Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Meriahkan Dunia Maya dengan Tagline Wonderful Indonesia

21 Januari 2015   21:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:40 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lianti Rahardjo, Pengamat Country Branding dari School of Management Binus Bussiness School, dalam artikel berjudul “Indonesia: Do We Really Need Nation Branding?” di Majalah The Marketeers, menjelaskan bahwa bicara soal nation brand, berarti bicara tentang merek suatu negara lengkap dengan atribut yang melekat. Nation brand, sama seperti product brand, sama-sama merupakan kesatuan dari logo, tagline, symbol dan sebagainya yang membedakannya dari kompetitor. Namun ada perbedaan mendasar antara product brand dan nation brand.

Menurut Lianti, tujuan product branding biasanya untuk boosting sales dan membangun relationship dengan konsumen. Sedangkan tujuan nation branding lebih ke arah menciptakan country image. Country image ini dipercaya mampu menarik investasi, turis, penciptaan lapangan kerja, meningkatkan export dan sebagainya. Nation brand itu bukan sekadar bikin tagline, karena tagline tanpa aktivitas nyata di belakangnya hanya sekedar omong kosong. Branding tidak akan bermakna apa-apa ketika elemen lain seperti: kondisi politik, ekonomi, keamanan, dan kondisi lingkungan tidak mendukung. Tidak ada cerita nation branding bisa memulihkan image suatu negara yang kondisinya ekonomi, dan politiknya kocar kacir.

Kerja keras membangun merek negara atau nation branding akan menjadi sia-sia bila tidak diikuti dengan berbagai pembenahan agar citra yang dibangun sesuai dengan kenyataan di lapangan. Thomas Cromwell, seorang konsultan nation branding, memaparkan bahwa keberhasilan nation branding membutuhkan kerjasama dari banyak pihak, mulai dari tokoh paling senior di sebuah negara – dalam pemerintahan dan sektor swasta. “Ini benar-benar membutuhkan kemitraan pada tingkat yang sangat-sangat tinggi,” katanya

Jaminan keamanan

Promosi pariwisata itu ibarat kita mengirimkan pasukan ke medan tempur untuk berhadapan dengan musuh. Meski pasukan kita memiliki semangat tempur tinggi, dipimpin oleh para komandan cerdas, dan didukung logistik berlimpah, jangan harap bisa memenangkan pertempuran jika tentara kita tidak bersatu. Artinya, harus ada keharmonisan di antara para komandan dan antar-sesama prajurit sebelum masuk ke arena pertempuran.

[caption id="attachment_347354" align="aligncenter" width="630" caption="Salah satu sudut di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. (Foto: Eddy Mesakh)"]

1421824063444020625
1421824063444020625
[/caption]

Alamnya indah mempesona, adat istiadatnya unik, warisan budaya mengagumkan, bahkan kita memiliki banyak keajaiban dunia, di antaranya sebagai satu-satunya negara di dunia yang memiliki hewan purba komodo. Itu hanya beberapa dari sekian banyak daya tarik Indonesia di mata para traveller dunia. Keunggulan komparatif tersebut akan semakin menarik jika kita mampu merawat dan memeliharanya dengan baik.

Tetapi apakah itu sudah cukup untuk membuat jutaan turis dari berbagai belahan dunia berbondong-bondong ke Indonesia? Belum tentu. Kita juga harus berkompetisi dengan negara-negara lain, terutama negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Myanmar, Filipina, Laos hingga Timor Leste, di mana negara-negara tersebut juga bersolek dan melakukan berbagai upaya menarik wisatawan asing.

Artinya kita juga wajib membangun keunggulan kompetitif  lebih baik dari negara-negara tetangga itu dalam upaya mendatangkan sebanyak-banyaknya turis. Branding yang kini kita lakukan melalui tagline Wonderful Indonesia merupakan upaya untuk menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa pariwisata kita lebih unggul dari para pesaing. Tetapi kita harus senantiasa waspada, jangan sampai turis yang tadinya berencana ke Indonesia, justru ‘buang sauh’ di negeri tetangga gara-gara termakan persepsi bahwa Indonesia tidak aman. Bukankah tujuan turis pergi melancong adalah untuk bersenang-senang? Bagaimana mungkin seorang turis bisa bersenang-senang sambil merasa tidak aman? Kecuali si turis memang sengaja bertamasya sambil menguji nyali layaknya acara televisi bertajuk “Fear Factor”.

Faktor keamanan, terutama isu terorisme, harus diakui sangat merusak persepsi Indonesia di mata masyarakat internasional. Padahal, sesungguhnya karakter dasar masyarakat Indonesia sangat ramah dan sopan terhadap sesama maupun terhadap orang asing. Hanya karena tindakan terorisme oleh segelintir orang/kelompok, lantas timbul persepsi bahwa Indonesia tidak aman. Ini ibarat setitik nila merusak susu sebelanga.

Tetapi, membalik persepsi itu tidak bisa dilakukan dengan perang frontal terhadap terorisme. Demikian pula dukungan-dukungan finansial internasional bagi Indonesia untuk memerangi terorisme, perlu dilihat dari dua sisi. Satu sisi, dukungan itu demi membantu kita melawan terorisme. Tetapi pada sisi lain, banyaknya dukungan melawan terorisme dari pihak luar bisa saja terbaca bahwa terorisme di Indonesia sangat gawat sampai-sampai membutuhkan dukungan negara lain untuk melawan mereka. Bukankah ini justru kontraproduktif terhadap promosi pariwisata dan malah menimbulkan persepsi negatif?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun