[caption id="attachment_379183" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber foto: Kompas.com"][/caption]
"ANDA harus bilang, oh tidak, sekarang kita bangkit sebagai bangsa yang berdaulat! Kalau karena kedaulatan kita bentrok dengan negara tetangga, kenapa tidak? Kan tidak boleh kedaulatan negara dilecehkan. Karena takut negara jelek, dibiarkan curi ikan. Jangan sampai."
[caption id="attachment_338633" align="alignnone" width="585" caption="Susi Pudjiastuti dan Retno Marsudi (sumber:antara/gettyimages)"]
Itu jawaban yang terlontar dari bibir Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ketika ditanya soal implikasi menenggelamkan kapal nelayan asing yang mencuri ikan di wilayah laut Indonesia.
Sikap sama tegasnya datang dari Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. "Masalah kita sekarang, seolah (negara) bisa dibeli. Keinginan komitmen pemerintah saat ini untuk menegakkan law enforcement tanpa bisa dibeli, sebenarnya merupakan titik awal awal (agar Indonesia) bisa dihormati oleh bangsa lain. Masalah kedaulatan merupakan masalah yang tidak bisa ditawar!" (Kompas.com)
Keduanya perempuan bernyali besar dan sama-sama menyatakan sikap tegas terkait pelanggaran kedaulatan negara oleh pihak asing. Mereka mengirim pesan ke seluruh dunia agar jangan coba-coba melanggar batas wilayah kami. Jangan coba-coba melecehkan bangsa kami, karena kami pasti bertindak tegas terhadap Anda. Kami siap angkat senjata untuk berhadapan dengan Anda.
Perlahan, keraguan terhadap menteri-menteri pilihan Presiden Joko “Jokowi” Widodo mulai memudar. Dua perempuan bernyali itu tidak sungkan-sungkan melontarkan pernyataan tegas karena presidennya juga tegas. Justru Jokowi memerintahkan agar menenggelamkan kapal-kapal nelayan asing yang masuk wilayah perairan Indonesia dan mencuri ikan hingga merusak ekosistem laut negeri ini. "Nggak usah tangkap-tangkap, langsung saja tenggelamkan. Tenggelamkan 10 atau 20 kapal, nanti baru orang mikir," ujar Jokowi.
Sikap tegas Jokowi malah dinilai sekadar gagah-gagahan oleh Ketua Komisi I DPR sekaligus politisi PKS Mahfud Sidiq. (JPNN.com)
Sikap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno lebih lunak dan terkesan sangat berhati-hati. Tedjo mengingatkan agar menghormati hukum laut internasional atau United Nations Convention on the Law of the Sea (Unclos). (Kompas.com)
Persoalannya, apakah kapal-kapal nelayan asing itu juga menghormati aturan internasional itu? Bagaimana pula dengan pelanggaran terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di negara kita?
Banyak pelanggaran
Perilaku para nelayan asing di perairan Indonesia dipastikan telah melanggar banyak pasal dan ayat yang tertera di Unclos sekaligus melanggar aturan yang berlaku di Indonesia. Kapal-kapal nelayan asing jelas melanggar batas teritori Indonesia tanpa izin. Ini sama halnya telah melanggar kedaulatan kita. Jika mengikuti Pasal 73 Unclos, maka otoritas Indonesia berhak menegakkan aturan yang berlaku di negara ini terhadap para pelanggar batas wilayah itu.
Tak hanya mencuri ikan dan hasil laut, nelayan asing juga menggunakan peralatan tangkap seperti pukat harimau (trawl), bom, dan potasium yang merusak lingkungan. Aturan dalam Unclos secara tegas melarang perbuatan ini. Tindakan tersebut juga telah melangkahi kesepakatan dalam World Ocean Conference dan Coral Triangle Initiative (WOC/CTI) yang berlangsung di Manado, Sulawesi Utara, April 2009 silam. Kesepatakan itu ditandatangani oleh enam negara, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Kepulauan Solomon, Timor Leste, dan Papua Nugini. Dan kita tahu, sebagian besar kapal nelayan asing yang mencuri ikan dan merusak lingkungan di perairan Indonesia berasal dari Malaysia dan Filipina.
Adapun klausul pada Pasal 62 Unclos menekankan bahwa pemanfaatan kekayaan hayati di laut harus memperhatikan kaidah-kaidah konservasi dan harus taat pada aturan perundang-undangan yang berlaku. Jikapun kapal asing telah mendapat izin untuk beroperasi di Indonesia, selain harus memenuhi berbagai kewajiban kompensasi, mereka wajib menaati aturan yang berlaku di negeri ini. Hasil tangkapan mereka wajib diturunkan seluruhnya maupun sebagian di pelabuhan Indonesia. Yang terjadi, kapal-kapal nelayan asing memindahkan hasil tangkapannya ke kapal lainnya di tengah laut kemudian langsung dibawa keluar dari wilayah teritori Indonesia.
Selain mencuri ikan dan merusak lingkungan laut Indonesia, para maling dari negeri tetangga juga melakukan penipuan/berusaha mengelabui otoritas di Indonesia dengan memasang bendera Merah Putih, padahal mereka adalah warganegara asing dan kapalnya juga tidak terdaftar di Indonesia. Kapal-kapal maling itu menggunakan bendera Merah Putih ketika mencuri ikan dan hasil laut Indonesia, tetapi setelah keluar dari batas zona eksklusif (ZEE) kita, mereka kembali menggunakan bendera negara asalnya. Hal ini jelas melanggar Pasal 91 Unclos bahwa setiap kapal hanya memiliki satu “Kebangsaan”, yakni hanya boleh menggunakan satu bendera sesuai negara asalnya.
Meski aturan dalam Unclos tidak membolehkan pemusnahan ataupun penenggelaman kapal berbendera asing, namun Indonesia tak mungkin menolerir tindakan pelanggaran kedaulatan dan pencurian kekayaan alam yang dilakukan secara terus-menerus. Apalagi fakta lapangan membuktikan nelayan-nelayan Indonesia seringkali mendapat perlakuan buruk dari otoitas negara tetangga seperti Australia dan Malaysia. Australia malah seringkali membakar dan menenggelamkan kapal-kapal nelayan asal Indonesia dan memenjarakan nelayan kita. Sementara kapal patroli Malaysia juga tak jarang menyiksa nelayan kita di tengah laut.
Saatnya Indonesia bersikap tegas. Kita harus mendukung sikap tegas Menteri KKP Susi Pudjiastuti dan Menlu Retno Marsudi. Tidak boleh lagi ada pembiaran terhadap kapal-kapal asing dan para nelayan negeri tetangga seenaknya menjarah hasil laut dan merusak ekosistem di perairan Republik ini.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H