Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Aneh, Bupati Kok Kerja Advokasi!

15 November 2014   22:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:44 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="Cover buku "][/caption]

BIASANYA kantor para pejabat kita digeruduk massa demonstran untuk menuntut pemenuhan hak-hak mereka, menolak kebijakan tertentu, atau mendesak ini dan itu dari pemerintah. Ada juga cara lebih halus, yakni melalui tindakan advokasi sebagai upaya memperjuangkan isu tertentu dengan cara memengaruhi masyarakat luas dan para pejabat terkait agar menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat secara adil dan bijaksana. Umumnya tindakan advokasi dilakukan oleh orang-orang maupun lembaga swadaya masyarakat yang memiliki perhatian khusus terhadap isu-isu tertentu terkait kepentingan komunitas maupun masyarakat secara lebih luas.

Banyak isu pembangunan di Indonesia perlu diadvokasi. Di antaranya praktik pembangunan yang kurang memerhatikan desa-desa dan lebih terfokus mempercantik kota-kota. Secara aturan dan undang-undang, pada Januari 2014 pemerintah telah mengesahkan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam praktiknya, sejak lama pemerintahan desa-desa kurang mendapat kepercayaan dari level pemerintahan di atasnya. Desa seperti anak ayam kehilangan induk.

Hal menarik ketika muncul sosok birokrat yang malah tampil ke depan sebagai “pembela” desa. Sosok dimaksud, yakni DR Yansen Tipa Padan, Msi, yang tak lain Bupati Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Dia tidak berteriak-teriak sebagai demonstran, tidak berkoar-koar di media massa soal ketidakadilan terhadap desa, tidak juga menyusun poin-poin pembelaan untuk diajukan kepada pemangku kepentingan agar lebih memerhatikan masyarakat pedesaan. Yang dilakukannya adalah menulis sebuah buku berisi model pembangunan seperti apa yang sebaiknya dilakukan di desa dan dipraktikkan langsung di wilayah yang dia pimpin.

Lho, kok malah bupati yang membela desa? Bukankah sebagai pejabat negara seharusnya dialah yang didemo atau menjadi sasaran advokasi? Apakah bupati yang satu ini berjuang (mengadvokasi) rakyat sekaligus melawan dirinya sendiri?  Itulah keunggulan buku ini, karena ditulis oleh seorang birokrat sekaligus ilmuwan.

Ya, DR Yansen adalah penulis buku berjudul; Revolusi dari Desa - Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya pada Rakyat. Buku ini diterbitkan oleh Elex Media Komputindo – Kelompok Gramedia  (2014). Melalui buku ini, orang nomor satu di “Bumi Intimung” ini melontarkan gagasan baru mengenai konsep pembangunan desa yang dia sebut; “Gerakan Desa Membangun” atau GERDEMA. Tampaknya “tindakan advokasi” DR Yansen bakal lebih bertenaga menghasilkan perubahan yang diharapkan masyarakat pedesaan. Ide yang dilontarkan dalam buku ini seolah menjadi pembuka jalan atau semacam latihan bagi penerapan UU Desa yang baru lahir dua tahun setelah DR Yansen menerapkan Gerdema di Kabupaten Malinau.

Menggugat pembangunan

Buku ini ditulis oleh seorang birokrat sekaligus ilmuwan. Sebagai birokrat, Penulis yang telah 26 tahun berkutat di pemerintahan mulai dari Camat, Sekretaris Daerah, hingga menjadi Bupati, memiliki pemahaman lebih detail tentang birokrasi dan situasi masyarakat secara kontekstual. Di sisi lain, Penulis buku ini tidak terlepas dari sikap kritis sebagai seorang ilmuwan. Pertemuan dua karakter itu dalam satu sosok bernama DR Yansen, melahirkan sebuah karya tulis (buku) yang tidak saja aplikatif (operasional) tetapi juga mengandung kritik terhadap pelaksanaan pembangunan desa-desa di Indonesia yang berlaku selama ini.

Penulis langsung membuka tulisannya dengan kritik tajam! Dia langsung melontarkan kritik pada bagian pendahuluan dengan judul keras: “Menggugat Konsep Pembangunan”. Gugatan Penulis disampaikan cukup keras; “Berbagai konsep, model, dan strategi telah dijalankan oleh semua pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, maupun kota) sesuai dengan visi dan misinya masing-masing. Namun kondisi yang dihadapi tetaplah tidak mengalami perubahan yang signifikan; tingkat kesejahteraan sebagian besar masyarakat belum meningkat. Yang sering terjadi justru munculnya persoalan baru sebagai akibat dari kebijakan yang kurang konsisten dan tidak berkelanjutan. Persoalan itu tetap klasik dan silih berganti dihadapi oleh semua daerah. Misalnya persoalan kemiskinan, pengangguran, rendahnya kualitas sumber daya manusia, keterbatasan infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi semu”. (hal 3)

Pada halaman selanjutnya, Penulis menggugat konsep pembangunan yang dinilainya kurang tepat, lantaran proses pembangunan selalu menempatkan masyarakat berada di pihak yang lemah. Hal ini disebabkan oleh model dan strategi yang dijalankan pemerintah tidak mampu menyentuh aspek dasar. Tidak juga mampu mengakomodasi berbagai kekuatan yang ada di masyarakat. (hal 4).

Apa yang salah?

Kita tahu bersama bahwa konsep pembangunan desa sudah dipikirkan oleh Muhammad Hatta, sang Proklamator kita itu, sebelum Indonesia merdeka. Bung Hatta bilang, pembangunan perekonomian di desa harus diintensifkan, desa harus dimajukan dan dimodernisasi. Alasannya, posisi desa sangat vital sebagai penyedia kebutuhan pokok bagi kota sekaligus pasar bagi barang-barang yang diproduksi di kota. Bila desa miskin, masyarakat kota kehilangan pasar.

Ternyata, sampai era Reformasi ini, kota-kota semakin padat sebaliknya kian hari desa-desa semakin sepi ditinggal pergi para penghuninya. Desa lebih banyak berisi orang-orang tua karena kaum mudanya hijrah ke kota untuk meraih impian. Orang-orang muda merasa kota menjanjikan masa depan yang lebih baik dibanding berkutat di desa terpencil, hidup sebagai orang udik, dan terisolasi dari perkembangan dunia.

Data Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT)tahun 2013 menyebutkan bahwa dari 74 ribu desa di seluruh Indonesia, 32 ribu di antaranya masuk kategori desa tertinggal (miskin). Ada 57,5 juta penduduk hidup di desa-desa tersebut. Penulis sendiri mengutip data BPS per Januari 2014 bahwa  jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 25 juta orang. Apa yang salah di sini?

Penulis pun bertanya dengan mengutip kata bijak Albert Einstein; "Gila, jika kita mengharapkan hasil berbeda dengan melakukan cara yang sama". Anda tidak bisa berharap hasil yang berbeda, jika cara yang Anda lakukan itu-itu juga (hal 6).

Lebih jauh Penulis menilai, dari pemerintahan satu ke pemerintahan berikut hanya menunjukkan kerja keras tapi tanpa hasil seimbang sesuai jerih payahnya. Pemerintahan sejak kemerdekaan sampai saat ini hanya sukses menjalankan dan menghidupkan birokrasi pemerintahan. Silih berganti menjalankan strategi, yang sebenarnya sama saja. Ibarat barang dagangan yang hanya berganti kemasan. (hal 7).

Percaya pada rakyat

Lalu bagaimana cara yang tepat menurut doktor jebolan Universitas Brawijaya Malang itu? Ubah konsep pembangunan! Harus ada langkah-langkah revolusioner dalam melaksanakan pembangunan, melalui konsep baru yang berbeda dibanding sebelumnya. Harus ada inisiatif, kreasi, dan inovasi berupa gagasan baru, berani, dan implementatif. Seperti dijelaskan bahwa kunci jawaban bagi keberhasilan pembangunan adalah melibatkan masyarakat dalam pembangunan itu sendiri. Pemerintah harus percaya para rakyat, mampu menggerakan masyarakat, dan masyarakat sendiri pun harus bergerak - terlibat aktif - dalam proses pembangunan. Pemerintah hanya membimbing, mengarahkan, sekaligus memberikan dukungan penuh melalui segenap potensi sumber daya yang dimiliki. Inilah nafas dari konsep Gerdema yang digagas dan dipraktikkan Penulis.

Sebagai yang telah dipercaya rakyat, menurut Penulis, amanah sebagai bupati tidak ringan. Kepercayaan itu diberikan agar kesejahteraan mereka meningkat, terangkat dari kehidupan miskin menjadi lebih sejahtera. Ini tidak boleh disia-siakan. (hal 9-11)

Pada hal 54, dijelaskan lebih mendetail mengenai tiga hal yang menjadi esensi konsep Gerdema, yakni dari, oleh dan untuk rakyat; (1) gerakan itu berasal dari rakyat, (2) gerakan itu dilakukan oleh rakyat, dan (3) gerakan itu menghasilkan manfaat untuk masyarakat desa. Ya, dengan melaksanakan konsep Gerdema, Pemerintah Kabupaten Malinau disebut sebagai pemerintah daerah yang paling banyak menyerahkan urusan (pembangunan dan layanan publik) kepada desa.

Sekali lagi, karena paradigma Gerdema ini lahir dari pengalaman nyata, bukan sekadar teori pembangunan, maka Penulis meyakini bahwa kebijakan inovatif ini pasti akan dijalankan masyarakat, mengerahkan seluruh kemampuan mereka dengan penuh tanggungjawab. Maka tak heran, dalam praktiknya, Penulis sekaligus Bupati ini tak ragu mengucurkan dana antara Rp 1,2 miliar – Rp 1,3 miliar per tahun per desa di seluruh Kabupaten Malinau. Artinya, dari 108 desa di kabupaten tersebut, Pemkab Malinau mempercayakan dana sebesar Rp 129,6 miliar untuk dikelola secara mandiri oleh desa-desa. Ini sebuah bentuk kepercayaan yang sangat besar kepada pemerintah desa. Tentu saja ada sistem pengawasan yang dijalankan sesuai konsep ini. Misalnya, pencairan dana dari rekening desa disesuaikan dengan mekanisme Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKDes). Besarannya harus sesuai dengan pengajuan pertanggungjawaban kegiatan serta kebutuhan pembiayaan dari pemerintahan desa. Pertanggungjawabannya pun harus dilakukan secara berkala. (hal 157). Sistem pengawasan secara detail dijelaskan pada hal 158 – 160.

Hasil perkawinan

Mencermati konsep Gerdema, tampak memiliki kemiripan dengan paradigma-paradigma yang sudah hadir sebelumnya. Konsep ini seperti penggabungan antara dua paradigma pembangunan, yakni pembangunan berpusat pada manusia (people centered development paradigm) dan paradigma pembangunan partisipatif (partisipative approach). Artinya konsep Gerdema ini bisa dibilang merupakan keturunan dari hasil perkawinan antara dua paradigma tersebut. Perbedaannya, konsep Gerdema menitikberatkan pada masyarakat pedesaan sekaligus memberikan kepercayaan lebih besar kepada masyarakat desa. Konsep ini menjadikan desa sebagai fokus dan lokus pembangunan.

Konsep Gerdema bahkan mendapat penghargaan Innovative Government Award 2013 dari Kementerian Dalam Negeri.  Tak salah bila kita menyebut Gerdema sebagai sebuah inovasi merujuk definisi dari inovasi itu sendiri. Inovasi didefinisikan sebagai suatu gagasan baru (berupa pemikiran, ide, sistem) yang diterapkan secara sistematis untuk memperbaiki produk atau proses sebelumnya hingga akhirnya bisa dirasakan manfaatnya.

Sejauh ini, setidaknya menurut paparan dalam buku ini, penerapan konsep Gerdema berjalan baik di Kabupaten Malinau. Kita bisa saja menilai hal tersebut dapat terjadi karena DR Yansen sebagai penulis sekaligus sebagai bupati yang mempraktikan hasil pemikirannya sendiri. Tentu dia sangat memahami konsep ini luar dalam serta bekerja keras dan serius untuk menyukseskan ide dan programnya.

Lantas apa kelemahan konsep ini? Sebenarnya semua konsep atau paradigma pembangunan adalah baik jika dilihat dari tujuan yang hendak dicapai. Yang berbeda adalah ketika konsep itu tiba pada praktiknya yang seringkali menyimpang atau sengaja dibikin menyimpang oleh oknum pejabat maupun aparat karena adanya perilaku koruptif. Makanya dalam penjelasan tentang konsep Gerdema dalam buku ini pun berkali-kali menyebutkan prinsip dan nilai keadilan dalam masyarakat desa, yakni bekerja dengan tulus, bersih, dan berkomitmen. Gerdema perlu diuji “keampuhannya” manakala berada di tangan pemimpin lain. Dan ketika konsep ini ternyata sukses juga, maka penulis buku ini boleh ditunjuk sebagai “juru bicara” seluruh desa di Indonesia untuk memanggil pulang anak-anaknya dari kota.

Buku ini cocok sebagai manual book karena banyak memaparkan langkah-langkah menjalankan program secara point to point. Buku perlu dan penting sebagai bacaan para mahasiswa ilmu politik dan pemerintahan, calon pemimpin, politisi, dan pemimpin publik di berbagai level pemerintahan sebagai bahan perenungan sekaligus perbandingan terhadap apa yang telah dikerjakannya untuk daerah yang dia pimpin. (*)

Judul: Revolusi dari Desa – Saatnya dalam Pembangunan  Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat

Penulis: DR Yansen TP M.Si.

Penerbit: Elex Media Komputindo (Kelompok Gramedia)

Cetakan/Tahun: I/2014

Tebal: xxviii/180

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun