Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menangkap Ikan Sial dan Hendak Bunuh Diri

30 Oktober 2014   00:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:14 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_331930" align="alignnone" width="580" caption="Ilustrasi nelayan tradisional (sumber:kfk.kompas.com)"][/caption]

“JANGAN sampai laut kita yang besarnya 70 persen atau lima kali besar laut kita dari Thailand dan beribu-ribu kali dengan Malaysia, tetapi angka ekspor kita kalah jauh dibandingkan Malaysia dan Thailand. Ini jadi target kita semua. Jadi, kita siap bekerja siang malam? Insya Allah saya ingin kita terus bekerja keras. Suasana Susi Air dua tahun ini kerjanya bagus, saya yakin staf di KKP juga akan memberikan lingkungan yang sama kepada saya.

Itu penggalan kalimat dari dua alinea terakhir pidato Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) di hadapan hadirin saat serah terima jabatan dari menteri sebelumnya, Sharief Cecep Sutardjo. Penutup pidato itu mengandung tantangan, doa minta pertolongan Tuhan, dan meminta dukungan seluruh staf KKP untuk memberikan semua kemampuan terbaiknya, sebagaimana yang pernah Susi dapatkan dari para karyawannya di maskapai penerbangan Susi Air. Tentu semua itu untuk mendorong sektor kelautan dan perikanan Indonesia agar mengalami kemajuan pesat sebagaimana keberhasilan Susi bersama perusahaannya. (Ini pidato lengkapnya)

Luar biasa! Menteri Susi yang cuma berijazah SMP itu berpidato tanpa teks, bahasanya mengalir, dan terlihat menguasai persoalan kelautan dan perikanan yang sedang dihadapi bangsa kita. Tapi bukan pidato itu yang hendak dibahas di sini. Saya hanya ingin berbagi cerita mengenai kondisi dan kehidupan nelayan tradisional. Bukan soal nelayan di seluruh Indonesia, ini khusus nelayan tradisional di kampung halaman saya yang saya tahu persis (bahkan pernah mengalami sendiri) seperti apa kondisi dan penghidupan mereka.

Kami tinggal di pesisir Pantai Lasiana, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebagai anak pantai, sejak kecil kami hidup sebagai keluarga nelayan. Sebenarnya Ayah saya seorang guru negeri (PNS), tetapi menggantungkan seluruh kebutuhan dari gaji seorang guru PNS di zaman Orde Baru tentu tak mudah. Beruntung kami tinggal di pesisir pantai, sehingga kami bisa menikmati anugerah Tuhan yang ‘ditaruh’ di laut.

Kami dilatih sejak kecil untuk akrab dengan laut. Setelah cukup besar, saat memasuki kelas satu SMA, saya telah menjadi seorang nelayan hingga menyelesaikan kuliah. Hanya sebagai nelayan tradisional karena memang kami cuma mampu memiliki alat tangkap tradisional. Tidak ada perahu bermesin, tidak ada pukat harimau (trawl), tidak ada pukat lampara (lampara nett/mini trawl), apalagi teknologi pelacak ikan yang banyak digunakan nelayan-nelayan modern hari-hari ini. Alat tangkap yang kami dan semua nelayan tradisional di kampung kami gunakan adalah bagan tancap, pukat biasa (gill nett), dan alat pancing sederhana. Hampir semuanya hanya menggunakan sampan kecil dan harus mendayung berkilo-kilo meter setiap kali melaut.

Mengandalkan peralatan sederhana seperti itu, tentu kami tak mampu menangkap ikan sebanyak nelayan lain yang menggunakan peralatan lebih modern. Hasil tangkapan kami pun tergantung ‘nasib baik’ sekaligus ‘nasib buruk’ ikan yang tertangkap. Pasalnya semua alat tangkap yang kami operasikan bersifat pasif, alias hanya menunggu ikannya datang. Jadi, benar-benar hasil tangkapan kami semalaman sangat bergantung pada berapa banyak ikan yang malam itu sedang sial atau memang hendak ‘bunuh diri’.

Dari tahun ke tahun hasil tangkapan kami terus menurun. Bahkan hingga hari ini, hasil tangkapan para nelayan di kampung kami terus menurun. Ketika saya masih kecil, tahun 1980-an hingga awal 1990-an, hasil tangkapan orangtua kami masih lumayan. Kalau mengenang kembali ke masa itu, kami biasa berseloroh bahwa ikan pada zaman itu memang masih bodoh dan banyak yang putus asa, makanya mudah tertangkap. Berbeda dengan ikan zaman sekarang yang sudah lebih pintar dan lebih menghargai hidupnya – tak mau mati sia-sia, apalagi bunuh diri.

Menurunnya hasil tangkapan tersebut karena beberapa sebab. Pertama, rusaknya ekosistem laut dan pesisir di sekitar situ. Hutan-hutan bakau sudah lenyap nyaris tak berbekas dan terumbu karang sudah hancur oleh berbagai sebab. Kedua, semakin banyak nelayan dengan kapal dan peralatan lebih modern, seperti mini trawl, beroperasi hingga area teluk yang menjadi daerah operasi nelayan tradisional. Ketiga, sebelum mencapai teluk, ikan-ikan sudah habis ditangkap oleh nelayan dengan peralatan modern, sehingga nelayan tradisional hanya memperoleh sisa-sisanya saja.

Dampaknya jelas, kehidupan para nelayan tradisional di kampung kami kian terpuruk. Tidak ada satu nelayan pun di kampung kami yang taraf hidupnya meningkat dari hasil laut. Para pemuda semakin tak tertarik menjadi nelayan karena memang pekerjaan itu sama sekali tidak menjanjikan mimpi apapun untuk masa depan mereka. Kebanyakan beralih ke darat, banyak di antaranya menjadi tukang ojek. Masih ada yang tetap beraktifitas sebagai nelayan, tetapi mulai bergeser pelan-pelan. Jika sebelumnya nelayan sebagai sumber penghidupan utama, kini berubah menjadi pekerjaan sampingan. Bagi yang memiliki aset seperti tanah, mereka beralih menjadi petani sayur, sementara lainnya memanfaatkan potensi wisata pantai Lasiana dengan berjualan kelapa muda dan jagung bakar.

Saya yakin, dalam sepuluh tahun ke depan, tidak ada lagi nelayan di kampung kami, meskipun mereka adalah warga pesisir. Jika pemerintah ingin memajukan sektor kelautan dan perikanan, khususnya bagi nelayan tradisional yang hidup di pesisir pantai, ada beberapa poin penting perlu dilakukan. Pertama, memperbaiki ekosistem pantai seperti penanaman kembali hutan bakau, termasuk melindungi mangrove yang masih tersisa dan memperbaiki terumbu karang yang rusak. Kedua, mengatur zona penangkapan antara nelayan tradisional dan nelayan berperalatan modern. Ketiga, meng-up grade peralatan nelayan tradisional dan memberikan pelatihan-pelatihan/keterampilan menggunakan alat tangkap yang lebih modern. Keempat, memberantas illegal fishing, baik penangkapan ikan menggunakan peralatan terlarang (trawl), maupun melindungi wilayah laut kita dari nelayan-nelayan negeri tetangga yang hampir setiap hari mencuri ikan di perairan kita.

Dicuri atau diberi?

Soal pencurian ikan oleh nelayan asing sudah dilontarkan Presiden Jokowi, baru-baru ini. Dikatakan bahwa pencurian ikan merugikan negara kita hingga Rp 300 triliun per tahun! Menteri Susi pun telah menyatakan akan memberantasnya. Langkah pertamanya adalah mendata semua kapal penangkap ikan yang beroperasi di perairan Indonesia, lengkap dengan nama pemiliknya. Ini merupakan langkah penting dan kami sangat mendukung.

Tapi sebenarnya saya tidak terlalu yakin kalau nelayan-nelayan asing itu mencuri ikan kita. Hemat saya, kita justru sengaja memberikan ikan-ikan itu kepada mereka. Faktanya, selama ini kapal-kapal nelayan dari Malaysia, Vietnam, dan Thailand terlalu leluasa menangkap ikan di perairan kita. Modusnya tak perlu lagi dijelaskan karena sebenarnya sudah dipahami oleh para petinggi kita di KKP.

Data yang dirilis KKP menyebutkan bahwa sudah ratusan kapal nelayan asing asal Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Filipina yang ditangkap pihaknya. Namun kami menduga lebih banyak yang tidak tertangkap karena menjalankan modus-modus tertentu, di antaranya kapal asing tapi berbendera Indonesia serta adanya kongkalikong dengan petugas yang mengawasi.

Saya pernah ngobrol dengan seorang anak buah kapal (ABK) yang bekerja pada sebuah kapal ikan di Batam. Dia bercerita bahwa dirinya bekerja pada kapal ikan asal Thailand tetapi berbendera Indonesia. Di atas kapal tersebut hanya ada tiga ABK orang Indonesia, termasuk dirinya. Sisanya adalah warga negara Thailand.

Menurut ABK itu, waktu operasi mereka di tengah laut antara satu hingga tiga bulan. Hasil tangkapan tidak semuanya dibawa ke dermaga perikanan di kawasan Barelang. Justru lebih banyak dipindahkan ke kapal yang lebih besar di tengah laut. Si ABK yakin kapal tersebut langsung membawa ikan-ikan itu ke luar wilayah Indonesia.

Itu menggambarkan lemahnya (dan keterbasan kemampuan) pengawasan wilayah laut kita, tetapi juga ada dugaan kongkalikong antara pihak pemilik kapal asing dengan saudara sebangsa kita yang diberi kepercayaan untuk mengawasi perairan laut milik bangsanya sendiri. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun