Mohon tunggu...
eddy flo fernando
eddy flo fernando Mohon Tunggu... -

belajar nulis sejak sekolah dasar dan bercita-cita jadi penulis, malah nyasar di dunia broadcast. untuk menghibur diri dan memenuhi ambisi masa kecil coba-coba nulis lagi di blog.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sekelumit Kisah dari Ladang Ayahku

19 Februari 2010   05:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:51 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-dalam kenangan penuh kasih buat ayahanda tercinta-

Di musim hujan seperti ini, aku selalu terkenang ayahku. Entah mengapa di balik derai hujan dan selubung malam, aku melihat sosoknya berjalan menuju ke rumah kami yang masih beratap rumbia. Ayah baru pulang dari ladang yang berada di atas bukit. Beliau seorang peladang yang tabah, ia menafkahi kami dengan hasil ladang yang tentu saja sangat bergantung pada musim. Jika hujan berkepanjangan, peluang untuk gagal panen begitu besar demikianpun sebaliknya. Bila panas melewati batas ketahanan tanaman padi dan jagung, ayahku tak bisa menuai apa-apa dari ladangnya.

Salah satu pengalaman yang tak terlupakan dari pekerjaan ayahku adalah ketika aku dan ayah harus tidur di ladang menjaga hama yang menyerang tanaman. Saat-saat seperti itulah yang paling aku nantikan. Soalnya di malam hari saat kami berjaga, ayah selalu mendongengkan banyak cerita dan legenda kepadaku. Semua dongeng dan cerita yang dikisahkan ayahku terdengar begitu mengharu biru. Mulai dari kisah putri dan pangeran kaya sampai dengan saga seorang anak yatim piatu yang berjuang menempuh hidupnya hingga berakhir bahagia. Ayahku seorang pencerita yang ulung, sampai pada bagian pelakunya bersenandung, ayah juga bernyanyi sehingga aku larut dalam kisah pelaku utamanya. Tak jarang aku ikut menangis jika pelakunya menderita atau merana. Aku tak pernah tertidur bila mendengar ayahku bercerita.

Bila pagi datang, ayah membangunkanku dan menyuruhku bergegas mempersiapkan diri berangkat ke sekolah. Beliau selalu berpesan, rajinlah belajar dan janganlah mengikuti jejaknya yang bekerja dibawah terik matahari dan dinginnya guyuran hujan. Pesan itu bagiku semacam tantangan untuk menjadi yang terbaik buat ayah dan keluarga.

Lazimnya sepulang sekolah aku langsung menuju ladang kami menemani ayah. Pertanyaan pertama ketika aku tiba adalah apa yang diajarkan di sekolah dan berapa nilai yang aku dapat bila ada ulangan atau ujian. Kalau aku bisa mengulang dengan lancar atau nilaiku sepuluh, ayah memberikan makanan berupa umbi-umbian hutan yang rasanya enak dan renyah. Katanya, biar ayah kamu petani tapi otakmu jangan kalah dengan anak-anak yang orang tuanya guru atau pegawai. Aku baru sadar sekarang kalau ayahku memberikan motivasi besar bagiku untuk belajar dan terus belajar.

Aku bahagia memiliki hubungan yang akrab dan dekat dengan ayahku. Pernah suatu malam ketika kami menginap di pondok yang berada di tengah ladang, ayahku menanyakan cita-citaku. Aku bilang ingin jadi guru, ayahku agak keberatan karna dia merasa tak sanggup membiayai pendidikanku. Kemudian ayah menganjurkan aku masuk sekolah negeri lantaran murah dan peluang untuk mendapatkan beasiswa ada. Anjuran itu beralasan sebab ayahku mendapat keterangan dari guru-guru sekolahku kalau aku termasuk murid yang cerdas. Selain itu dalam pertimbangan ayahku dengan masuk sekolah negeri aku bisa melanjutkan pendidikanku ke stpdn sekolah tinggi pemerintahan dalam negeri biar bisa jadi camat :) Wah, ini benar-benar mimpi besar ayah terhadap aku.

Ayah tetap pada pendiriannya sampai aku selesai kuliah. Apalagi setelah wisuda aku mendapat tawaran menjadi salah satu pegawai di kecamatan. Aku menolak tawaran itu dan lebih memilih mengadu nasib di Jakarta. Keputusanku itu awalnya ditentang ayah tapi setelah aku jelaskan maksudku, beliau bisa menerimanya. Ketika aku pamit hendak ke Jakarta, saat itulah pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat ayahku menitikan air matanya. Aku memeluknya dan berjanji akan kembali setelah dua tahun di Jakarta.

Dua tahun kemudian setelah berada di Jakarta, kira-kira pukul enam pagi aku mendapat telepon dari keluarga yang mengabarkan kepergian ayahku ke seberang cakrawala emas. Sesaat aku terdiam seraya mengenang kembali masa-masaku bersama ayah. Aku menyeka airmata namun masih bisa tersenyum sebab aku tetap merasa dekat dengan ayahku. Enam jam penerbangan menuju rumah, kudapati ayah sudah terbujur dalam pusara. Kudekap bagian kaki pusara sambil meminta maaf karna tak sempat berada disisinya sebelum menghembuskan nafas terakhir, i am sorry, Dad. You're always in my heart.

Kini setelah tahun-tahun berganti, aku selalu merasa ayahku ada bersamaku. Semua cerita dan dongengnya tetap menginspirasi perjuangan hidupku. Impian dan rencananya akan selalu kujaga sebagai wasiat kepada keluarga dan anak cucuku nanti. Aku selalu berdoa, semoga ayah bahagia di Surga. Dad, rest in peace, i will always love you. You're my great hero...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun