[caption id="attachment_317625" align="alignleft" width="300" caption="DR Ing Jonatan A Lassa, MSc (foto:Eddy Mesakh)"][/caption]
BIROKRASI predator atau birokrasi lintah di tempat basah. Sama-sama bahaya bagi kesejahteraan rakyat di negeri ini. Merupakan analogi menggelitik tentang birokrasi korup yang dilontarkan oleh DR Ing Jonatan A Lassa, MSc, cendekiawan muda Indonesia yang kini menjadi peneliti di S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Nanyang Technological University (NTU) Singapura.
Dia menyorot tajam praktik birokrasi koruptif yang secara nyata telah melemahkan daya saing Indonesia yang dalam beberapa hari ke depan akan merayakan Hari Kemerdekaan ke-69. Hampir tujuh puluh tahun merdeka, tetapi negeri kita masih merangkak seperti siput. Kita kalah jauh dibanding Singapura yang penduduknya cuma sekitar lima jutaan dan praktis baru 49 tahun ‘merdeka’ (1965 berpisah dari Malaysia).
Daya saing kita lemah karena birokrasinya mandeg, bertele-tele, bahkan ‘membunuh’. “Mandegnya birokrasi berimplikasi serius, yakni meninggalnya anak-anak dan ibu-ibu serta pasien karena keterlambatan layanan. Korupsi di sektor birokrasi pendidikan membuat negara tidak memiliki kemampuan produksi yang memadai karena hilangnya kemampuan berkompetisi. Di sektor ekonomi akan terjadi perlambatan karena urusan-urusan birokrasi yang bertele-tele dan sangat high cost,” papar alumni Harvard University itu kepada penulis melalui layanan sosial media, Minggu (3/8/2014).
DR Jonatan menyesalkan perilaku kalangan birokrat tertentu yang justru menjadi predator mematikan. “Semua proses dalam sektor pertanian, perikanan, perindustrian, hingga soal agama terbiasa transaksi berbiaya tinggi. Hal ini sempat kita lihat di era otoriter Soeharto. Ibarat leukimia (kanker darah), mandegnya birokrasi memudahkan munculnya birokrasi predator yang dapat 'memakan' rakyatnya sendiri,” ujar peraih PhD bidang Disaster Governance Research di University of Bonn, Jerman (2011) ini.
Lebih jauh, cendekiawan muda asal NTT yang oleh berbagai kalangan digadang-gadang mengisi pos Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) ini mengatakan, “Kritik dalam bentuk analogi yang lain, birokrasi dapat dengan mudah menjadi lintah ketika hidup di tempat-tempat 'basah'.
Dia mengusulkan kepada presiden terpilih Ir Joko “Jokowi” Widodo bila ingin mewujudkan Indonesia Hebat melalui tagline “Revolusi Mental”, agar terlebih dahulu melakukan reformasi birokrasi dan itu sebaiknya dimulai dari jajaran menteri yang akan membantunya, kelak. Menurut DR Jonatan, Jokowi sendiri sudah berpengalaman berhadapan dengan birokrat ‘karatan’ yang mengakibatkan mandegnya birokasi layanan publik di DKI Jakarta.
Sebenarnya ada banyak birokrat baik, namun tidak sedikit di antaranya belum memahami hakekat birokrasi itu sendiri. “Ini mirip kita percaya Tuhan tapi belum tentu paham theologinya,” kata DR Jonatan, lagi-lagi melalui analogi.
Revolusi mental
Menurut DR Jonatan, Jokowi dengan metode blusukannya tentu memerlukan dukungan para menteri yang paham secara detail soal konsep dan praktik birokrasi yang sehat. “Birokrasi bukan hal yang mudah untuk diselesaikan. Bila Anda idealis dan telah menjadi bagian dari sistem birokrasi Indonesia dalam 30-40 tahun terakhir, maka lebih banyak pesimistis. Bagi saya pribadi, meneliti soal perilaku dan paradigma birokrasi dalam konteks normal maupun konteks bencana, memberikan tambahan motivasi untuk bereksperimen terkait perubahan sistem yang dimulai dari membangun discourse soal reformasi birokrasi yang diikuti secara paralel dengan penciptaan (dis)incentive, kapasitas, keberanian kepemimpinan serta peran serta masyarakat dan media demi Indonesia Hebat,” jelasnya.
Dia menekankan bahwa birokrasi penting dan diperlukan. Salah satu upaya perubahan sosial ekonomi yang membawa kesejahteraan mensyaratkan munculnya kanal-kanal kelembagaan seperti birokrasi yang tidak tersendat. Birokrasi adalah urat nadi terstruktur dalam membangun negara yang menyejahterakan rakyat. Reformasi yang sejati tidak bisa melupakan reformasi birokrasi karena birokrasi terlibat dalam formulasi, implementasi, dan memastikan terdistribusinya layanan kesejahteraan pada rakyat.
“Namun, dalam Global Governance Survey Project satu dekade silam, ditemukan bahwa dalam reformasi tatakelola governance reform, birokrasi adalah elemen yang paling sulit diubah dibanding variabel lainnya seperti membangun reformasi masyarakat sipil, politik, ekonomi, sosial dan hukum. Di tahun 1980-an, Bank Dunia mencoba membangun sistem formal di negara-negara berkembang. Motivasi di balik gerakan tersebut sering dikenal dengan nama deregulasi. Deregulasi bermakna 'modernisasi' mesin birokrasi negara. Refleksi-refleksi studi institutional menemukan bahwa 'modernisasi' mesin birokrasi begitu sulit tercapai,” ujarnya.
Kata Dr Jonatan, di tingkat diagnosa, ilmuwan sosial sudah banyak membahas soal teori dan konsep birokrasi di Asia, termasuk di Indonesia. Dalam konteks reformasi birokrasi kontemporer Indonesia, operasionalisasinya jarang dibahas dengan melibatkan publik.
“Saya mencoba menjelaskan beberapa observasi terbatas terkait birokrasi Indonesia. Perlu klarifikasi bahwa pengalaman meneliti birokrasi di Indonesia dimulai ketika saya mencoba meneliti soal birokrasi pengelolaan bencana. Untuk memahami perilaku birokrasi dalam situasi bencana, maka Anda perlu memahami perilaku dan sistem birokrasi sebelum terjadi kejadian darurat. Karena itu, mereka yang studi birokrasi bencana biasanya bergerak satu langkah lebih maju karena dia mencoba memahami perilaku rasional dan rasionalitas birokrasi dalam situasi 'normal' maupun ekstrem/chaos,”papar pria
Reformasi birokrasi
Keterkaitan antara reformasi birokrasi dengan revolusi mental ala Jokowi, dalam pandangan DR Jonatan, hanya bisa efektif bila terjadi perubahan mental di tingkat Negara dan pemerintah (governmentalitas). “Sebab, prinsip ‘demokrasi’ sebagai mendengarkan suara rakyat dan menjalankankannya menempatkan rakyat sebagai yang dilayani. Komitmen ini menuntut etika pemimpin yang tinggi yang tidak dipasung oleh kepentingan-kepentingan koalisi partisan yang korup dan bermasalah,”tegasnya.
Arti revolusi mental ala Jokowi itu sendiri, menurut DR Jonatan, adalah geist, yang dalam bahasa Jerman berarti mental, roh, jiwa, dan pikiran dalam orde yang lebih tinggi (mind). “Dia tidak terlihat indra penglihatan dasar (mata), karena merupakan sebuah imaginasi dan pikiran kolektif yang tidak disadari. Revolusi sendiri adalah sebuah tuntutan perubahan dalam kecepatan yang lebih tinggi dari sekadar perubahan kehendak status quo,” jelasnya, dan menambahkan, revolusi geist menuntut cara baru dalam melihat masalah-masalah lama dan terus-menerus darurat – selama hampir 70 tahun kemerdekaan - tidak mampu diselesaikan karena Indonesia darurat korupsi dan nepotisme.
Menurutnya, dalam konteks Indonesia hari ini, terobosan konsep dan operasional yang terasa terkait reformasi birokrasi di Indonesia dapat dilihat dalam tiga konteks reformasi birokrasi. Konteks pertama adalah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB). Kedua adalah contoh reformasi birokrasi era Sri Mulyani di Kementrian Keuangan yang banyak dinilai berhasil. Ketiga adalah contoh 'reformasi' birokrasi ala Jokowi-Ahok.
Dalam kasus 'reformasi birokrasi' ala Jokowi-Ahok, kata DR Jonatan, secara konsep mereka mempromosikan prinsip-prinsip akuntabilitas, perekrutan, dan promosi jabatan secara terbuka, serta prinsip meritoktasi dalam jabatan. Yang membedakan secara mencolok adalah mereka melibatkan masyarakat dalam evaluasi posisi-posisi seperti camat. Ini sesuai poin pertama konsep dan operasionalisasi reformasi birokrasi oleh Kemenpan RB yang didukung Deutsche Gesellschaft fuer Internationale Zusammenarbeit (GIZ) tahun 2013, yakni standardisasi pelayanan publik berbasis pelibatan masyarakat. “Dukungan dan kontrol media serta pengawasan melekat konsisten ala blusukan merupakan bagian dari upaya perbaikan sistem birokrasi,” ujarnya.
Dia mencontohkan, “Bila Anda mencermati bagaimana Ahok membuat 'perang terbuka' dan seolah-olah tidak mampu melokalisir masalah kinerja birokrasi - seperti butuh lebih dari sembilan bulan untuk menyelesaikan izin sumbangan bus Transjakarta dari pihak swasta - belum tentu Anda melihat masalah yang sebenarnya. Birokrasi telah menjadi sebuah tatanan tersendiri yang masalahnya tidak gampang diselesaikan oleh pimpinan eksekutif yang berparadigma reformasi. Karena itu, Anda tidak perlu kaget kalau banyak pimpinan daerah yang berasal dari LSM maupun swasta setelah reformasi tahun 1998 sering gagal dalam memimpin karena mereka tidak cukup efektif maupun tidak cukup inovatif dalam menciptakan birokrasi yang efektif, efisien serta memiliki legitimasi.”
Melibatkan publik
Bila dicermati, baik dari tataran konsep maupun praktik yang sukses, menurut DR Jonatan, reformasi birokrasi bisa terjadi atas empat hal mendasar yang harus berjalan paralel: yakni insentif, sistem promosi berbasis meritokrasi dengan rules of the game yang adil namun inklusif, peningkatan kapasitas birokrat secara sistematis, mendorong praktik-praktik sukses agar diperluas wilayah cakupannya. Penting untuk menciptakan disinsentif dengan berbagai cara bagi birokrat yang tidak memiliki kinerja layanan publik yang memadai.
“Yang juga tidak kalah penting adalah melibatkan publik, baik masyarakat dan media, serta penggunaan teknologi dan media sosial untuk membangun kontrol layanan birokrasi yang memadai. Peran media juga bukan sekadar mengontrol tetapi menjadi alat vital dalam membangun wacana tentang birokrasi yang ideal dan yang seharusnya tanpa lelah,” jelasnya.
Dia menambahkan bahwa membayangkan perubahan drastis dalam skala masif dalam waktu singkat mungkin tidak adil bagi Jokowi-JK. “Yang pasti, di tingkat kementerian, menteri-menteri harus memahami soal bagaimana mereformasi birokrasi di lingkungan kementriannya sambil berperan secara bertahap dalam membangun reformasi birokrasi dalam skala yang lebih masif dan merata,” pungkas DR Jonatan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H