Timnas Indonesia bagai tersandung batu, setelah kalah dari China 1:2 beberapa waktu yang lalu. Namun hendaknya dukungan itu  tak goyah karena kekalahan,  justru dukungan itu sangat diperlukan  ketika kalah bertanding. Tulisan ini mewakili pencinta sepak bola tanah air sebagai bentuk dukungan bagi Timnas Indonesia.Â
Manis-manis jambu, sebuah ungkapan di tanah Betawi yang menggambarkan ada sisi manis dan sepetnya. Seperti halnya pro dan kontra mengenai naturalisasi beberapa saat yang lalu.Â
Perbedaan pendapat dalam salah satu kebijaksanaan Persatuan Sepak Bola Indonesia itu  sejujurnya suatu hal yang wajar dalam kehidupan berdemokrasi, termasuk dalam olah raga sepak bola di negara ini. Namun melihat, merasakan, berkontribusi pendapat  dan mencari jalan keluar dari setiap kesulitan memang hanya milik "penggila bola" dan bukan yang lain. Â
Pendapat kritis tentang naturalisasi oleh tokoh nasional itu didasari kecintaan pada bangsa ini khususnya sepak bola nasional, Â namun dari sudut pandang yang berlawanan, bisa jadi karena terlalu menghayati peran sebagai oposisi hingga terbawa dalam urusan sepak bola.Â
Tentunya program naturalisasi itu tak sekedar sebuah perubahan tapi dibaliknya ada keuntungan bagi perkembangan sepak bola nasional yang mungkin saja tak  terjangkau melalui cara berfikir filosofis itu. Â
Catatan prestasi
Fakta itu tidak hanya tersingkap di "meja hijau". Namun  lapangan hijaupun menyimpan fakta dan catatan prestasi tim nasional.Â
Kala  itu  kata naturalisasi  tidak terdengar bahkan nama Indonesia  belumlah lahir. Kesebelasan itu bernama Hindia Belanda, yang berlaga di piala dunia di tahun 1938 berseragam  kaos oranye, celana putih dan kaus Kaki biru.  Para pemain merupakan pemain campuran diantaranya adalah, Sutan Anwar, Leen Van Beuzekom, Jan Harting , Achmad Nawir, Tan Hong Djien dan lain-lain.Â
Prestasinya tidak menggembirakan dimana Hindia Belanda saat itupun "menyerah tanpa syarat" Â dari Hungaria 0-6.Â
Setelah merdeka di penyisihan Pra Piala Dunia tahun 1986, Tim Nasional  Garuda nyaris menembus piala dunia di era kepelatihan Sinyo Aliandoe. Sebelum kalah aggregate 1:6 dari Korea Selatan.Â
Saat ini perjuangan menuju Piala Dunia itu menjadi buah bibir Karena suatu perubahan yaitu naturalisasi.
Kenapa Harus Naturalisasi
Perjalanan menggapai piala dunia itu semenjak dari jaman Hindia Belanda hingga saat ini, sudah melebihi sebuah siklus  perjuangan, jika saja merujuk pada perjuangan  Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam sebelum wafatnya. Namun Tim Nasional Garuda itu tak kunjung menancapkan cakarnya di perhelatan akbar  sepak bola dunia itu. Â
Sebagai pengingat bahwa  negara Amerika yang nota bene "anak kemarin"  dalam urusan sepak bola sudah "unjuk gigi" di piala dunia. Sehingga muncul  pertanyaan penting yaitu, " mau nambah berapa periode lagi, sebelum mencapai piala Dunia?" ( tentu saja senyum-senyum penuh arti mendengar kata penambahan berapa periode. )
Melihat catatan prestasi yang sendu dan melelahkan  itu rasanya sepak bola nasional ini sudah mencapai ujung perempatan jalan dimana kita harus mengubah arah, menjadikan naturalisasi ini  "sebilah galah" untuk melompat lebih tinggi.  Yang faktanya hingga saat in sudah menorehkan beberapa prestasi kecil dan memperbaiki peringkat dari organisasi sepak bola dunia itu. Â
Perubahan arah kebijakan naturalisasi di atas diilhami sebuah pernyataan,Â
" The definition of insanity is doing the same thing over and over and expecting different results"
Pernyataan di atas Konon khabarnya berasal dari ahli fisikawan yaitu, Albert Einstein ( 1879-1955 ). Namun berdasarkan Kompas.com tanggal 8 Augustus 2022, kemungkinan besar pernyataan tersebut berasal dari kutipan buku, Alcoholics Anonymous.Â
Perubahan itu  memang menjadi keharusan untuk berharap hasil yang berbeda, hingga komentar, " Lebih baik kalah terhormat daripada menang atau seri dengan cara merendahkan martabat bangsa". terjawab oleh catatan sejarah prestasi itu sendiri, yang  menjelaskan bahwa sudah lama kita "terlena  dihormati" dalam bidang sepak bola dan jika tidak berubah maka gelar "kalah terhormat" itu bertambah denganÂ
" insanity " Â di atas. Â Â Â
Harapan  Naturalisasi
Dalam cabang olah raga bulutangkis, naturalisasi itu berbalik arah, pemain kita menjadi incaran  negara lain yang ingin berprestasi. Sehingga kita semua sepakat bahwa  kunci dari naturalisasi pemain itu adalah prestasi.  Sebelum polemik  naturalisasi di sepak bola ini menjamur,  justru bulu tangkis sudah memberikan pelajaran lebih dahulu tentang naturalisasi.Â
Berprestasi di piala dunia dalam cabang sepak bola akan memberikan efek bola salju yang sangat menguntungkan. Prestasi itu sebuah promosi efektif yang akan membuka banyak pintu yang selama ini tertutup, karena prestasi yang suram di piala dunia khususnya. Â
Dengan adanya program naturalisasi ini kita semua layak berharap akan muncul sebuah perbedaan hasil dari apa yang diperjuangkan  semenjak dari bernama Hindia Belanda hingga kini.  Â
Di ajang piala dunia itu semua mata memantau untuk menawarkan peluang terbaik.  Sehingga berprestasi di ajang piala dunia menjadi daya ungkit bagi perkembangan sepak bola nasional. .  Â
Jika tidak berprestasi maka, hal itu Secara tidak langsung dirasakan  para pemain nasional yang berkarir di luar negeri. Â
Direkrut tapi terpinggirkan atau jarang sekali mendapat kesempatan untuk bermain, sesuatu yang sangat miris dirasakan. Seperti Arhan Pratama Ramadhan atau Juga Marselino Ferdinand.Â
jIka saja Tim Nasional lebih berprestasi di tingkat dunia para pemain nasional tersebut  tak akan sebegitu mudahnya mendapat perlakuant itu .
Memang harus berandai-andai bahwa para ahli komentar mengerti sejauh ini. .  Â
Akhirnya Naturalisasi memang harus dilihat Secara keseluruhan, sehingga tak seperti melihat gajah di pelupuk mata.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H