Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ini Dia Rupa Politisi Sialan Itu!

7 Oktober 2014   18:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:02 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_327783" align="aligncenter" width="357" caption="Politisi (http://bellscorners.files.wordpress.com)"][/caption]

KITA memilih si politisi dari kampung kita, mengirim dia sebagai wakil rakyat ke kursi parlemen. Perlahan dia mengumpulkan modal; uang maupun sosial, kemudian bertumbuh dan berkembang menjadi politisi kawakan. Akhirnya dia menjadi elite politik di pentas nasional. Wah, luar biasa!

Kita bangga luar biasa. Apalagi bila kita juga pernah dekat dan mengenal sosok itu secara personal. Entah dia senior kita, teman sekolah/kuliah, sekampung/sekota, bahkan tetangga dekat kita. Kepadanya kita serahkan penuh kepercayaan untuk memperjuangkan aspirasi. Kita tidak memaksa, hanya menaruh harapan lebih besar kepadanya lantaran kenal dekat.

Politisi harapan kita itu kini berada nun jauh di sana. Dia berkumpul dan bergaul dengan sesama elite politik. Kenalannya mulai dari petinggi partai politik, pejabat penting eksekutif level pusat, para pengusaha terkenal dan berkantong tebal, sampai artis papan atas. Kita tetap bangga melihatnya karena ada peran kecil kita dalam kesuksesan sang politisi.

Bila sesekali “turun” menghampiri, hati kita membuncah manakala bisa berjabat tangan dengannya, berbincang akrab, dan selalu berada di dekatnya. Meski kali ini ketika duduk, berdiri, dan berjalan, posisi kita ada di belakangnya, bukan di samping seperti dahulu. Posisi kita tempo hari sudah diisi kawan-kawan dari pusat dan pejabat-pejabat di daerah. Tak apa, kita tak mempersoalkan. Kita sadari levelnya sebagai elite politik. Hmmm...

Perlahan kita menyadari kalau antara kita dan dia kini terbentang jarak; ada sesuatu yang membatasi. Kemudian dahi kita mulai berkerut menyaksikan sepakterjang utusan pujaan hati itu di ruang-ruang sidang Senayan. Suara-suara kita dari daerah tak lagi terdengar melalui mulutnya. Politisi utusan kita kian sering ‘bermain’ di ruang-ruang sempit. Bersama sesama elite mereka menyusun rencana-rencana “strategis”. Mereka rajin bersekongkol mengolah akal bulus menjadi masuk akal.  Rupanya kita sudah diakalinya. Duh!

Hati kita mulai panas. Tidak lagi mempercayai politisi yang kini sialan itu. Kita berjanji kelak tak akan memilihnya lagi. Sayang, kita tak sanggup lagi menghambat ‘orang besar itu’. Dengan kantong tebalnya dia bisa membeli suara ‘rakyat yang lain’ untuk kembali melenggang ke Senayan. Lalu kita mengalihkan pilihan dan berjuang lagi untuk sosok lain yang lebih baik. Sialan! Aktor baik ini mengulang cerita yang sama... (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun