MASYARAKAT kelaparan lalu terpaksa makan “putak” bukan cerita baru. Ini kisah ‘miris’ yang terus berulang di sejumlah daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Putak merupakan hasil olahan dari isi batang atau empulur pohon gewang (Corypha elata robx), sebangsa tumbuhan palma. Masyarakat, menurut laporan Kompas.com, ‘mengundang’ Presiden Joko Widodo untuk makan putak bersama mereka.
Biasanya putak dijadikan pakan ternak, tetapi sebenarnya juga merupakan pangan lokal. Isi batang gewang diolah menjadi sagu atau disebut putak gewang. Mengonsumsi putak adalah pilihan terakhir bila tak ada lagi bahan makanan lain yang bisa dimakan. Pangan alternatif ini biasanya dikonsumsi pada musim paceklik antara September – Februari. Mereka makan putak setelah simpanan bibit tanaman pangan seperti jagung juga telah habis dimakan. Selain putak, ada juga bahan makanan untuk kondisi darurat, yakni biji asam jawa dan iwi (sejenis ubi hutan mengandung racun).
Sebagaimana laporan portal berita Kompas.com, masyarakat di dua kecamatan di TTS mengonsumsi putak. Yakni Kecamatan Kualin; Desa Kualin, Toineke, Tuafanu, Tuapakas, dan Oni, serta di Kecamatan Amanuban Selatan; Desa Oebelo dan Noemuke.
Beberapa desa yang disebutkan dalam berita itu tak asing bagi Penulis. Antara tahun 2001-2002, Penulis sering berlalu-lalang di daerah tersebut, bertemu, dan berbincang dengan warga hingga Kepala Desa dan Camat mengenai kondisi daerah langganan bencana itu. Akses menuju dua kecamatan itu, baik dari arah Kupang maupun SoE, biasanya melalui persimpangan di ujung jembatan Noelmina – jembatan terpanjang di daratan Timor - yang membentang di atas Sungai Noelmina. Kita akan melintasi jalan beraspal membelah hamparan persawahan “Rata Bena” seluas ratusan hektare, sebelum memasuki dua kecamatan tersebut. Rata Bena nan subur termasuk wilayah Kecamatan Amanuban Selatan.
Langganan banjir dan kekeringan
Masyarakat di wilayah tersebut nyaris selalu didera persoalan tak berujung, seperti banjir dan genangan di musim hujan, tapi kekeringan di musim kemarau. Keduanya sama-sama mengakibatkan gagal panen dan berujung bencana kelaparan. Banjir menyapu tanaman pangan atau tanaman pangan mati tergenang. Kemarau mengakibatkan tanaman pangan mati kekeringan.
Desa-desa langganan bencana kelaparan akibat banjir maupun kekeringan antara lain Toineke, Tuafanu, Kiufatu, Oebelo, Naip, Kulain, Oni, dan Noemuke. Selain banjir, genangan, dan kekeringan, warga di desa-desa tersebut sering terserang wabah penyakit seperti diare dan malaria.
Banjir yang melanda desa-desa itu berasal dari luapan Sungai Noelmina, Noe Muke, Noe Lani, Noe Siu, Noe Buni, dan Kali Baat. Masyarakat lokal memberi nama khusus untuk banjir bandang tersebut, yakni “Noe Saku” artinya banjir yang menyapu rata. Banjir tersebut merupakan dampak penggundulan Hutan Aisio. Pohon asam jawa yang tumbuh di hutan tersebut sekaligus sebagai sumber pendapatan, malah ada yang ditebang juga oleh oknum masyarakat untuk diambil buahnya. Tak ada lagi pepohonan penahan air – setidaknya kepadatan hutan jauh berkurang - sehingga desa-desa yang berlokasi di dataran rendah tersebut sangat rentan diterjang banjir bandang. Menurut catatan yang Penulis dapatkan, banjir bandang pertama kali melanda wilayah tersebut tahun 1990.
Tak terbilang sudah berapa kali intervensi oleh pemerintah dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu bencana dan kelaparan untuk mengatasi persoalan di Amanuban Selatan dan Kualin. Ketika program bantuan beras untuk rakyat miskin (raskin) masih bergulir, warga di kecamatan-kecamatan tersebut selalu mendapat jatah. Pemberian raskin itu pun seringkali menimbulkan konflik antar-warga maupun warga dengan pemerintah setempat akibat penyaluran yang salah sasaran. Bantuan modal usaha melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT) pun tak luput, toh tak meninggalkan bekas pada kesejahteraan masyarakat. Jejak program IDT yang tersisa hanyalah bantuan fisik berupa pengerasan jalan sepanjang 350 meter ke pasar rakyat.
Telah banyak intervensi, namun sampai hari ini kondisinya tak kunjung membaik. Faktanya hari-hari ini kita mendapat kabar (lagi) tentang bencana kelaparan di sana. Apa/siapa yang salah?
Ajak Jokowi
Sekarang, rakyat di Kecamatan Kualin dan Kecamatan Amanuban Selatan, sebagaimana laporan Kompas.com, berharap Presiden Jokowi mengunjungi mereka sekaligus diajak ikut menikmati pakan ternak yang mereka konsumsi. Warga setempat mengaku telah memperoleh informasi bahwa Jokowi akan berkunjung ke NTT pada Juli 2015. Diharapkan Jokowi menyempatkan diri singgah di daerah mereka. Warga yakin, jika Jokowi datang langsung, semua persoalan mereka akan teratasi.
Harapan dan ajakan itu bisa dimaknai secara harfiah tetapi juga bermakna sindiran terhadap pemerintahan setempat, baik Pemerintah Kabupaten TTS maupun Pemerintah Provinsi NTT. Ke mana Bupati dan Wakil Bupati TTS Paul Mella – Obed Naitboho dan Gubernur-Wagub NTT Frans Lebu Raya – Benny Litelnoni, sehingga seorang presiden harus turun tangan langsung? Untuk apa ada jenjang pemerintahan pusat-daerah jika semua persoalan di daerah harus diselesaikan oleh presiden? Lagi pula, Jokowi bukan tukang sulap yang cukup baca mantra, sim salabim, lantas semua persoalan beres dalam sekejap.
Kondisi masyarakat tersebut sudah sampai ke telinga Jokowi. Sudah dibahas dalam rapat kabinet, lalu Jokowi mengutus Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa ke lokasi. Khofifah datang membawa bantuan berupa 24 ton beras, 12 karung ikan kering, 800 dus mie instan, 24 dus kecap manis, dan 21 dus minyak goreng.
Mensos sudah turun langsung, tetapi kabar yang beredar, Khofifah dibawa ke Desa Noemuke yang tidak mengalami bencana. Seorang anggota DPRD NTT asal TTS, Jefry Banunaek, terang-terangan mengkritik hal ini. Dia menduga pemerintah provinsi maupun kabupaten sengaja menutup-nutupi kondisi riil rakyat dari pemerintah pusat.
Selain bantuan darurat dari Mensos, kabarnya Kementerian Pertanian dan Kementerian Pekerjaan Umum akan memberikan bantuan seperti pembuatan sumur bor, embung, dan irigasi. Hemat Penulis, inilah bantuan yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat di lokasi bencana tersebut. Pemerintah dan masyarakat setempat juga perlu memperbaiki/menanam kembali hutan-hutan yang telah digunduli di sekitar kawasan tersebut agar selain mencegah banjir, juga sebagai cadangan air.
Sebagaimana gambaran di atas, masyarakat di dua kecamatan itu berada di dataran rendah (sekitar 5 meter dpl), kawasannya datar, dikepung beberapa sungai, sehingga rawan diterjang banjir bandang. Sedangkan di musim kemarau senantiasa dilanda kekeringan. Pembangunan embung dan irigasi diharapkan bisa mengurangi dampak banjir sekaligus mengalirkan air dari sungai-sungai yang ada ketika kemarau. Dengan begitu tanaman pangan masyarakat tidak kekeringan di musim kemarau dan kebanjiran/tergenang air di musim hujan.
Pernah ada rencana proyek besar di kawasan tersebut berasal dari bantuan JICA (Japan International Coorporation Agency) sekitar tahun 2001 atau 2002. Proyek tersebut rencananya akan mencetak sawah baru seluas kurang lebih 36 ribu hektare, lengkap dengan sarana irigasi. Seingat Penulis, ketika itu ada rencana relokasi masyarakat yang bermukim dalam area terkena proyek, tetapi ada penolakan lantaran perbedaan pandangan mengenai besaran ganti rugi. Pun sebagian masyarakat enggan direlokasi karena telah memiliki kebun kelapa yang telah berproduksi.
Entah sampai di mana kabar proyek bernilai milyaran rupiah tersebut.. (*)
KETERANGAN GAMBAR: Cara membuat putak atau sagu dari pohon gewang (ilustrasi: eddy mesakh)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H