[caption id="attachment_347342" align="aligncenter" width="630" caption="Perkebunan teh di kawasan sekitar Ciater, Subang, Jawa Barat.(Foto: eddy mesakh)"][/caption]
DUNIA masa kini sudah demikian canggih dengan tekologi informasi yang mampu menghubungkan miliaran manusia dalam satu jaringan. Ini sangat memudahkan setiap bangsa lebih mudah dikenal oleh masyarakat internasional. Tetapi teknologi ini seperti pedang bermata dua. Tinggal bagaimana kita secara kolektif mendukung promosi pariwisata Indonesia ke berbagai penjuru dunia sekaligus membantu menekan dampak negatif dari cepatnya aliran informasi.
Soal objek wisata, Indonesialah surganya. Sudah tepat kita (kembali) menggunakan Wonderful Indonesia yang telah dipopulerkan sejak tahun 2011 sebagai merek negara (nation branding) untuk menarik wisatawan dari segala penjuru dunia.
Memperkenalkan Wonderful Indonesia kepada dunia untuk era sekarang terbilang mudah dengan bantuan internet. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) perlu mengampanyekan kepada seluruh masyarakat pengguna internet di Indonesia agar turut aktif membombardir dunia maya dengan tagline itu.
Survei sederhana menggunakan mesin pencarian Google, membuktikan bahwa saat ini tagline Wonderful Indonesia masih kalah populer dibanding “Truly Asia” milik Malaysia. Bila mengetik Wonderful Indonesia, Google menemukan 17,5 juta hasil pencarian, sementara Truly Asia menghasilkan 22,2 juta hasil pencarian. Hanya saja, jika menggunakan “Malaysia Truly Asia”, kita hanya memperoleh 3,16 juta hasil pencarian. Tetapi apabila membandingkan kata “Indonesia” dan “Malaysia” dengan metode yang sama, kita justru unggul jauh. Google menemukan 1,260 miliar hasil ketika kita mengetikkan kata “Indonesia” dan hanya 819 juta hasil pencarian kata “Malaysia”.
Pertanyaannya, apakah satu miliar sekian informasi di dunia maya tentang Indonesia itu bernilai positif atau negatif? Nah, tugas kita saat ini adalah membombardir dunia maya dengan tagline Wonderful Indonesia. Pada saat bersamaan, kita penuhi dunia maya dengan informasi-informasi positif mengenai negeri kita.
Penulis yakin, kita tak butuh waktu lama untuk menenggelamkan tagline Truly Asia milik Malaysia. Ini sangat didukung jumlah pengguna internet di Indonesia yang bahkan jauh melampaui total penduduk negeri jiran itu. Menurut data lembaga riset pasar e-Marketer seperti dikutip Kompas.com, dari 25 negara pengguna internet terbanyak di dunia (2014), Indonesia menempati urutan keenam, setelah Cina, Amerika Serikat, India, Brasil, dan Jepang. Malaysia dan Singapura tak ada dalam daftar 25 negara tersebut. Pengguna internet di Indonesia pada 2014 mencapai 83,7 juta orang. Lembaga itu juga memproyeksi pertumbuhan netter di Indonesia, masing-masing 93,4 juta (2015), 102,8 juta (2016), 112,6 juta (2017), dan 123 juta pada tahun 2018.
Menggerakkan puluhan juta pengguna internet Indonesia untuk melakukan country branding sejalan dengan tujuh produk e-tourism yang telah diluncurkan oleh Kementerian Parekraf, yakni portal pariwisata yang terintegrasi, mobile application, WOI (Wonderful Indonesia) TV, sinetal (sinema digital) dan sinemol (sinema online), digital photo bank, www.indonesiafilm.net, dan Travel Blogger Award 2015.
Sesuai kenyataan
Kita sedang membangun merek Indonesia dengan tagline “Wonderful Indonesia” untuk menarik kunjungan wisatawan asing, maka tentu para wisatawan yang datang berharap memperoleh manfaat sebanding dengan citra yang kita bangun.
[caption id="attachment_347353" align="aligncenter" width="630" caption="Wisatawan menikmati mandi air hangat di objek wisata Sari Ater, Ciater, Subang, Jawa Barat (Foto: eddy mesakh)"]
Lianti Rahardjo, Pengamat Country Branding dari School of Management Binus Bussiness School, dalam artikel berjudul “Indonesia: Do We Really Need Nation Branding?” di Majalah The Marketeers, menjelaskan bahwa bicara soal nation brand, berarti bicara tentang merek suatu negara lengkap dengan atribut yang melekat. Nation brand, sama seperti product brand, sama-sama merupakan kesatuan dari logo, tagline, symbol dan sebagainya yang membedakannya dari kompetitor. Namun ada perbedaan mendasar antara product brand dan nation brand.
Menurut Lianti, tujuan product branding biasanya untuk boosting sales dan membangun relationship dengan konsumen. Sedangkan tujuan nation branding lebih ke arah menciptakan country image. Country image ini dipercaya mampu menarik investasi, turis, penciptaan lapangan kerja, meningkatkan export dan sebagainya. Nation brand itu bukan sekadar bikin tagline, karena tagline tanpa aktivitas nyata di belakangnya hanya sekedar omong kosong. Branding tidak akan bermakna apa-apa ketika elemen lain seperti: kondisi politik, ekonomi, keamanan, dan kondisi lingkungan tidak mendukung. Tidak ada cerita nation branding bisa memulihkan image suatu negara yang kondisinya ekonomi, dan politiknya kocar kacir.
Kerja keras membangun merek negara atau nation branding akan menjadi sia-sia bila tidak diikuti dengan berbagai pembenahan agar citra yang dibangun sesuai dengan kenyataan di lapangan. Thomas Cromwell, seorang konsultan nation branding, memaparkan bahwa keberhasilan nation branding membutuhkan kerjasama dari banyak pihak, mulai dari tokoh paling senior di sebuah negara – dalam pemerintahan dan sektor swasta. “Ini benar-benar membutuhkan kemitraan pada tingkat yang sangat-sangat tinggi,” katanya
Jaminan keamanan
Promosi pariwisata itu ibarat kita mengirimkan pasukan ke medan tempur untuk berhadapan dengan musuh. Meski pasukan kita memiliki semangat tempur tinggi, dipimpin oleh para komandan cerdas, dan didukung logistik berlimpah, jangan harap bisa memenangkan pertempuran jika tentara kita tidak bersatu. Artinya, harus ada keharmonisan di antara para komandan dan antar-sesama prajurit sebelum masuk ke arena pertempuran.
[caption id="attachment_347354" align="aligncenter" width="630" caption="Salah satu sudut di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. (Foto: Eddy Mesakh)"]
Alamnya indah mempesona, adat istiadatnya unik, warisan budaya mengagumkan, bahkan kita memiliki banyak keajaiban dunia, di antaranya sebagai satu-satunya negara di dunia yang memiliki hewan purba komodo. Itu hanya beberapa dari sekian banyak daya tarik Indonesia di mata para traveller dunia. Keunggulan komparatif tersebut akan semakin menarik jika kita mampu merawat dan memeliharanya dengan baik.
Tetapi apakah itu sudah cukup untuk membuat jutaan turis dari berbagai belahan dunia berbondong-bondong ke Indonesia? Belum tentu. Kita juga harus berkompetisi dengan negara-negara lain, terutama negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Myanmar, Filipina, Laos hingga Timor Leste, di mana negara-negara tersebut juga bersolek dan melakukan berbagai upaya menarik wisatawan asing.
Artinya kita juga wajib membangun keunggulan kompetitif lebih baik dari negara-negara tetangga itu dalam upaya mendatangkan sebanyak-banyaknya turis. Branding yang kini kita lakukan melalui tagline Wonderful Indonesia merupakan upaya untuk menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa pariwisata kita lebih unggul dari para pesaing. Tetapi kita harus senantiasa waspada, jangan sampai turis yang tadinya berencana ke Indonesia, justru ‘buang sauh’ di negeri tetangga gara-gara termakan persepsi bahwa Indonesia tidak aman. Bukankah tujuan turis pergi melancong adalah untuk bersenang-senang? Bagaimana mungkin seorang turis bisa bersenang-senang sambil merasa tidak aman? Kecuali si turis memang sengaja bertamasya sambil menguji nyali layaknya acara televisi bertajuk “Fear Factor”.
Faktor keamanan, terutama isu terorisme, harus diakui sangat merusak persepsi Indonesia di mata masyarakat internasional. Padahal, sesungguhnya karakter dasar masyarakat Indonesia sangat ramah dan sopan terhadap sesama maupun terhadap orang asing. Hanya karena tindakan terorisme oleh segelintir orang/kelompok, lantas timbul persepsi bahwa Indonesia tidak aman. Ini ibarat setitik nila merusak susu sebelanga.
Tetapi, membalik persepsi itu tidak bisa dilakukan dengan perang frontal terhadap terorisme. Demikian pula dukungan-dukungan finansial internasional bagi Indonesia untuk memerangi terorisme, perlu dilihat dari dua sisi. Satu sisi, dukungan itu demi membantu kita melawan terorisme. Tetapi pada sisi lain, banyaknya dukungan melawan terorisme dari pihak luar bisa saja terbaca bahwa terorisme di Indonesia sangat gawat sampai-sampai membutuhkan dukungan negara lain untuk melawan mereka. Bukankah ini justru kontraproduktif terhadap promosi pariwisata dan malah menimbulkan persepsi negatif?
Kecerdasan kolektif
Membangun persepsi bahwa Indonesia aman sangat penting dan patut mendapat perhatian serius dari Kementerian Parekraf. Kerja keras dan promosi berbiaya mahal akan percuma bila Indonesia dipersepsikan “tidak aman” oleh masyarakat dunia. Maka dari itu, Kementerian Parekraf perlu ikut aktif dalam upaya memerangi terorisme dengan cara berbeda. Bukan terlibat bersama Densus 88 Antiteror, melainkan “berkoalisi” dengan Kementerian Agama, lembaga/organisasi-organisasi keagamaan, dan Kementerian Pendidikan.
Kerjasama dengan Kementerian Agama dan organisasi-organisasi keagamaan antara lain merangkul semua pemuka agama agar tidak ada lagi ceramah dan khotbah yang menonjolkan perbedaan, melainkan lebih banyak menonjolkan perdamaian dan rasa persaudaraan. Memasukkan tema-tema mengenai pentingnya sektor pariwisata bagi perekonomian bangsa kita ke dalam khotbah-khotbah, diharapkan bisa membangun kesadaran masyarakat dan pada gilirannya, setiap insan di negeri ini merasa ikut bertanggungjawab menjaga keamanan dan keharmonisan hidup bermasyarakat. Hal ini harus dilakukan secara terus-menerus.
Hal sama dilakukan dengan Kementerian Pendidikan agar diterapkan di lingkungan sekolah. Dengan begitu, pada akhirnya masyarakat di berbagai level secara sungguh-sungguh menolak terorisme dan tidak melindungi para pelakunya, apapun alasannya. Kalau perlu, Kementerian Parekraf perlu menyebar brosur-brosur berisi kampanye mendukung pariwisata di tempat-tempat ibadah, sekolah-sekolah, dan lembaga-lembaga pendidikan.
Langkah-langkah tersebut merupakan upaya mengampanyekan kecerdasan kolektif (collective intelligence). Seperti disebutkan di atas bahwa promosi pariwisata ibarat kita maju berperang, di mana setiap warga negara adalah para prajurit yang diharapkan turut mengambil peran sekecil apapun dalam ‘peperangan’ tersebut.
Jika di level individu kita mengenal kecerdasan sosial (social intelligence), maka bagaimana caranya kita bisa membuat kecerdasan sosial itu terus menggelinding dan mewabah seperti virus yang menular cepat hingga membentuk sebuah kecerdasan kolektif. Kecerdasan sosial adalah kemampuan yang mencapai kematangan pada kesadaran berpikir dan bertindak untuk menjalankan peran manusia sebagai makhluk sosial di dalam menjalin hubungan dengan lingkungan atau kelompok masyarakat. Sedangkan kecerdasan kolektif didefinisikan sebagai kapasitas sebuah komunitas manusia untuk berevolusi menuju tingkatan kompleksitas dan keselarasan (harmoni) yang lebih tinggi melalui suatu mekanisme inovasi seperti pemisahan dan penggabungan, persaingan dan kerjasama.
Kecerdasan kolektif akan mampu mencegah terjadinya perpecahan. Masyarakat tak mudah terhasut oleh isu-isu yang berpotensi merusak keharmonisan antar-sesama. Manakala kecerdasan kolektif telah terbentuk, ketika itulah semua warga negara merasa ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan pariwisata. Dan kita sudah memiliki contohnya, yakni di Pulau Dewata, Bali. Lihatlah bagaimana masyarakat di ujung tombak pariwisata Indonesia itu memiliki kesadaran kolektif untuk menjamin keamanan, memelihara sikap terhadap sesama dan terhadap tamu asing, menjaga kebersihan dan merawat lingkungan, bahkan ikut mempromosikan objek dan berbagai potensi wisata melalui berbagai cara ke seluruh dunia.
Akhir kata, mari kita segenap pemilik Indonesia berjuang keras membangun citra bangsa ini sedemikian hebat. Kita ‘masukan’ Indonesia ke dalam mimpi para pecinta traveller di seluruh dunia sehingga mereka mewajibkan diri datang ke Indonesia, minimal satu kali, sebelum akhir hidupnya. Bisa? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H