Gambar 4. Fungsi organisasi pengelola PBB P2
Fungsi baru yang perlu dibentuk dalam organisasi pemda adalah fungsi pendataan dan penilaian. Sedangkan fungsi lainnya bisa dimaksimalkan dengan fungsi-fungsi organisasi yang selama ini telah ada, tentunya dengan terlebih dahulu melakukan transfer knowledge dan upgrade ilmu bagi pengelolanya nanti. Berbicara tentang organisasi tentunya akan langsung terkait dengan SDM pengelolanya. Paling tidak diperlukan SDM yang mampu menangani 3 bidang baru yaitu:
- 2 orang D1/D3 bidang IT,
- 5 orang D3/S1 bidang Pendataan dan Penilaian,
- 4 orang D1/D3 bidang Pelayanan umum PBB P2,
Terkait dengan SDM yang perlu dilakukan setelahnya adalah melakukan pendidikan dan pelatihan yang terdiri dari 3 tahap:
- Pendidikan dan pelatihan pengelolaan PBB P2 secara umum,
- Pendidikan dan pelatihan PBB P2 lebih spesifik (pendataan, penilaian, penetapan dan lain-lain),
- Pemagangan di KPP Pratama.
3. Sarana dan prasarana. Sarana dan prasara yang perlu disiapkan oleh pemda Kabupaten/Kota paling tidak meliputi 3 aspek antara lain:
- Tempat Pelayanan yang akan menerima paling tidak 19 jenis pelayanan dan tempat penerima pembayaran PBB P2,
- ATK yang meiputi blangko SPPT, blangko STTS, blangko DHKP, ribbon HS printer, blangko pendukung lain seperti SPOP, LSPOP dan Pelayanan,
- Perangkat IT yang meliputi hardware, software, data dan dokumentasi.
Keseluruhan sarana dan prasarana tersebut tentunya disesuaikan dengan kebutuhan pemda masing-masing. Kebutuhan tersebut sangat tergantung pada jumlah data yang akan dikelola. 4. Kerjasama dengan pihak terkait. Kerjasama dengan pihak-pihak terkait perlu dibangun kembali oleh pemda setampat mengingat kerjasama yang selama ini terjalin antara pihak-pihak tersebut dengan Dirjen Pajak akan segera berakhir seiring dengan beralihnya PBB P2 ke pemda. Kerjasama yang perlu dibangun adalah antara lain dengan:
- Bank penerima pembayaran, termasuk pembukaan rekening penerimaan PBB P2 di bank yang sehat dan pembukaan payment point. Perlu juga dipikirkan untuk tetap dikembangkan payment online system (POS) seperti yang selama ini sudah berjalan,
- Kas daerah,
- BPN,
- PPAT Notaris,
- Kantor lelang.
5. Sosialisasi. Sosialisasi peralihan pengelolaan perlu sedini mungkin dilakukan terutama kepada pihak-pihak sebagai berikut:
- Internal Pemda (lurah, camat, petugas pemungut, RT/RW dan petugas lainnya), DPRD, Propinsi,
- Bank-bank penerima pembayaran,
- Instansi terkait à BPN, Notaris PPAT, Kantor lelang,
- Asosiasi properti à REI dll,
- Asosiasi Notaris,
- Developer properti,
- Pemuka masyarakat,
- Masyarakat umum.
6. Anggaran. Bagian yang sangat penting lainnya adalah penganggaran atas seluruh persiapan yang telah direncanakan di atas. Anggaran perlu segera disiapkan dalam APBD pemda masing-masing. Anggaran yang dibutuhkan antara lain untuk keperluan:
- Pengadaan Sarana Pelayanan,
- Pengadaan ATK,
- Pengadaan IT (hardware dan software),
- Pengadaan POS,
- Pelatihan SDM,
- Sosialisasi dan launching.
Apa dampak yang mungkin terjadi dengan adanya pengalihan ini ? Pengalihan pengelolaan PBB P2 ke pemerintah daerah tentunya akan menimbulkan dampak tertentu bagi pemerintah daerah maupun masyarakat yang bersangkutan. Namun demikian diharapkan dampak yang timbul akan lebih bersifat positif. Diharapkan dengan adanya pengalihan pengolaan PBB P2 ini maka:
- Akurasi data objek dan subjek PBB P2 akan semakin meningkat karena pemerintah daerah tentunya lebih menguasai wilayahnya dibandingkan dengan aparat pemerintah pusat,
- Pemda diharapkan lebih memiliki keberanian dalam melakukan penyesuaian NJOP karena penentuan NJOP yang dilakukan pemerintah pusat selama ini dinilai masih banyak yang under value;
- Pemberdayaan local taxing power melalui kewenangan penuh daerah dalam penentuan tarif dan pengelolaan administrasi pemungutan untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas,
Namun demikian perlu juga dicermati bahwa dengan PBB P2 yang akan dikelola sendiri oleh pemda maka otomatis pemda harus mengeluarkan biaya baik biaya untuk investasi awal maupun biaya operasional per tahun sehingga perlu dilakukan kajian cost and benefit yang optimal. Disamping itu dengan tidak adanya lagi pola bagi rata penerimaan keseluruh wilayah Indonesia maka kemungkinan kesenjangan penerimaan PBB P2 antar daerah akan semakin melebar terutama antara daerah perkotaan dan pedesaan. Hal ini disebabkan karena disparitas potensi pajak properti antara kota dan desa masih cukup jauh. Daerah yang semula hanya mengandalkan bagi hasil PBB P2 dari pemerintah pusat akan cenderung mengabaikan pemungutan PBB P2 karena dianggap sistem administrasinya yang sulit, kompleks dan biaya pengeloaannya tinggi sedangkan penerimaan pajaknya kecil. Sementara itu untuk daerah perkotaan dan industri akan semakin gencar menggenjot potensi pajak propertinya baik dengan cara menyesuaian NJOP maupun dengan cara menaikkan tarifnya untuk meningkatkan PAD-nya. Sehingga dimungkinkan akan terjadi keberagaman kebijakan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Keberagaman tersebut dapat terlihat dari perbedaan penerapan besaran tarif dan NJOPTKP. Keberagaman penerapan kebijakan tersebut tentunya dapat menimbulkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat. Kita semua tentunya berharap agar proses devolusi ini berjalan baik dan berkesinambungan dengan kebijakan sebelumnya. Artinya konsistensi penerapan kebijakan sebelum dan setelah devolusi harus benar-benar terjaga siapapun yang mengelola, sehingga dapat meminimalisasi terjadinya gejolak sosial di masyarakat. Disamping itu akurasi data objek dan subjek pajak yang sudah ada akan semakin meningkat dan terjaga dengan baik. Kualitas pelayanan terhadap permasalah penetapan PBB P2 yang mungkin timbul akan semakin baik. Terakhir tentunya stabilitas penerimaan pajak sebagai salah satu penopang PAD daerah akan tetap terjaga. eddiwahyudi@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H