[caption id="attachment_356736" align="alignnone" width="560" caption="Ilustrasi (Foto: Eddy Mesakh)"][/caption]
JALAN pintas merupakan upaya atau cara kita untuk mencapai tujuan lebih cepat. Dalam banyak aspek, kita cenderung mengambil jalan pintas karena berbagai alasan, antara lain karena lebih efektif dan efisien. Murah!
Dengan akalnya atau kemampuan rekayasa yang dimiliki otaknya, manusia senantiasa mencari cara termudah dan termurah untuk mencapai sebuah tujuan, dan kalau perlu mencapai banyak tujuan sekaligus hanya melalui satu cara/langkah. Seperti kata pepatah, sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui.
Salah? Tentu saja tidak! Kalau ada (cara) yang lebih cepat, kenapa harus pilih yang lambat? Prinsip ini sangat dianjurkan dan berlaku dalam berbagai aspek kehidupan; secara individu maupun organisatoris. Sebuah perusahaan, misalnya, senantiasa mencari cara termudah dan termurah dalam proses produksi agar profit semakin besar dibanding keluaran. Sayangnya logika ini juga digunakan untuk mencapai tujuan secara tercela. Seperti para koruptor menempuh cara pintas untuk memenuhi hasrat menjadi kaya dengan menggerogoti uang rakyat tanpa peduli dampak buruknya terhadap khalayak.
Frustrasi massal
Dampak yang ditimbulkan tidak terlalu besar seandainya tindakan koruptif dilakukan secara perorangan. Tetapi di Indonesia, korupsi telah berlangsung secara terstruktur, sistematis, dan masif. Contoh paling aktual adalah situasi peradilan belakangan ini. Ada hakim membatalkan status tersangka kasus dugaan korupsi melalui praperadilan, tak lama berselang ada hakim lainnya menolak praperadilan tersangka korupsi. Bayangkan, dua hakim dengan landasan perundangan yang sama bisa membuat putusan bertolak belakang. Ini menandakan kalangan elite kita telah memanfaatkan hukum untuk bersembunyi dari perbuatan tercelanya.
Lihat saja, ada keinginan kuat memberi Rp 1 triliun per Parpol dari APBN, upaya keras memberi remisi bagi para koruptor, kakek-nenek renta tak berdaya diseret ke pengadilan, orang kreatif ditangkap aparat negara, dan banyak lagi tindakan hukum tanpa menimbang nilai kemanusiaan dan rasa keadilan publik. Hanya orang gila benaran yang tidak frustrasi menyaksikan hal-hal semacam itu terjadi di depan matanya.
Dampaknya tidak hanya secara ekonomi melainkan telah menimbulkan rasa frustrasi massal. Penulis tak ragu-ragu menarik kesimpulan bahwa hampir sebagian besar rakyat Indonesia telah putus asa, kehilangan harapan, akibat perilaku korup para pemimpinnya. Sempat ada harapan ketika arus reformasi 1998 mampu menumbangkan rezim Orde Baru. Sungguh disayangkan, korupsi justru membabi-buta di era reformasi. Para bandit berdasi tersebar merata di berbagai lingkup dan level eksekutif, masuk dalam jajaran elite partai politik, dan menggenggam lembaga yudikatif. Maka pupuslah harapan yang baru bersemi diganti frustrasi massal yang lebih parah!
Fenomena tersebut terbaca melalui sikap publik yang semakin cuek, tidak peduli pada situasi yang dihadapi bangsanya. Misalnya dia tahu si A korupsi tapi tak peduli, mengambil sikap EGP; emang gue pikirin? Ada kerinduan kembali ke era Orde Baru. Lebih jauh lagi, sebagian orang memandang korupsi sebagai hal biasa, wajar! Malah ada yang “mendukung” asal ada imbalannya. Jadi tak usah heran manakala ada satu kelompok menggelar demonstrasi menentang para koruptor harus berhadap-hadapan dengan kelompok demonstran lain yang mendukung para koruptor itu. Atau ketika Pemilu/Pilkada, ada kelompok pemilih cerdas yang menghendaki pemimpin bersih, kelompok lainnya tak peduli siapa yang dia pilih asalkan “wani piro”.
Jangan-jangan meledaknya demam batu akik akhir-akhir ini adalah wujud pelarian orang-orang yang putus asa itu tadi. Ya, daripada capek-capek kerja banting tulang, jungkir balik sampai nungging-nungging tapi tanpa kepastian, lebih baik mencari peruntungan melalui batu akik. Bayangkan, ada batu akik yang mencapai harga miliaran rupiah. Bukankah ini juga jalan pintas/instan meraih kemakmuran?
Saatnya melawan
Di antara mayoritas publik yang sudah putus asa, masih ada satu-dua sosok “pembangkang” berani melawan, sebut saja Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Sosok-sosok pembangkang seperti ini sudah muak terhadap perilaku busuk kalangan elite tak tahu malu. Penulis sangat-sangat berharap rakyat negeri ini bangkit serentak melakukan perlawanan. Mengambil sikap masa bodoh terhadap mereka yang mengaku wakil rakyat padahal cuma utusan elite penguasa Parpol.
Perlawanan publik jangan lagi melalui cara-cara biasa seperti aksi massa (demonstrasi) yang hanya terlihat heboh di halaman media massa. Kalau perlu rakyat bersatu memboikot Pemilu/Pilkada jika calon-calon yang muncul adalah utusan Parpol berisi kaum korup. Publik perlu (malah harus) bertindak mengajukan sosok-sosok pembangkang sebagai calon-calon independen untuk menguasai jabatan-jabatan kepala daerah di seluruh Indonesia.
Momentumnya segera datang, yakni adanya Pilkada serentak. Sangat menarik apabila di seluruh daerah mengajukan calon-calon independen yang murni usulan rakyat. Sementara rakyat juga perlu membentuk semacam konsorsium yang bertugas menyusun poin-poin kesepakatan dengan para calon independen dan berlaku secara nasional. Apabila satu butir saja dari sekian poin kesepakatan itu diabaikan, maka si calon independen harus mundur tanpa syarat!
Ini hanya sebuah ide konyol yang lahir dari rasa frustrasi. Sudah saatnya kita akhiri frustrasi massal terhadap para koruptor! Atau Anda punya ide lebih menarik? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H