Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hatta Radjasa Bisa Bantu Ahok Benahi PKL di Monas

10 Januari 2015   02:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:27 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_345534" align="aligncenter" width="630" caption="PKL MONAS - Pengunjung membeli cinderamata dari PKL di dalam kawasan Monas, Jumat (2/1/2015). PKL ini menggelar jualannya persis di depan papan larangan. (eddy mesakh)"][/caption]

JUMAT, 2 Januari 2015, saya bersama keluarga jalan-jalan ke Tugu Monumen Nasional alias Monas di Jakarta. Kami terbang jauh-jauh dari Batam untuk menikmati suasana baru di monumen berpuncak emas itu. Dalam hati saya berharap suasana di Monas lebih menyenangkan karena baru disterilkan dari para pedagang kaki lima (PKL) pada malam tahun baru, tak lebih dari dua hari sebelum kami datang.

Ternyata, kami justru mendapati situasi ‘nyaris’ seperti biasanya. Kami sedikit kehilangan kenyamanan karena tiga hal. Pertama, kami terganggu oleh para PKL dan tukang foto keliling yang datang menawarkan dagangan dan jasanya hampir setiap lima menit. Kedua, terlalu banyak pengunjung bermain layangan di lapangan Monas sehingga kami harus selalu waspada karena sewaktu-waktu satu di antara ratusan layang-layang itu bisa menukik tajam menghujam kepala kami, terutama anak-anak. Hal ketiga, perilaku para pengunjung Monas yang tak mengindahkan berbagai papan imbauan untuk menjaga kebersihan. Mereka seenaknya membuang sampah dan menginjak-injak tanaman hias di sekitar ikon Jakarta itu.

[caption id="attachment_345535" align="aligncenter" width="300" caption="SANTAI- Seorang PKL duduk santai sambil menggelar dagangannya berupa "]

1420738940203644455
1420738940203644455
[/caption]

Saat memasuki halaman Monas dari pintu kecil di samping Stasiun Gambir, kami langsung disambut PKL yang menjajakan dagangannya di tepi jalan. Agak maju ke depan, sejumlah PKL malah menggelar dagangannya persis di depan papan larangan berjualan. Ada juga PKL menggelar tikar dan menjual “Tongsis” alias tongkat narsis persis di depan papan peringatan. Saya sendiri ‘menyesal’ telah membeli makanan dan minuman ringan sebelum memasuki area tugu setinggi 132 meter itu. Kenapa susah-susah membeli dan menenteng jajanan kalau ternyata bisa bebas membelinya di dalam kawasan Monas?

[caption id="attachment_345536" align="aligncenter" width="300" caption="LARANGAN- Ini tulisan yang tertera pada papan di belakang PKL penjual Tongsis. (eddy mesakh)"]

1420739239680421339
1420739239680421339
[/caption]

Meski tak terlalu banyak PKL di Monas seperti waktu-waktu sebelumnya, namun bandelnya para PKL ini cukup serius. Ini menyangkut kesadaran warga, terutama para PKL itu sendiri, untuk lebih patuh pada peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Terbukti belum genap dua hari ditertibkan, para PKL sudah kembali berdagang di dalam area Monas. Bayangkan bila Pemerintah DKI Jakarta tidak menempatkan para Satpol PP di sana, bisa dipastikan dalam sekejap Monas akan kembali dipenuhi para PKL.

Demikian pula para pengunjung Monas. Sebenarnya Pemda DKI telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No 8 Tahun 2007 yang di antaranya kawasan Monas harus bersih dari PKL dan juga mengatur sanksi kurungan 60 hari subside denda sebesar Rp 20 juta terhadap pengunjung Monas yang membeli barang dan jajanan dari PKL di kawasan tersebut. Faktanya para pengunjung masih membeli barang dari para PKL. Ini mungkin saja terjadi karena sebagian besar pengunjung tidak mengetahui adanya aturan seperti itu.

Minta tolong Hatta Radjasa

Penataan PKL dan upaya membangun kesadaran mereka tak bisa sepenuhnya diletakkan ke pundak Pemda DKI. Secara prinsip, pemerintah sebenarnya sudah berupaya melakukan penyadaran, pembinaan, membuat aturan-aturan, dan melakukan penertiban, tapi tak berjalan mulus.

[caption id="attachment_345539" align="aligncenter" width="300" caption="RUSAK - Tanaman hias rusak akibat diinjak-injak para pengunjung Monas, Jumat 2 Januari 2015. (eddy mesakh)"]

1420740168178847707
1420740168178847707
[/caption]

Perlu dukungan para pihak terkait, misalnya dari Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI). Apalagi ada nama orang besar seperti Hatta Radjasa yang oleh APKLI ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pembina Relawan Pedagang Kaki Lima (PKL). Tentu kita berharap agar Pak Hatta Radjasa bisa membantu Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengatur para PKL di Jakarta. Bahkan, tak hanya pembinaan para PKL di Jakarta, tetapi di seluruh Indonesia. Setidaknya ikut membangun kesadaran para PKL agar bisa patuh pada peraturan yang ada, dan bukan sekadar mengambil keuntungan poilitis dari para pedagang kecil itu.

Ketika didaulat sebagai Ketua Dewan Pembina PKL, pertengahan 2013 silam, Hatta yang ketika itu masih menjabat Menko Perekonomian, menyatakan bahwa dirinya yakin para PKL bisa ditata, dibina, dan diberdayakan, karena para PKL pun diharapkan bisa memberikan kontribusi besar bagi negara.

Hatta meminta APKLI agar intensif membangun komunikasi dengan pemerintah pusat maupun daerah dalam upaya penataan dan pemberdayaan PKL. Di samping itu, Hatta mengingatkan bahwa Perpres No 125/2012 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL merupakan payung hukum yang mengikat, sebuah perintah yang harus dijalankan oleh semua pihak, baik pemerintah, BUMN, swasta, dan pemangku kepentingan lainnya.

“APKLI harus mengawal pelaksanaan Perpres 125/2012 tersebut, Insya Allah PKL ke depan naik kelas menjadi pengusaha kecil, menengah bahkan pengusaha besar. Pemberdayaan YES, Penggusuran NO," ujar Hatta ketika itu, sebagaimana dikutip JPNN.com.

APKLI sendiri mendesak Gubernur Ahok agar menghentikan kekerasan terhadap para PKL. AKLI menghendaki para PKL dimanusiakan, diajak berdialog, dan diberdayakan. Pertanyaannya, bagaimana bisa berdialog dengan masyarakat yang lebih suka melanggar peraturan? Pertanyaan selanjutnya, apakah APKLI memiliki anggota riil dan para PKL di Monas terdaftar sebagai anggota asosiasi itu?

[caption id="attachment_345541" align="aligncenter" width="300" caption="SAMPAH - Sampah berupa plastik bungkusan makanan ringan dan botol minuman ringan dibuang pengunjung Monas ke dalam kolam, Jumat, 2 Januari 2015. (eddy mesakh)"]

1420740446371272671
1420740446371272671
[/caption]

Pemda DKI telah mengupayakan solusi akan memindahkan ke lokasi yang lebih layak, bahkan bekerja sama dengan pihak swasta hampir selesai menyiapkan lokasi berjualan yang lebih layak sekaligus menghindarkan para PKL dari berbagai pungutan liar (Pungli) dari oknum-oknum tertentu. Kita patut mencurigai adanya oknum-oknum tertentu yang sengaja menciptakan kondisi chaos untuk melanggengkan bisnis haram mereka; melakukan Pungli dari para PKL.

Layang-layang, taman, dan sampah

Kebetulan cuaca di Monas hari itu sangat bersahabat karena cuaca mendung, sehingga pengunjung bisa bersantai di rumput tanpa tersengat panas matahari. Sayangnya pengunjung harus selalu waspada terhadap ancaman “serangan udara” dari ratusan layang-layang.

[caption id="attachment_345537" align="aligncenter" width="300" caption="BERMAIN LAYANGAN - Seorang anak bermain layang-layang di Taman Monas, Jumat, 2 Januari 2015. Layang-layang di udara menambah keindahan tetapi sekaligus menjadi ancaman karena bisa melukai pengunjung lainnya. Mungkin perlu disediakan lokasi khusus di Monas bagi penggemar layang-layang. (eddy mesakh)"]

14207397111121951309
14207397111121951309
[/caption]

Tak masalah, bahkan menambah indah pemandangan, seandainya layang-layang itu melambai-lambai di udara. Menjadi persoalan ketika para orangtua membiarkan anak-anak mereka yang masih kecil sendirian menerbangkan layangan. Beberapa kali kami harus berpindah lokasi duduk lantaran beberapa layangan menukik tajam hanya beberapa centimeter dari tempat duduk. Benang layang-layang pun mengancam pengunjung yang berjalan-jalan di dalam taman. Mungkin Pemda Jakarta perlu menyediakan area khusus di dalam area Monas bagi para penggemar layang-layang untuk menyalurkan hobi mereka.

Bukan cuma PKL yang suka bandel, kesadaran para pengunjung Monas juga sangat rendah. Sejumlah pengunjung terlihat tanpa rasa bersalah menginjak-injak tanaman hias di pinggiran pagar pembatas dan seenaknya membuang sampah. Terlihat beberapa pengunjung dengan enteng membuang sampah plastik bungkusan makanan dan botol minuman ringan ke dalam kolam di area dalam Monas. Kasihan juga melihat para pasukan kuning alias petugas kebersihan yang harus ke sana ke mari sambil menenteng karung dan memunguti sampah yang dibuang seenaknya oleh para pengunjung.

Padahal di dalam kawasan monumen karya arsitek Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono itu terdapat sejumlah papan berisi imbauan agar setiap orang ikut menjaga kebersihan. Apakah kebiasaan membuang sampah sembarangan sudah menjadi budaya bangsa kita?

Tapi orang Jakarta bisa sedikit berbangga karena secara umum ibukota sudah lebih bersih dan hijau. Itulah mengapa anak saya melontarkan protes ketika melihat Jakarta tak sekotor yang diduganya. Bocah delapan tahun yang baru pertama kali berkeliling Kota Jakarta, menilai bahwa gambaran Jakarta sebagai kota yang kumuh dan penuh sampah ternyata tidak demikian. “Papa, katanya Jakarta banyak sampah, tapi buktinya nggak ada sampah tuh. Kota Jakarta bersih kok,” ujarnya. Namun dia memprotes keras ketika melihat pengunjung Monas membuang sampah ke dalam kolam. “Pa, kok ibu itu buang sampah ke dalam kolam?”

[caption id="attachment_345542" align="aligncenter" width="300" caption="PERINGATAN UNIK - Peringatan unik pada dinding di sisi Jl Sudirman, Bandung, agar warga tidak membuang sampah sembarangan. Foto diambil pada Rabu, 7 Januari 2015. (eddy mesakh)"]

14207407781881224374
14207407781881224374
[/caption]

Saat di Bandung, saya tertarik dengan sebuah “papan peringatan” yang dipakukan ke tembok di sisi Jl Sudirman. Pada papan itu tertulis; “Di sini buang duit boleh tapi buang sampah jangan/sampah ngak ada yang mungut”. Bunyi pengumuman seperti ini, yang tampaknya dibuat oleh warga, menggambarkan bahwa ada sebagian masyarakat kita yang sudah sangat kesal terhadap perilaku membuang sampah seenaknya. Makanya bunyi pengumumannya bukan lagi “dilarang membuang sampah di tempat ini”, sebagaimana biasanya, tetapi dibuat sedikit nyeleneh seperti itu. (*)

NB: Artikel ini sebenarnya sudah diposting sejak siang tadi, tetapi mengalami masalah teknis sehingga saya hapus dan kembali diposting setelah ada penjelasan dari Admin Kompasiana. Isi artikel telah mengalami sedikit perubahan. (pen)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun