[caption id="attachment_343872" align="aligncenter" width="659" caption="Anak-anak gembira bermain pasir di Pantai Galang Baru, Batam. (eddymesakh)"][/caption]
“KAMI empat hari kegiatan di Batam, setelah itu kami akan berkunjung ke Singapura.” Kira-kira begitulah jadwal yang saya dengar ketika ada keluarga, teman, atau kenalan datang ke Batam untuk berbagai keperluan. Kendati lebih banyak waktu dihabiskan di Batam karena tuntutan tugas dari kantor, kota tempat tinggal saya ini sebenarnya hanya jadi alasan (titik transit), sementara Singapura adalah destinasi mereka yang sebenarnya.
Saya yakini pikiran seperti itu melekat di kepala saudara atau teman-kenalan saat berkegiatan di Batam. Sehingga sebelum datang, bagi yang belum memiliki paspor, pasti ngotot mengurusnya. Singapura, negara kota itu, begitu menarik di mata (dan hati) orang-orang Indonesia. Ada “sesuatu” di sana yang memiliki kekuatan magnetis bagi masyarakat Indonesia. Dan, ketika sudah berada di Batam, kekuatan magnetis itu kian bertenaga karena hanya berjarak sekitar satu jam perjalanan laut menggunakan ferry cepat.
[caption id="attachment_343875" align="aligncenter" width="553" caption="Berjalan di atas pelantar di Pulau Galang Baru, Batam. (eddymesakh)"]
Sebagian masyarakat Indonesia memandang Singapura sebagai kota dan Indonesia hanyalah sebuah perkampungan besar. Pergi ke Singapura berarti pergi ke sebuah kota yang maju, modern, dan jauh lebih tertib dari Indonesia. Kesimpulan ini terekam dari pembicaraan dan cerita serba wah dari saudara, teman, dan kenalan sekembalinya mereka dari Negeri Merlion.
Lalu, apakah hanya “peradaban yang lebih maju” yang mampu menarik wisatawan mancanegara berkunjung ke sebuah negara? Mengutip definisi dari Wikipedia disebutkan bahwa pariwisata atau turisme adalah (sebuah) industri jasa. Mereka menangani jasa mulai dari transportasi, jasa keramahan, tempat tinggal, makanan, minuman, dan jasa bersangkutan lainnya seperti bank, asuransi, keamanan, dll. Dan juga menawarkan tempat istirahat, budaya, pelarian, petualangan, dan pengalaman baru yang berbeda lainnya.
Sementara menurut Undang Undang No 10/2009 tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata yang didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.
Saya menyimpulkan bahwa peradaban yang maju dan tertib di Singapura menjadi “pengalaman baru yang berbeda” bagi orang Indonesia dan itulah daya tarik terkuat negeri jiran itu di mata keluarga, teman, kenalan-kenalan yang pernah saya temani di Batam sebelum dan sekembalinya mereka berkunjung ke/dari negeri tetangga itu. Saya yakin tak hanya saudara, teman, dan kenalan saya saja yang berpandangan demikian. Sebuah artikel di Kompas.com (21 Agustus 2014) mengutip data Singapore Tourism Board (STB), menyebutkan, wisatawan Indonesia memegang rekor selama bertahun-tahun sebagai pengunjung terbesar ke Singapura. Tahun 2013, turis Indonesia mencapai 3.089.000 dari total 15,6 juta turis mancanegara ke Singapura.
Bandingkan dengan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia yang ‘hanya’ sebanyak 8,802,129 turis (Bali menyumbang 3,278,598 turis dan Batam menyumbang 1,336 juta turis) sepanjang tahun 2013. Pada periode yang sama, turis ke Malaysia lebih tinggi lagi, yakni mencapai lebih dari 25 juta jiwa. Malaysia juga mencatat jumlah wisatawan asal Singapura yang berkunjung ke wilayahnya mencapai 11,5 juta jiwa. Sementara menurut Pusdatin Kemenparekraf & BPS (2014), wisatawan Singapura yang berkunjung ke Indonesia pada 2013 ‘hanya’ sebanyak 1,432,060 turis. Apalagi bila membandingkan dengan kunjungan wisatawan ke Thailand yang mencapai 97 juta turis (2013).
Alami vs artifisial
Masyarakat Malaysia dan Singapura sekalipun pasti mengakui bahwa destinasi wisata di Indonesia tak tertandingi oleh negeri mereka. Indonesia memiliki segalanya, mulai dari wisata alami, budaya, peninggalan bersejarah, hewan purba (komodo), hingga kuliner.
[caption id="attachment_343864" align="aligncenter" width="560" caption="Cable car di Genting Highland, Malaysia (eddymesakh)"]
Lalu, mengapa angka kunjungan turis mancanegara ke Indonesia lebih sedikit dibanding negara-negara tetangga? Apakah karena di sana lebih banyak obyek wisata artifisial dan itu lebih menarik dibanding wisata alami di Indonesia? Apakah strategi promosi negara tetangga jauh lebih mumpuni dibanding kita? Atau ada faktor lain, misalnya jaminan keamanan?
Destinasi wisata di Malaysia dan Singapura yang pernah saya kunjungi umumnya adalah destinasi artifisial alias hasil kreasi modern. Sebut saja Malaysia dengan Genting Highland dan Singapura dengan Sentosa Island. Ketika plesiran keliling Malaysia bersama sebuah perusahaan travel beberapa tahun lalu, tujuan utama kami saat itu adalah Genting, kemudian destinasi lainnya sebagai pelengkap. Sedangkan saat beberapa kali plesiran sendiri bersama keluarga ke Singapura, destinasi utama kami adalah Sentosa Island baru kemudian berkeliling kota dan pusat-pusat perbelanjaan.
[caption id="attachment_343867" align="aligncenter" width="635" caption="Universal Studio di Sentosa Island, Singapura (eddymesakh)"]
Saat berwisata ke Malaysia, saya melihat teman-teman serombongan sangat antusias menikmati perjalanan. Kami sangat bersemangat saat berfoto di destinasi-destinasi andalan di Genting, Kuala Lumpur, dan pusat pemerintahan Putra Jaya. Padahal tak ada atraksi budaya nan spektakuler yang bisa kami saksikan di sana. Alamnya pun biasa-biasa saja bila dibandingkan dengan keindahan alam milik Indonesia. Sebaliknya, Indonesia, selain memiliki keunggulan destinasi wisata alami, peninggalan bersejarah, dan hewan purbakala (komodo), juga memiliki destinasi-destinasi buatan seperti Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Garuda Wisnu Kencana, Trans Studio, dan sebagainya.
[caption id="attachment_343876" align="aligncenter" width="560" caption="Sebuah lokasi wisata di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT). Masih alami dan sangat sedikit sentuhan pemerintah setempat guna menarik wisatawan dari luar daerah maupun mancanegara. (eddymesakh)"]
Ketika berbincang dengan teman serombongan di Malaysia yang sama-sama warga Batam, dia mengatakan, dirinya sama sekali tak tertarik dengan atraksi budaya apapun di negeri jiran itu ataupun kondisi alamnya, karena sudah pasti kalah dari Indonesia. Dirinya hanya tertarik untuk melihat “sesuatu” yang berbeda dari Indonesia. Apakah itu? “Ini pertama kali saya ke Malaysia, dan saya hanya tertarik membandingkan kemajuan Malaysia dibanding Indonesia.” Lalu apa yang paling menarik baginya? “Saya melihat sekilas masyarakat di Malaysia lebih tertib, bangunan-bangunan dan gedung-gedung lebih tertata, lalu-lintasnya tertib, lingkungannya lebih bersih, dan saya merasa Malaysia lebih aman dibanding kita,” ujarnya.
Ketika saya mengajak keluarga berkeliling Singapura, kedua anak saya yang ikut dalam perjalanan itu sangat menikmati suasana di Pulau Sentosa, terutama ketika berada di Sea Aquarium. Anak-anak saya juga tampak riang ketika bermain di pantai buatan yang terletak di atap Vivo City. Tetapi mereka tak begitu menikmati acara jalan-jalan dan justru banyak mengeluh capek, ketika kami berkeliling kota.
[caption id="attachment_343877" align="aligncenter" width="645" caption="Bermain jetski di Batam View Resort, Batam. (eddymesakh)"]
Sangat berbeda ketika keluarga saya ajak jalan-jalan ke Pulau Belakangpadang, Pantai Melayu, Kamp Vietnam, dan Hutan Mata Kucing (Batam) atau ke Tanjungpinang dan Bintan. Di Belakangpadang, anak-anak sangat menikmati alam karena mereka bisa mandi sepuasnya di pantai, di Kamp Vietnam anak-anak terlihat gembira dan asyik memberi makan ratusan monyet. Demikian pula saat berada di Pantai Trikora, Bintan, mereka bisa berenang sepuasnya. Kami juga sangat menikmati suasana tenang di Vihara Dharma Sasana Tanjungpinang, menyusuri perkampungan di Pesisir Tanjungpinang, merasakan ketegangan ketika menumpang pompong (perahu kayu berukuran kecil dengan motor tempel), dan menikmati lezatnya buah duren yang murah-meriah. Bahkan, keluarga kami sangat menikmati setiap kali digelar festival kuliner vegetarian di Maha Vihara Duta Maitreya Batam.
Zona wisata: daerah melawan negara
Asalkan lebih serius, sektor pariwisata Indonesia bisa melejit jauh meninggalkan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, bahkan bisa menyaingi Thailand. Saya pernah jalan-jalan di sebagian wilayah Indonesia, seperti Timor, Bali, Lombok, Flores, Sumba, Rote, Sabu, Manado, Makassar, Sumatera, dan sebagian besar kota di Pulau Jawa seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Jember, Pasuruan, dan sebagainya. Setiap daerah tersebut memiliki keunggulan sendiri-sendiri. Tetapi gaung pariwisata secara nasional hanya terdengar serius dari Bali, Lombok, dan Yogyakarta (maaf bila saya salah).
[caption id="attachment_343882" align="aligncenter" width="590" caption="Sebuah kampung di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). (sumber: Antara/Fouri Gesang Sholeh) "]
Indonesia memiliki wilayah sangat luas. Tentu tak mudah bagi pemerintah pusat untuk mengatur wilayah seluas ini. Secara geografis dan demografis pun kita jauh beda dibanding negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, dan lainnya. Wilayah mereka lebih kecil dan lebih mudah dijangkau dari satu daerah ke daerah lainnya dan penduduk pun lebih homogen. Sedangkan Indonesia sangat luas dan heterogen.
Kita memiliki 34 provinsi, namun terlihat masing-masing provinsi memiliki ‘keasyikan’ sendiri-sendiri tanpa konektivitas program yang memadai antara provinsi bertetangga. Padahal, apabila ada sinergi antar-provinsi dan menempatkan pemerintah pusat sebagai penunjang, diharapkan akan memiliki daya ungkit yang jauh lebih besar bagi kemajuan sektor pariwisata kita.
[caption id="attachment_343885" align="aligncenter" width="622" caption="Vihara Duta Maitreya di Kota Batam, Kepri. Vihara terbesar di Asia Tenggara ini setiap tahun menggelar fesitval kuliner vegetarian yang menarik wisatawan dari mancanegara. (eddymesakh)"]
Untuk itu, saya mengusulkan agar Kementerian Pariwisata membagi pengembangan pariwisata kita menjadi tiga zona, layaknya pembagian waktu, yakni Waktu Indonesia Timur (WIT), Waktu Indonesia Tengah (Wita), dan Waktu Indonesia Barat (WIB). Namun perlu sedikit modifikasi dengan menyesuaikan kemudahan akses antar-wilayah. Misalnya Zona Wisata I terdiri atas Jawa, Sumatera, Kalimantan; Zona Wisata II terdiri atas Bali, NTB, dan NTT; serta Zona Wisata III terdiri atas Sulawesi, Maluku, dan Papua.
[caption id="attachment_343887" align="aligncenter" width="610" caption="Suasana tenang di Vihara Dharma Sasana, Pulau Bintan, Kepri. (eddymesakh)"]
Berikan tanggungjawab kepada tiap zona wisata untuk bersaing dengan negara-negara tetangga. Misalnya Jawa, Sumatera (termasuk Kepri - Batam), dan Kalimantan bertugas menghadapi Malaysia dan Singapura; Bali, NTB, dan NTT berhadapan dengan Thailand, serta Sulawesi, Maluku, Papua berhadapan dengan Vietnam, Filipina, dan Brunai. Dengan demikian, strategi promosinya bukan lagi Indonesia berhadapan dengan negara-negara tetangga itu, tetapi daerah-daerah yang tergabung dalam satu zona itulah yang harus bersinergi untuk bersaing dengan “lawannya” masing-masing.
Daerah-daerah yang tergabung dalam satu zona wisata harus bersinergi menyisihkan anggaran dalam APBD masing-masing untuk membiayai kegiatan promosi bersama, merancang even-even tahunan – kalender even bersama, mempromosikan destinasi-destinasi yang dimiliki, hingga membangun konektivitas transportasi darat, laut, dan udara yang memudahkan turis bergerak dari satu daerah ke daerah lainnya. Sementara pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) - didukung departemen terkait - berfungsi sebagai “holding” yang merangkul semuanya dan memberi dukungan manakala ada kegiatan atau pembangunan infrastruktur pendukung sektor pariwisata membutuhkan pembiayaan dari APBN.
[caption id="attachment_343888" align="aligncenter" width="642" caption="Menuju dermaga Pulau Penyengat di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Pulau ini syarat dengan berbagai warisan budaya Melayu, menyimpan berbagai peninggalan bersejarah antara lain Masjid Raya Sultan Riau yang terbuat dari putih telur, makam pahlawan nasional Raja Ali Haji, dan benteng pertahanan di Bukit Kursi. (eddymesakkh)"]
Kita ketahui bersama bahwa kekuasaan dalam otonomi daerah lebih besar berada di tangan para bupati/walikota, sementara para gubernur semakin “kurang kerjaan”. Maka sebaiknya energi para gubernur itu disalurkan untuk membangun kerjasama antar-provinsi di berbagai sektor, termasuk sektor pariwisata. Para gubernur menugaskan para kepala dinas pariwisata level provinsi untuk membangun kerjasama dengan koleganya dari provinsi tetangga dalam satu zona wisata untuk menyusun strategi bersama, menjalankan promosi bersama, membangun konektivitas, dan sebagainya.
Konektivitas dalam sektor pariwisata sebenarnya sudah berjalan, namun itu terbangun begitu saja karena tuntutan bisnis, seperti yang terjadi antara Bali-Lombok-Labuan Bajo (Pulau Komodo-NTT). Turis-turis yang datang ke Bali atau Lombok bisa diakomodasi ketika mereka hendak melihat Komodo di Labuan Bajo. Akan lebih hebat manakala Bali, NTB, dan NTT bisa secara sadar bersinergi untuk mempromosikan komodo, demikian pula destinasi lainnya, di ketiga wilayah tersebut. Hal serupa berlaku untuk dua zona lainnya sehingga sektor pariwisata kita semakin bertenaga mendorong pertumbuhan sektor ini secara nasional. Manakala tiga zona wisata tersebut berjalan efektif, jangankan Malaysia dan Singapura, Thailand pun bisa kita saingi.
Masyarakat sadar wisata
Saatnya pemerintah daerah (kecuali Bali, Yogyakarta, dan Lombok – NTB yang sudah lebih maju) tak hanya bergantung pada kerja keras pemerintah pusat, tetapi secara serius ikut aktif mempromosikan pariwisatanya ke seluruh dunia. Caranya tidak mesti mengirim petugas promosi ke berbagai negara, melainkan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi seperti internet.
[caption id="attachment_343894" align="aligncenter" width="604" caption="Menikmati kuliner bersama teman-teman di sebuah warung di tepi Pantai Malalayang, Manado, Sulawesi Utara. (eddymesakh)"]
Langkah-langkah yang dapat dilakukan, misalnya tiap zona secara bersama menawarkan daerahnya sebagai tujuan MICE (meeting, incentive, convention, and exhibition) berskala internasional. Tentu infrastruktur pendukung seperti hotel yang layak, keamanan yang terjamin, transportasi, travel agent, hingga kesiapan masyarakat harus diupayakan terlebih dahulu. Di samping itu, pemerintah daerah harus mampu menggerakkan masyarakat, terutama pengguna aktif teknologi informasi, di daerah masing-masing agar aktif mempromosikan daerahnya. Travel agent di daerah pun perlu diwajibkan untuk aktif mempromosikan daerah di mana perusahaan itu berada, bukan sekadar usaha penjualan tiket semata.
Pemerintah daerah c/q Dinas Pariwisata Provinsi perlu lebih sering menggelar lomba-lomba penulisan feature/artikel bagi masyarakat dan jurnalis tentang destinasi-destinasi wisata di daerah masing-masing – seperti yang sedang dilakukan oleh Kementerian Parekraf di blog keroyokan Kompasiana ini. Perlu juga menggelar lomba foto dan video tentang destinasi-destinasi wisata di daerah. Semakin banyak artikel, foto, dan video bersifat promotif dan informatif berseliweran di dunia maya (termasuk di facebook, twitter, instagram, path, dll), akan semakin memudahkan calon turis di berbagai belahan dunia mengenal Indonesia dan destinasi-destinasi yang ada di negeri tercinta ini.
[caption id="attachment_343891" align="aligncenter" width="538" caption="Seekor monyet meneguk minuman dari pengunjung di kawasan wisata eks Camp Pengungsi Vietnam, Pulau Galang, Batam. (eddymesakh)"]
Sedangkan travel-travel agent diwajibkan memiliki website sendiri yang di dalamnya berisi destinasi-destinasi wisata lengkap dengan daya tarik dan keunggulan-keunggulannya, lokasi-lokasi restoran, hotel, informasi taxi, sentra-sentra kerajinan/souvenir, dan sebagainya. Atau menggelar lomba-lomba terkait pariwisata tetapi dirangkum dalam sebuah website seperti http://www.indonesia.travel/wonderfulindonesia.
Upaya itu tentu juga sangat mempermudah turis domestik yang hendak melakukan perjalanan wisata ke kota lain. Sebagai contoh, istri saya seorang vegetarian, ketika kami hendak melakukan perjalanan ke sebuah kota, informasi pertama yang dicari adalah apakah ada resto vegetarian di kota tersebut. Pencarian informasi itu tentu saja melalui internet.
[caption id="attachment_343895" align="aligncenter" width="604" caption="Pantai Kora-Kora di sisi timur Minahasa, Sulawesi Utara. Di pantai ini masih terdapat benteng peninggalan Belanda. Pernah digunakan masyarakat Tondano sebagai jalur memasukan senjata ketika perang Tondano melawan penjajah Belanda. (eddymesakh)"]
Satu lagi langkah amat penting dan paling berat yang harus dipikul pemerintah daerah adalah membangun kesadaran masyarakat. Ini yang paling berat, mengingat sudah puluhan tahun kita mengampanyekan Sapta Pesona, namun tingkat keberhasilannya belum maksimal. Tujuh hal mendasar yang disebutkan dalam Sapta Pesona adalah aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah-tamah, dan kenangan. Tugas berat ini tak hanya dipikul oleh institusi yang mengurusi sektor pariwisata, tetapi menjadi kewajiban segenap pengurus negara dan seluruh rakyat Indonesia. Bagaimana kita berharap turis berbondong-bondong datang ke daerah kita kalau kita masih seenaknya membuang sampah, suka bikin keonaran, tidak tertib di tempat umum, pedagang kaki lima seenaknya berjualan di sembarang tempat, masyarakat kita tidak ramah, tata kota semrawut, dan sebagainya. Untuk itu, Anda dan saya yang sudah menyadari hal tersebut, harus menjadi agen perubahan dan secara aktif ikut membangun citra baik bagi bangsa yang kita cintai bersama ini. (*/eddymesakh)
[caption id="attachment_343892" align="aligncenter" width="540" caption="Barisan pompong atau perahu kayu berbaris menunggu penumpang di dermaga Belakang Padang untuk diseberangkan ke Pelabuhan Sekupang, Batam. (eddymesakh)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H