GOENAWAN Mohamad dalam Catatan Pinggir, Tempo 18 April 2010 menulis, 'Generasi kini hidup dikepung oleh gambar dan suara (dan di Indonesia, sembilan dari 10 rumah mempunyai pesawat TV) dan diberondong khotbah di rumah, di tempat ibadah, atau di televisi….' Sampai di sini saya senyum sendiri. Karena jujur, khotbah itu juga hadir di kantor saban hari.
Khotbah menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu – Zain, berasal dari bahasa Arab yang berarti pidato, wejangan yang disampaikan khatib di mesjid sebelum salat Jumat. Jelas, khotbah di sini, mempunyai pengertian kepada kita memberikan sesuatu yang berguna semacam nasehat baik untuk saat ini maupun nanti (di akhirat). Substansinya khotbah sangat berhubungan sekali dengan ketuhanan, agama, atau hal-hal tentang kebajikan.
Namun saat ini pemakaian kosakata khotbah –atau sering diucapkan orang juga dengan khutbah- sepertinya mengalami perluasan dalam pemakaian ataupun pengucapan. Khotbah bukan lagi berisi tentang nasehat atau wejangan tentang hidup, tapi khotbah juga menjadi semacam ultimatum bagi siapa yang tak mematuhi. Sanksi itu langsung di dapat begitu melangar aturan. Goenawan Mohamad menuliskan diberondong khotbah atas keadaan generasi kini hidup dikepung oleh gambar dan suara. Dan saya sendiri yang mengalami peng-khotbah-an setiap hari di kantor, ‘sang pemilik kantor’ selalu terus menerus bicara tentang aturan-aturan kantor, tentang SOP yang mesti dijalankan, tentang protap kantor yang harus dipatuhi, sementara itu lembur tak lagi diupah, sementara itu insentif dan bonus banyak dibuat aturan sehingga yang menerima tidak sesuai dengan jerih payah. Dan, aturan-aturan itu (SOP atau protap-nya) tak aneh kalau banyak yang melanggar.
Pertanyaannya, siapa yang mesti dituntut atas ketidak-patuhan itu? Pimpinan yang merasa memiliki kantor yang juga merangkap sebagai juru khotbah, atau para karyawan yang sebetulnya hampir setiap saat diberondong khotbah dari dan di mana-mana. Apakah tukang khotbah identik dengan banyak omong? Sebab tukang khotbah sekarang, banyak yang tidak memberi contoh yang baik dan benar.
Dulu Kuntowijaya menulis novel berjudul Khotbah Di Atas Bukit, yah tentu sekarang orang bebas khotbah di mana-mana.@14VII10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H