. Padahal ini merupakan strategi untuk membumikan penguasaan bahasa Jawa yang ia sebut sebagai bahasa yang notoriously difficult to learn (terkenal sulit dipelajari).
Kembali ke sandiwara. Dari segi kemampuan berbahasa Jawa, jelas Dr Quinn paling fasih. Kedua terfasih adalah pemeran polisi (Ben Djung).
Karena para pemain berakting menggunakan skrip, maka kita melihat kefasihan dari segi pronunciation (pelafalan) dan intonasi. Kedua aspek inipun sudah cukup menunjukkan bagaimana sulitnya berbahasa Jawa. Setidaknya, dalam sandiwara ini, ada dua kata yang meleset diucapkan yakni kata ‘ngono’ (begitu) yang terucapkan ‘nongo’ (oleh pemeran Narsih di restoran), dan kata ‘kecepeng’ (tertangkap) yang terpeleset menjadi ‘kepeceng’ (oleh pemeran reporter Endang Winarni). Dua ‘e’ terakhir tidak diucapkan seperti ‘e’ pada ‘emas’, melainkan seperti ‘e’ pada ‘edan’.
Kata-kata ‘kok sik’ (nanti dulu) tak bisa diucapkan dengan akurat, lebih sering terdengar ‘ko siik’. Intonasi dan sequence timing juga sering meleset, terutama untuk partikel-partikel di akhir kalimat seperti ‘to’ dan ‘yo’. Kata-kata yang berhuruf depan ‘ng’ juga sulit diucapkan dengan akurat; ‘ngajeng’ menjadi ‘ajeng”. Namun demikian, kekurangan-kekurangan ini justru membuat sandiwara ini makin menggelitik, menarik dan menghibur.
Dr Quinn rupanya juga menyisipkan celetuk-celetuk dalam bentuk paribasan (simile) yang biasa diselipkan dalam tuturan Jawa. Simaklah bagaimana ia mengomentari Pariyem yang lamban bereaksi ketika diperintah : “Ojo plonga-plongo koyok kethek kethulup” (jangan bengong saja kayak monyet kesumpit)yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai ‘Don’t just stay there with your mouth open like a monkey shot with a blow dart’
Terus terang saya salut pada upaya Dr Quin untuk menempuh pembelajaran semacam ini. Kepiawaian Dr Quinn, penulis sekaligus sutradara, dalam memberikan sentuhan Jawa dan Indonesia dalam sandiwara ini patut diacungi jempol: tokoh Nur dan Narsih pakai kerudung, dan penyiar televisi Wulaningsih pakai jilbab batik. Pak Sardi sendiri pakai kopiah dan baju batik. Budaya menjamu tamu dengan kopi dan snack (nyamikan) juga diketengahkan. Gesture (gerak tubuh) yang merupakan bagian tak terpisahkan dalam bertutur bahasa Jawa ditampilkan pula : membungkuk atau menunjuk dengan jempol.
Sebagai orang Indonesia dan Jawa, saya luncurkan apresiasi yang tinggi untuk Dr Quinn, para dosen bahasa Jawa dan mahasiswa perkuliahan bahasa Jawa ANU. Anda semua telah menciptakan karya sederhana namun memiliki kontribusi besar dalam menumbuhkan kecintaan saya dan respek bangsa lain terhadap bahasa dan budaya daerah Indonesia.
Bravo!
Sumber bacaan dan foto :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H