Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Meriahkan Dunia Maya dengan Tagline Wonderful Indonesia

21 Januari 2015   21:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:40 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kecerdasan kolektif

Membangun persepsi bahwa Indonesia aman sangat penting dan patut mendapat perhatian serius dari Kementerian Parekraf. Kerja keras dan promosi berbiaya mahal akan percuma bila Indonesia dipersepsikan “tidak aman” oleh masyarakat dunia. Maka dari itu, Kementerian Parekraf perlu ikut aktif dalam upaya memerangi terorisme dengan cara berbeda. Bukan terlibat bersama Densus 88 Antiteror, melainkan “berkoalisi” dengan Kementerian Agama, lembaga/organisasi-organisasi keagamaan, dan Kementerian Pendidikan.

Kerjasama dengan Kementerian Agama dan organisasi-organisasi keagamaan antara lain merangkul semua pemuka agama agar tidak ada lagi ceramah dan khotbah yang menonjolkan perbedaan, melainkan lebih banyak menonjolkan perdamaian dan rasa persaudaraan. Memasukkan tema-tema mengenai pentingnya sektor pariwisata bagi perekonomian bangsa kita ke dalam khotbah-khotbah, diharapkan bisa membangun kesadaran masyarakat dan pada gilirannya, setiap insan di negeri ini merasa ikut bertanggungjawab menjaga keamanan dan keharmonisan hidup bermasyarakat. Hal ini harus dilakukan secara terus-menerus.

Hal sama dilakukan dengan Kementerian Pendidikan agar diterapkan di lingkungan sekolah. Dengan begitu, pada akhirnya masyarakat di berbagai level secara sungguh-sungguh menolak terorisme dan tidak melindungi para pelakunya, apapun alasannya. Kalau perlu, Kementerian Parekraf perlu menyebar brosur-brosur berisi kampanye mendukung pariwisata di tempat-tempat ibadah, sekolah-sekolah, dan lembaga-lembaga pendidikan.

Langkah-langkah tersebut merupakan upaya mengampanyekan kecerdasan kolektif (collective intelligence). Seperti disebutkan di atas bahwa promosi pariwisata ibarat kita maju berperang, di mana setiap warga negara adalah para prajurit yang diharapkan turut mengambil peran sekecil apapun dalam ‘peperangan’ tersebut.

Jika di level individu kita mengenal kecerdasan sosial (social intelligence), maka bagaimana caranya kita bisa membuat kecerdasan sosial itu terus menggelinding dan mewabah seperti virus yang menular cepat hingga membentuk sebuah kecerdasan kolektif. Kecerdasan sosial adalah kemampuan yang mencapai kematangan pada kesadaran berpikir dan bertindak untuk menjalankan peran manusia sebagai makhluk sosial di dalam menjalin hubungan dengan lingkungan atau kelompok masyarakat.  Sedangkan kecerdasan kolektif didefinisikan sebagai kapasitas sebuah komunitas manusia untuk berevolusi menuju tingkatan kompleksitas dan keselarasan (harmoni) yang lebih tinggi melalui suatu mekanisme inovasi seperti pemisahan dan penggabungan, persaingan dan kerjasama.

Kecerdasan kolektif akan mampu mencegah terjadinya perpecahan. Masyarakat tak mudah terhasut oleh isu-isu yang berpotensi merusak keharmonisan antar-sesama. Manakala kecerdasan kolektif telah terbentuk, ketika itulah semua warga negara merasa ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan pariwisata. Dan kita sudah memiliki contohnya, yakni di Pulau Dewata, Bali. Lihatlah bagaimana masyarakat di ujung tombak pariwisata Indonesia itu memiliki kesadaran kolektif untuk menjamin keamanan, memelihara sikap terhadap sesama dan terhadap tamu asing, menjaga kebersihan dan merawat lingkungan, bahkan ikut mempromosikan objek dan berbagai potensi wisata melalui berbagai cara ke seluruh dunia.

Akhir kata, mari kita segenap pemilik Indonesia berjuang keras membangun citra bangsa ini sedemikian hebat. Kita ‘masukan’ Indonesia ke dalam mimpi para pecinta traveller di seluruh dunia sehingga mereka mewajibkan diri datang ke Indonesia, minimal satu kali, sebelum akhir hidupnya. Bisa? (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun