Mohon tunggu...
eddy lana
eddy lana Mohon Tunggu... Freelancer - Eddylana

Belajar menjadi tukang pada bidang yg dinamis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tempolong Merah Membara

4 April 2021   23:48 Diperbarui: 4 April 2021   23:57 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wanita muda itu mengeluarkan tubuhnya dari dalam angkot. Kendaraan umum yang ditumpangi nya itu berhenti tepat didepan sebuah gedung. Langkahnya langsung terayun memasuki halaman gedung setepat tapak sandalnya menyentuh aspal . 

Pelataran dihalaman gedung itu terhampar cukup luas. Tetapi, cuma ada beberapa mobil dan motor yang teronggok sporadis di pelataran parkirnya. Bangunan tua peninggalan Belanda itu cukup luas. Melebar sejak tepi kanan sampai ujung tepi kiri. Dan dari depan memanjang kebelakang, dengan beberapa bangunan kecil  berada disebelah kirinya. 

Begitu masuk pintu utama, dia harus belok kiri d langsung belok kanan pada belokkan pertama. Lalu jalan lurus sampai akhirnya dia bisa sampai ruangan gawat darurat. Begitu jawaban yang diterimanya dari seorang petugas wanita dimeja informasi diruang paling depan. 

Sejak dari tempat pakir depan,  beberapa orang yang berpapasan dengannya melepas pandang aneh kearahnya, si wanita muda pun  bisa merasakan hal itu. Tetapi tampaknya dia tak sedikitpun menggubrisnya. Sepertinya, kepalanya masih dipenuhi beribu tanya tentang keadaan neneknya saat ini. Semalam, dia mendapat kiriman es-em-es dari tantenya. 

Siang kemarin, pihak Rumah sakit menelpon tante tentang keadaan nenek. Nenek kritis, sekarang beliau ada di ruang gawat darurat, kami menunggu kau dan suamimu diruangan itu. 

Akhirnya, kakinya sampai di pintu ruang gawat darurat. Sejak dari rumah, dadanya sudah terasa sesak oleh berbagai kekhawatiran pada situasi neneknya. Apalagi ditambah kata kritis pada es- em- es yang dikirim tantenya. Langkahnya diayun memasuki ruangan berhawa dingin itu. 

Sekilas, dia menyapukan pandang keseluruh  ruangan. Diantara lima buah tempat tidur didalamnya, cuma ada dua pasien yang menempatinya ,   langkahnya melewati tiga tempat tidur kosong sebelum sampai ditempat, dimana neneknya terbaring lunglai. 

Dia mencium tangan kedua tantenya yang duduk disebelah kiri tempat tidur. Kedua tantenya bangun bersamaan dan memeluk siwanita bergantian. 

" Suamimu gak ikut? " Tanya tante nya yang  berjilbab hijau berbunga dengan wajah penuh tanya. Kembali kepala si wanita muda menggeleng pelahan tanpa menjawab. 

Tantenya yang satu lagi sepertinya juga hendak mengajukan sebuah pertanyaan. Matanya menangkap sebuah kejanggalan lewat pakaian yang dikenakan keponakannya. Agak kusut dan tampak sedikit kotor. Di keningnya terlihat sisa bercak darah yang tampaknya diseka sekenanya. Mungkinkah pasangan  yang sudah lima tahun berumah-tangga ini mempunyai masalah KDRT? 

Tetapi pertanyaan itu batal diucapkan.  Karena  sang kakak yang berjilbab hijau telah memberi isyarat dengan mengerdipkan mata padanya. Gagal membuat pertanyaan, dia menggantinya dengan mempersilahkan keponakannya itu untuk duduk. Tetapi si wanita muda menolak lembut dengan berbasa- basi. 

Sebuah selang kecil terlihat meluncur dari sebuah tabung yang tersandar didinding, dan berakhir dilubang hidung nenek. Dan sebuah selang lagi yang meluncur dari tabung infus, melekat dipergelangan tangan kirinya dengan sebuah jarum tertusuk diurat nadinya. 

Si wanita terisak kecil, tubuhnya bergerak ke sisi kanan nenek. Selimut didada orangtua itu terlihat turun naik dengan cepat. Wajah nenek terlihat begitu pucat dengan mata tertutup rapat. Si wanita bisa melihat, betapa Kerutan -kerutan  diwajah nenek tampak kian bertambah. Dia tak mampu membayangkan, bagaimana penderitaan nenek  terisolasi selama kurun waktu sedemikian lama, dirumah sakit itu. 

Tanpa terasa, sebulir air bening menggelincir di sudut pelupuk matanya. Sudah sepuluh tahun lebih nenek terpaksa harus di-isolasi di sebuah kamar digedung rumah sakit ini. Berarti juga, selama itulah dia terpisah dari neneknya. Walau sesekali mereka membesuk nenek digedung itu, tetapi wanita muda itu tetap saja merasakan kehilangan yang sangat pada kehadiran sosok wanita tua itu. 

Waktu dia masih kecil, nenek adalah segalanya bagi dia. Tertawa bersama atau satu yang amat disenanginya, yaitu diajak pergi kepasar. Pulangnya pasti tangannya bakal menenteng sekantong plastik, berisi kue kesukaannya pemberian nenek. 

Nenek gemar mendongeng untuknya. Beliau mahir mengisahkan bermacam cerita atau legenda, seperti Malin kundang, siti Nurbaya atau bahkan tentang dunia binatang. 

Belum lekang dari ingatannya dongeng terakhir dari nenek untuknya. Sebuah hikayat tentang seorang Ibu dan anak yang ditinggal ayahnya yang tidak bertanggung jawab. Mereka hidup terlunta- lunta dalam kemiskinan, dan akhirnya sang Ibu memutuskan untuk mengakhiri hidup mereka berdua dengan cara bunuh diri. 

Untunglah, seorang Dewa yang tahu kejadian itu, segera memberi jalan kehidupan yang lebih baik untuk mereka. Sang Dewapun memberikan nasib baru dan menghadirkan seorang laki-laki, sebagai suami baru yang penuh tanggung jawab dan menyayangi mereka. 

Tiba-tiba sebuah tanya menyentak di telinganya, hingga membuyarkan lamunannya. 

" Kau bawa tempolongnya? " suara seorang tantenya membangunkan si wanita dari lamunannya. Kepalanya mengangguk tanpa menjawab. 

" Dua buah? " tanya tantenya menyusul.  Untuk kedua kali sigadis mengangguk tanpa mengeluarkan suara. 

" Warnanya ? " Ringkih tante lainnya. 

" Keduanya berwarna merah membara. " Si tante terangguk angguk seolah setuju dengan warna yang disebutkan keponakannya. Itu adalah satu satunya warna  yang tak dapat ditukar atau diganti. Warna pilihan mutlak dari nenek. 

" Tunggu apalagi? Segera berikan satu buah ke nenek " tambah si tante seolah mengingatkan. 

Si wanita membuka bungkusan plastiknya. Mengeluarkan sebuah tempolong kecil berwarna merah membara, yang terbuat dari tembikar. Dan segera menyorongkan kedalam genggaman nenek. 

Tangan nenek yang tadi terlihat lemah, seketika berubah bak seekor ular yang membelit mangsa. Setepat leher tempolong menyentuh jemarinya.  

Sebuah lenguhan parau menggerogok keluar dari mulutnya. Kelopak matanya membuka sedikit sembari mendekatkan tempolong itu kedekat mukanya. Dan wajah yang tadi terlihat memelas kini berubah lebih tenang. Si gadis sedikit merasa lega, tampaknya nenek terhibur dengan tempolong di genggamannya. 

Tanpa sadar, dia kembali terbuai kedalam lamunannya. Menyisir masa lalu kecilnya, dimana riuh ceriah masih berpendar didalam lingkungan mereka. Ayahnya yang kerap menggendongnya, atau sang kakek yang juga kerap membelikannya pengganan dan sering menuruti kemauan cucunya semata wayang. 

Tetapi, dia yang saat itu masih kecil, sungguh tak mengerti mengapa semua keceriahan itu mendadak harus berakhir. Kakek tersayang tiba-tiba tiba menghilang dari sisinya. Dan tak berapa lama, ayahnya juga raib dari kehidupannya. 

Cuma yang masih diingatnya, betapa kehidupan di rumah nenek berubah menjadi kemurungan. Setelah kakek menghilang, nenek bekerja mengambil pakaian kotor untuk dicuci. Dan setelah itu pergi kepasar, dan pulang membawa berkilo kilo ketela mentah. Beliau membuat kripik untuk dijajakannya dari kampung kekampung. 

Ada hal aneh pada sikap  nenek kala itu. Dia sering memergoki beliau menghabiskan waktunya disaat senja. Duduk di teras rumah menghadap ke sebuah jalan kecil didepan rumah. 

Sebuah tempolong tembikar berwarna merah membara berdiri diatas pilar selutut pembatas teras. Kadang, setelah termanggu beberapa saat, nenek menurunkan wajahnya dekat kemulut tempolong. 

Dan sigadis bisa menyaksikan, betapa sorot berapi api yang keluar dari mata nenek, ketika beliau menyemprotkan dengan keras sisa air sirih dari mulutnya. Terkadang, tempolong itu bergoyang akibat kerasnya semburan cairan dari mulutnya. . Dan kejadian itu terus berulang hingga lengking suara azan bada isya mendengking dari surau. Hal itu bertahan sampai bertahun tahun sebelum nenek terpaksa harus terisolasi ditempat sekarang ini. 

Si wanita tak perlu menunggu lama untuk menguak keanehan sikap nenek. Lewat mulut tetangga, terbukalah apa penyebab dari timbulnya keanehan sikap laku nenek selama ini. 

Nenekmu berubah sikap setelah kakekmu minta izin untuk menikah lagi. Beliau melawan dengan keras keinginan kakek mu itu. Bahkan walau kakekmu sudah berupaya mendatangkan beberapa ahli agama yang menerangkan bahwa poligami itu diiizinkan. 

Para ahli itu menekankan bahwa lebih baik beristeri lagi ketimbang berzina atau melacur. Tetapi nenekmu seperti batu karang dan tak pernah menyerah pada keinginan kakek. Intinya, beliau tak mau dimadu.

 Aku tak bisa menyimpan dendam yang sepanjang hari pasti akan terus bertambah, kalau menerima diduakan. Bukankah itu sama saja membuat suami ku juga berdosa. Demikian alasannya setiap kali kami bertanya mengapa dia menolak

Perceraipun terjadi, kakekmu yang sudah bulat niatnya untuk mempunyai isteri baru,  meninggalkan nenekmu. 

Sepeninggal kakek, nenekmu menyibukkan dirinya. Pertama, mencucikan pakaian yang diambil dari kampung ke kampung. Dan kemudian menyibukkan dirinya membuat kripik sanjai.

Semula kami tak mengerti, mengapa dia menambah bebannya dengan kripik sanjai nya. Padahal, penghasilannya dari mendobi saja sudah cukup menghidupi keluarganya kala itu. Apalagi setelah ibumu menikah, kemudian tinggal serumah, bebannya sedikit berkurang dengan hadirnya bapakmu. 

Setelah kejadian itu, agak lama juga, kami para tetangga baru menyadari, bahwa beliau telah menerima tekanan batin yang amat berat. Kejadian itu menghempaskan beliau terlalu dalam. Kekecewaan, rasa kehilangan, dendam kesumat, rasa benci, semua terpilin menjadi satu. Bagai seutas tambang yang pelahan membelit seluruh kehidupan dan nafasnya. 

Tak hanya itu, kamipun akhirnya maklum, tentang tempolong yang menjadi sasaran beliau untuk melepaskan api dendam yang berkobar dari dalam hatinya.  Warna tempolong nya yang merah bak api membara saja seolah sudah mewakili perasaan beliau saat itu. 

Mendadak, si tante berjilbab hijau menyolek bahunya. " Pergilah! Bawa tempolong itu kepada ibumu. " desak si tante pada keponakannya. 

Si wanita muda terlengak, mengapa dia bisa terlupa akan ibunya. Mendadak bayangan ibunya menjejali bilik- bilik di benaknya. Ibuku sayang, Ibuku malang. Ibunya dirawat dirumah sakit yang sama dengan neneknya, setelah menolak kemauan Ayahnya yang hendak menikah lagi. Ayah pun meninggalkan mereka tanpa kabar berita. Ibu dirawat setelah menunjukkan gejala aneh yang serupa seperti nenek. 

" Aku ikut, kemarin aku belum sempat menengok kakak ku itu" ujar yang berjilbab hijau sambil berdiri dari duduknya. Langsung saja tangannya menggamit si wanita muda. Berdua mereka beranjak keluar ruangan. 

Pandang si wanita muda berkeliaran dilorong menuju bangsal isolasi, dimana ibunya berada. Sanatorium khusus penderita penyakit jiwa ini sungguh sangat terawat. Ruangan nya bersih dan rapi, pendingin ruangan juga terpasang pada ruang- ruang tertentu. 

Tante dan keponakan hampir sampai diruang isolasi dimana ibunya berada. Jenderal jendela berteralis besi itu kini sudah berada didepan mata. 

Tiba- tiba terdengar derap sepatu berbunyi dibelakang mereka. Dua wanita itu mendadak terkejut saat dua orang polisi wanita muncul dan mendahului langkah mereka. Lalu dua orang petugas polisi pria muncul dan mengapit si wanita muda. 

" Maaf saudari Upik, Anda kami tahan untuk dibawa ke kantor polisi guna dimintai keterangan! " seru seorang dari polwan itu setelah menghadapkan tubuhnya pada si wanita muda. 

Di wajah sang Tante meruap rasa kejut yang sangat. Langsung tatapnya terlontar tajam ke wajah keponakannya. Yang ditatap cuma menundukkan wajahnya dalam ke lantai. 

"Ada apa dengan keponakannya saya? " seru si jilbab hijau tak mengerti. 

" Keponakan ibu diduga telah membunuh suaminya tadi malam. " jawab seorang polwan. 

"Upik...! " mata si tante terbeliak seolah tak percaya pada penjelasan polisi wanita itu. Setengah menjerit si tante menyebut namanya, sementara wajahnya seolah meminta penjelasan pada si wanita muda. 

" Dua memukuli aku, setelah aku menolak permintaannya untuk kawin lagi, alasannya, lima tahun kami menikah tapi tak kunjung dikarunia anak. " sahut si wanita muda dalam tunduk nya. 

" Upik khilap tante. Bayangan ibu dan nenek langsung berdesakkan dibenakku setelah dia menganiayaku. Lalu.. semua itu terjadi begitu saja.." 

Sejenak, keluar isak berat si wanita berjilbab hijau. Kedua tangannya segera memeluk erat si wanita muda di- iring pecahan tangisnya. 

Sayup- sayup terdengar samar sebuah teriakkan dari sebuah kamar dilorong itu. Teriakkan itu terdengar begitu lirih dan memilukan. 

" Tempolong ku... mana tempolong ku.. " dan suara itu terus berulang memantul  pada dinding- dinding lorong diruang isolasi itu. 

citayam 01/08/15<>04/04/21

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun