Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Find Angeline-Bali's Killed Child

24 Juni 2015   01:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:55 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MISTERIUS dan sangat mengundang perhatian serta rasa ingin tahu masyarakat. Begitulah ‘drama’ tentang kematian gadis cilik delapan tahun. Di Pulau Dewata nyawa Engeline, gadis cilik itu, dirampas. Direnggut paksa dari tubuh mungilnya yang kurus kering. Kita terhenyak, tak habis pikir.

Suatu hari nanti kisah ini akan difilmkan, seperti kematian Arie Hanggara 31 tahun silam (1984) di Jakarta, yang difilmkan setahun kemudian. Cukup menggemparkan Indonesia. Itulah pertama kali dalam hidup saya menonton film di bioskop. Saya masih duduk di bangku sekolah dasar dan sama sekali tak tahu ada peristiwa seorang bocah lelaki berusia delapan tahun tewas mengenaskan di tangan orangtuanya.

Hidup di kampung (waktu itu sekolah kami di wilayah yang terhitung kampung), teknologi informasi belum seperti sekarang, televisi pun tak punya, sehingga saya mengetahui kisah itu dari cerita guru di kelas. Dinas Pendidikan tingkat Kecamatan Kupang Tengah pun mewajibkan murid-murid SD, termasuk kami, menyaksikan film itu di Kupang Theatre, satu di antara dua bioskop yang ada di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, saat itu. Umumnya kami menangis menyaksikan seorang bocah laki-laki disiksa sampai mati.

31 Tahun kemudian, kisah nyaris serupa terjadi lagi. Kita belum tahu akhir kisah Engeline. Siapa sebenarnya pembunuh gadis cilik ini, adakah aktor intelektualnya, mengapa dia (harus) dibunuh, apa motifnya? Seperti Arie Hanggara, kematian tragis Engeline menarik perhatian masyarakat luas. Apalagi didukung masifnya perangkat teknologi informasi dalam genggaman dan hadirnya media sosial menghubungkan jutaan manusia tanpa batas. Banyak sumber informasi membantu kita mengikuti setiap perkembangan kasus ini.

16 Mei 2015. Sementara tubuh bocah malang itu tertekuk sambil memeluk boneka kesayangannya dalam bungkusan sprei, terkubur di dekat kandang ayam yang busuk, orang-orang terdekatnya membuat pengumuman dan melapor kepada polisi bahwa Engeline hilang! Menurut ibu angkat dan kakak-kakak angkat korban, mungkin dia diculik.

Melalui media sosial mereka mengumumkan kepada seluruh dunia. Siapa saja, termasuk saya dan Anda, jika menemukan gadis malang itu, tolong diantar pulang atau melapor kepada kepolisian. Hampir sebulan lamanya, tak seorangpun di luar sana memberi kabar gembira kepada keluarga Margret Megawe dan kedua putrinya mengenai keberadaan Engeline. Di mana gerangan bocah kesayangan Margret, Yvone, dan Christina? Ternyata, pada 10 Juni 2015, jasad Engeline ditemukan terkubur dan membusuk di belakang rumah mereka sendiri. Diduga diculik, ternyata dibunuh secara keji!

Sekarang kita tahu, tampaknya ibu angkat dan saudara-saudara angkat Engeline ‘salah’ menggunakan nama pada grup FB tersebut. Seharusnya “Find Angeline-Bali's Killed Child” bukan “Find Angeline-Bali's Missing Child”.

Ini film atau nyata?

Film Arie Hanggara diadopsi dari kisah nyata. Kematian tragis Arie Hanggara sangat jelas. Peristiwanya sangat ‘telanjang’. Tak sulit bagi kepolisian mengusut kasus itu untuk memastikan siapa pembunuh bocah malang itu dan mengapa dia sampai terbunuh.

Engeline? Tak mudah mengungkap pembunuh gadis ini. Mabes Polri harus ikut turun tangan mengusut, dua orang menteri ikut turun ke lokasi, banyak aktivis terlibat, menampilkan para pengacara kondang, dan masyarakat gregetan mendesak pengungkapan kasus ini secepatnya.

Tanpa perlu didramatisir, kisah hidup Engeline sampai nyawanya dicabut paksa, sangat memenuhi syarat untuk difilmkan. Telah memiliki "skenario". Komplit! Akting para pelakon sangat sempurna mengaduk-aduk emosi publik. Kita marah, memaki-maki, melontarkan kutukan. Kisah pilu Engeline membuat kita sulit membedakan dunia nyata dengan film/sinetron. Kalau biasanya film/sinetron mengadopsi kehidupan nyata kemudian didramatisir, kini mulai tampak terbalik; kehidupan nyata sedang meniru drama dari film/sinetron.

Naik turun kisah hidup hingga kematiannya lebih dramatis dibanding film ataupun sinetron. Hanya berstatus anak angkat tiga hari setelah dilahirkan. Orangtua kandung yang hanya seorang pembantu rumah tangga terpaksa menyerahkannya lantaran tak mampu membayar biaya persalinan. Sempat menikmati kasih sayang yang singkat – terlihat melalui foto-foto yang disebarkan keluarga angkatnya.

Setelah dikabarkan hilang, jasadnya ditemukan, kita baru tahu Engeline hidup dalam penderitaan. Dipaksa berjalan kaki ke sekolah enam kilometer sehari, dipaksa bekerja, disiksa secara fisik, dipukuli, dan tidak diberi makanan yang layak, lapar sehingga terpaksa melahap kue sesajen di Pura dekat rumahnya. Lalu.... dibunuh!

Hukum menuntut bukti kuat dan sahih, tapi kita mampu merasakan drama telah dimainkan oleh orang-orang di sekeliling kasus ini. Ada pengakuan sosok yang telah ditetapkan tersangka tapi diragukan, pengakuan dan keterangan tersangka selalu berubah-ubah. Ada bantahan meragukan dari orang-orang dekat korban, ada tangisan pura-pura dan airmata buaya, sampai pernyataan ragu-ragu dari para praktisi dan penegak hukum.

Faktanya Engeline meninggal secara tragis oleh perbuatan sadistis orang dewasa. Jasadnya dilempar ke dalam lubang seperti mengubur bangkai binatang. Mereka membantah tetapi ‘para’ saksi bisu berupa bukti-bukti forensik tak bisa berbohong. Banyak memar, bekas jeratan tali pada leher, sundutan rokok, luka di sekujur tubuh kerempengnya, dan bercak darah tercecer di tempat kejadian perkara. Sampai sekarang belum jelas betul siapa sebenarnya pembunuh gadis cilik ini. Kita belum menemukan jawaban tepat untuk beberapa pertanyaan pada alinea keempat di atas.

Kasus ini masih bergulir. Tapi seperti halnya kematian Arie Hanggara, kematian Engeline sekali lagi menjadi momentum bagi negara ini untuk tidak abai terhadap hak-hak anak dengan melahirkan instrument hukum yang lebih protektif terhadap para calon penerus bangsa. Kita sadar bahwa ternyata ada jutaan anak Indonesia hidup dalam kerentanan akibat perilaku menyimpang orang dewasa, bahkan orang-orang terdekat jutaan anak itu. (*)

Keterangan Foto: Mendiang Angeline (Engeline) semasa hidup bersama Margriet Megawe, ibu angkatnya (Sumber: facebook)

ARTIKEL TERKAIT: Catatan Kontras Kornelis Langu dan Agustinus Tai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun