Mohon tunggu...
EcyEcy
EcyEcy Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Sejatinya belajar itu sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri Malam Jumat (25)

28 Februari 2020   17:03 Diperbarui: 28 Februari 2020   17:04 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Kupandangi sekeliling rimbunan semak. tatapan mataku terhenti pada sebuah semak belukar yang tak biasa. Tampak ada yang berbeda. Tumbuhan liar itu seperti terangkai membentuk sebuah pintu. Ya, pintu rahasia.

"Genta! Rudi! Sini! Ada pintu rahasia." Aku berteriak girang seperti mendapatkan titik terang dari misteri rumah tua.

Kulihat Genta dan Rudi berlari tergopoh gopoh menghampiriku. Sedang tanganku sudah tak sabar untuk mendorong barisan semak yang diatur sedemikian rupa agar berkamuflase dengan tumbuhan di sekitarnya.

"Coba dorong!" Genta mengajak aku dan Rudi.

Kami pun mencoba meruntuhkan semak belukar tadi. Dengan kekuatan tiga orang, bukan perkara susah untuk merusak deretan tanaman itu. Pintu rahasia terbuka. Terdapat jalan setapak yang di samping kanan kirinya masih penuh dengan semak belukar. Kami pun menelusurinya.

Di ujung jalan terdapat persimpangan yang ternyata menghubungkan rumah tua itu dengan jalan besar. Baru aku tahu ada jalan besar di dalam hutan ini. Seperti jalan perusahaan HPH yang tak beraspal. Hanya bermodalkan pengerasan saja, jalan itu bisa di lalui oleh dua mobil besar sekaligus.

Namun satu dua jam kami bertahan di antara semak tepi jalan, tak ada satu pun kendaraan yang lewat. Bahkan kami masih kuat menunggunya hingga petang. Tetap tak ada aktifitas sekecil pun di jalan itu. Jalan untuk apa ini? Mengapa jalan sebesar itu tak ada kehidupan sedikit pun?

Sebab hari menjelang malam, kami putuskan untuk pulang. Genta kembali ke kota bermodalkan tumpangan warga kampung. Sedang aku dan Rudi pulang ke base camp. Sejauh ini warga kampung atau pun teman temanku tak ada yang curiga. Semua berjalan normal apa adanya.

*****

Semilir angin membawa aroma menyengat yang tak biasa. Langkah kami berenam gontai menuju ke arah sungai tempat bersih kampung di adakan.

"Bud, kamu bilang sungainya jernih dan bersih. Mengapa ada aroma menyengat seperti ini?" Guntur protes tak terima. Sebab deskripsi sungai di kampung yang kuceritakan tak sesuai dengan kenyataan yang dia dapatkan.

"Entahlah. Mungkin aroma dari tempat lain yang terbawa angin." Jawabku asal.

"Tapi arah angin berasal dari sana." Teriak Guntur sambil menunjuk lembah tempat sungai berada.

Aku bingung harus menjawab apa. Yang dikatakan Guntur memang benar adanya. Sejujurnya, aku pun bingung aroma ini asalnya dari mana.

Masing masing turun ke lembah yang agak curam. Tangga alami dari tanah dengan jalan setapak yang kecil hanya memungkinkan kami turun bergantian. Tak bisa bersama.

Sesampainya di dekat sungai....

"Airnya jernih, tapi agak sedikit berminyak. Dan aroma menyengat yang kita cium memang berasal dari air sungai ini. Aku pernah menemui kondisi seperti ini. Ketika sungai di kampungku terpapar limbah cair dari pabrik industri." Guntur mengungkapkan pengalamannya.

"Jadi, kamu curiga air sungai ini tercemar?" Aku penasaran dengan isi kepala Guntur.

"Iya. Aku yakin sungai ini terhubung dengan suatu kawasan industri. Kita bisa cari tahu lewat warga."

Aku hanya terdiam memikirkan apa yang baru saja dibicarakan Guntur. Bisa jadi semua pemikirannya ada benarnya. Tapi mengapa Genta tak pernah mengetahui kalau di sekitar sini ada kawasan industri? Padahal katanya, dia sudah sering keluar masuk hutan ini hanya demi pengejaran dan penyelidikannya.

"Ayo kita pulang sebelum terjadi apa apa! Udara di sini tak baik untuk kita." Guntur mengajak teman teman lainnya untuk pulang.

Sambil menutup hidung dengan kain baju seadanya, masing masing dari kami menjauhi dasar lembah. Menjauhi aroma menyengat yang menyesakkan rongga dada. Menjauhi sungai yang jernih dengan segala misterinya. Apa sebenarnya yang sedang berlaku di kampung ini?


Benuo Taka, 28 Februari 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun