Mohon tunggu...
Eddie MNS Soemanto
Eddie MNS Soemanto Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Humor

Buku puisinya Konfigurasi Angin (1997) & Kekasih Hujan (2014). Saat ini bekerja di sebuah perusahaan otomotif.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Khotbah

13 Juli 2010   18:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:53 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

GOENAWAN Mohamad dalam Catatan Pinggir, Tempo 18 April 2010 menulis, 'Generasi kini hidup dikepung oleh gambar dan suara (dan di Indonesia, sembilan dari 10 rumah mempunyai pesawat TV) dan diberondong khotbah di rumah, di tempat ibadah, atau di televisi….' Sampai di sini saya senyum sendiri. Karena jujur, khotbah itu juga hadir di kantor saban hari.

Khotbah menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu – Zain, berasal dari bahasa Arab yang berarti pidato, wejangan yang disampaikan khatib di mesjid sebelum salat Jumat. Jelas, khotbah di sini, mempunyai pengertian kepada kita memberikan sesuatu yang berguna semacam nasehat baik untuk saat ini maupun nanti (di akhirat). Substansinya khotbah sangat berhubungan sekali dengan ketuhanan, agama, atau hal-hal tentang kebajikan.

Namun saat ini pemakaian kosakata khotbah –atau sering diucapkan orang juga dengan khutbah- sepertinya mengalami perluasan dalam pemakaian ataupun pengucapan. Khotbah bukan lagi berisi tentang nasehat atau wejangan tentang hidup, tapi khotbah juga menjadi semacam ultimatum bagi siapa yang tak mematuhi. Sanksi itu langsung di dapat begitu melangar aturan. Goenawan Mohamad menuliskan diberondong khotbah atas keadaan generasi kini hidup dikepung oleh gambar dan suara. Dan saya sendiri yang mengalami peng-khotbah-an setiap hari di kantor, ‘sang pemilik kantor’ selalu terus menerus bicara tentang aturan-aturan kantor, tentang SOP yang mesti dijalankan, tentang protap kantor yang harus dipatuhi, sementara itu lembur tak lagi diupah, sementara itu insentif dan bonus banyak dibuat aturan sehingga yang menerima tidak sesuai dengan jerih payah. Dan, aturan-aturan itu (SOP atau protap-nya) tak aneh kalau banyak yang melanggar.

Pertanyaannya, siapa yang mesti dituntut atas ketidak-patuhan itu? Pimpinan yang merasa memiliki kantor yang juga merangkap sebagai juru khotbah, atau para karyawan yang sebetulnya hampir setiap saat diberondong khotbah dari dan di mana-mana. Apakah tukang khotbah identik dengan banyak omong? Sebab tukang khotbah sekarang, banyak yang tidak memberi contoh yang baik dan benar.

Dulu Kuntowijaya menulis novel berjudul Khotbah Di Atas Bukit, yah tentu sekarang orang bebas khotbah di mana-mana.@14VII10

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun