Asalkan lebih serius, sektor pariwisata Indonesia bisa melejit jauh meninggalkan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, bahkan bisa menyaingi Thailand. Saya pernah jalan-jalan di sebagian wilayah Indonesia, seperti Timor, Bali, Lombok, Flores, Sumba, Rote, Sabu, Manado, Makassar, Sumatera, dan sebagian besar kota di Pulau Jawa seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Jember, Pasuruan, dan sebagainya. Setiap daerah tersebut memiliki keunggulan sendiri-sendiri. Tetapi gaung pariwisata secara nasional hanya terdengar serius dari Bali, Lombok, dan Yogyakarta (maaf bila saya salah).
[caption id="attachment_343882" align="aligncenter" width="590" caption="Sebuah kampung di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). (sumber: Antara/Fouri Gesang Sholeh) "]
Indonesia memiliki wilayah sangat luas. Tentu tak mudah bagi pemerintah pusat untuk mengatur wilayah seluas ini. Secara geografis dan demografis pun kita jauh beda dibanding negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, dan lainnya. Wilayah mereka lebih kecil dan lebih mudah dijangkau dari satu daerah ke daerah lainnya dan penduduk pun lebih homogen. Sedangkan Indonesia sangat luas dan heterogen.
Kita memiliki 34 provinsi, namun terlihat masing-masing provinsi memiliki ‘keasyikan’ sendiri-sendiri tanpa konektivitas program yang memadai antara provinsi bertetangga. Padahal, apabila ada sinergi antar-provinsi dan menempatkan pemerintah pusat sebagai penunjang, diharapkan akan memiliki daya ungkit yang jauh lebih besar bagi kemajuan sektor pariwisata kita.
[caption id="attachment_343885" align="aligncenter" width="622" caption="Vihara Duta Maitreya di Kota Batam, Kepri. Vihara terbesar di Asia Tenggara ini setiap tahun menggelar fesitval kuliner vegetarian yang menarik wisatawan dari mancanegara. (eddymesakh)"]
Untuk itu, saya mengusulkan agar Kementerian Pariwisata membagi pengembangan pariwisata kita menjadi tiga zona, layaknya pembagian waktu, yakni Waktu Indonesia Timur (WIT), Waktu Indonesia Tengah (Wita), dan Waktu Indonesia Barat (WIB). Namun perlu sedikit modifikasi dengan menyesuaikan kemudahan akses antar-wilayah. Misalnya Zona Wisata I terdiri atas Jawa, Sumatera, Kalimantan; Zona Wisata II terdiri atas Bali, NTB, dan NTT; serta Zona Wisata III terdiri atas Sulawesi, Maluku, dan Papua.
[caption id="attachment_343887" align="aligncenter" width="610" caption="Suasana tenang di Vihara Dharma Sasana, Pulau Bintan, Kepri. (eddymesakh)"]
Berikan tanggungjawab kepada tiap zona wisata untuk bersaing dengan negara-negara tetangga. Misalnya Jawa, Sumatera (termasuk Kepri - Batam), dan Kalimantan bertugas menghadapi Malaysia dan Singapura; Bali, NTB, dan NTT berhadapan dengan Thailand, serta Sulawesi, Maluku, Papua berhadapan dengan Vietnam, Filipina, dan Brunai. Dengan demikian, strategi promosinya bukan lagi Indonesia berhadapan dengan negara-negara tetangga itu, tetapi daerah-daerah yang tergabung dalam satu zona itulah yang harus bersinergi untuk bersaing dengan “lawannya” masing-masing.
Daerah-daerah yang tergabung dalam satu zona wisata harus bersinergi menyisihkan anggaran dalam APBD masing-masing untuk membiayai kegiatan promosi bersama, merancang even-even tahunan – kalender even bersama, mempromosikan destinasi-destinasi yang dimiliki, hingga membangun konektivitas transportasi darat, laut, dan udara yang memudahkan turis bergerak dari satu daerah ke daerah lainnya. Sementara pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) - didukung departemen terkait - berfungsi sebagai “holding” yang merangkul semuanya dan memberi dukungan manakala ada kegiatan atau pembangunan infrastruktur pendukung sektor pariwisata membutuhkan pembiayaan dari APBN.
[caption id="attachment_343888" align="aligncenter" width="642" caption="Menuju dermaga Pulau Penyengat di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Pulau ini syarat dengan berbagai warisan budaya Melayu, menyimpan berbagai peninggalan bersejarah antara lain Masjid Raya Sultan Riau yang terbuat dari putih telur, makam pahlawan nasional Raja Ali Haji, dan benteng pertahanan di Bukit Kursi. (eddymesakkh)"]
Kita ketahui bersama bahwa kekuasaan dalam otonomi daerah lebih besar berada di tangan para bupati/walikota, sementara para gubernur semakin “kurang kerjaan”. Maka sebaiknya energi para gubernur itu disalurkan untuk membangun kerjasama antar-provinsi di berbagai sektor, termasuk sektor pariwisata. Para gubernur menugaskan para kepala dinas pariwisata level provinsi untuk membangun kerjasama dengan koleganya dari provinsi tetangga dalam satu zona wisata untuk menyusun strategi bersama, menjalankan promosi bersama, membangun konektivitas, dan sebagainya.