[caption id="attachment_322893" align="aligncenter" width="417" caption="Ilustrasi (eddy mesakh/katamu.com)"][/caption]
TIGA menteri aktif dalam pemerintahan SBY-Boediono tersangkut kasus korupsi. Satu sudah divonis empat tahun penjara dan dua lagi masih berstatus tersangka. Ini pengalaman amat berharga bagi Jokowi-JK dalam memilih menteri-menteri yang akan membantu mereka, kelak.
Mumpung pemilihan para menteri sedang berproses, sehingga sebagai pendukung Jokowi-JK saat Pilpres, alangkah baiknya kita mengingatkan mereka untuk lebih berhati-hati dalam memilih. Peringatan dini amat penting, sebab, bukan tak mungkin sosok yang kini tampak bersih kemilau dan berdedikasi tinggi ternyata calon maling potensial.
Pertama, di antara kita pasti ada yang mengenal para kandidat yang namanya santer disebut sebagai calon kuat menteri. Juga yang namanya selalu muncul dalam polling menteri oleh berbagai situs berita. Kita bisa memberikan informasi kepada Jokowi-JK bahwa jejak si A atau si B tidak bersih sehingga tidak layak masuk pemerintahan. Tak hanya terkait kasus korupsi, tetapi juga kasus hukum yang lain dalam jejak kehidupannya di masa lampau
Bisa saja kita menyampaikan pandangan kita mengenai gaya hidup mereka yang bermewah-mewah dan terlihat kurang sesuai dengan profil profesinya. Lagipula, biasanya orang yang sudah terbiasa hidup sederhana kemungkinan besar lebih tahan terhadap godaan untuk melakukan korupsi. Apalagi gaji para menteri (saat ini) terbilang kecil, hanya Rp 19 juta per bulan. Selain itu, bisa juga memberikan informasi mengenai lingkungan pergaulan para calon menteri itu, hingga siapa dan bagaimana kehidupan istrinya. Profil si istri tak bisa diabaikan, mengingat ada pejabat yang tergelincir kasus korupsi karena pengaruh istrinya.
Kedua, Jokowi sendiri pernah berjanji akan melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menyeleksi para calon pembantunya. Maka kita harus mendorong Jokowi agar konsisten pada janjinya, kendati memiliki hak prerogatif dalam memilih menteri.
PPATK memiliki catatan transaksi keuangan banyak pihak. Sebagaimana Pasal 40 UU No. 8 Tahun 2010, tugas PPATK di antaranya analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain (predicate crimes).
Ketiga, kita juga punya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada baiknya Jokowi juga meminta bantuan dan pasokan informasi mengenai para calon menteri dari KPK. Atau seperti disampaikan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, bahwa KPK bisa menyiapkan tim untuk membantu Jokowi.
Keempat, akan lebih bagus jika Jokowi-JK juga meminta masukan publik, setidaknya dari lembaga-lembaga anti-korupsi seperti Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), atau lembaga lainnya yang dianggap kredibel.
Melibatkan banyak pihak di sini bukan berarti hendak menggerogoti hak prerogatif presiden dalam memilih para menteri, tetapi agar pemerintahan mendatang benar-benar dibangun oleh manusia-manusia berintegritas tinggi dan semata-mata ingin duduk sebagai menteri untuk kepentingan rakyat.
Memang, tidak ada manusia suci layaknya malaikat di dunia ini. Tapi melalui seleksi ketat, maka harapan publik untuk memperoleh pemerintahan yang professional dan bersih dari korupsi lebih bisa terwujud. Dan inilah alasan mayoritas rakyat lebih memilih Jokowi-JK dibanding calon lain dalam Pilpres 9 Juli lalu. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H