Mohon tunggu...
EcyEcy
EcyEcy Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Sejatinya belajar itu sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pembiasaan, Alternatif Membentuk Karakter Siswa

18 Februari 2020   22:37 Diperbarui: 20 Februari 2020   04:54 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak bermain dan belajar dengan senang. (Sumber Gambar: CreativaImages)

Pikiran memengaruhi ucapan. Ucapan memengaruhi tindakan. Tindakan akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan membentuk karakter.

Adanya kasus pemukulan dan perundungan pada seorang anak di sekolah baru baru ini menjadi catatan kelam dunia pendidikan kembali. Dimana kasus ini terjadi bukan hanya karena adanya kesempatan.

Tapi, karena tidak adanya kesadaran tentang toleransi dan saling menghargai. Celakanya lagi, kasus ini direkam dan diedarkan secara luas di media sosial.

Berbagai macam penilaian tentu muncul dengan beredarnya video tersebut. Ada yang menyalahkan anak. Ada yang menyalahkan guru. Ada yang menghujat dan ada yang memaki sebab tak terima. 

Meskipun dinas terkait sudah membuat kebijakannya, aparat kepolisian pun sudah menindaklanjutinya. Pelaku sudah ditangkap. Namun tindakan ini bukan serta merta menghilangkan perilaku tak benar tersebut.  

Gurunya yang salah. Kasusnya kan terjadi di dalam kelas. Waktu jam sekolah. Ngapain aja gurunya? Kok nggak bisa ngurus siswanya.

Hei... tunggu dulu. Guru juga manusia. Perlu waktu dalam bekerja. Bisa saja saat itu guru sedang menyiapkan segala hal yang berhubungan dengan proses belajar mengajar atau guru sedang OTW kelas yang mungkin agak sedikit jauh dari ruang guru. 

Semua perlu waktu, bukan? Tak ada yang tahu, bukan? Jadi, tak bijak menyalahkan orang orang tertentu. Dalam satu kelas, guru harus menghadapi berbagai macam sifat anak. Tak ada yang sama, bukan? Ada yang anteng, diam nggak banyak tingkah. Ada yang belagu, suka cari gara gara. 

Ada yang bijaksana lebih dari pada umurnya. Ada yang masih kekanak Kanakan suka mencari perhatian temannya. Ada yang pemalu. Ada yang pemarah. Dan berbagai sifat yang lain yang tak mungkin saya sebutkan satu persatu di sini juga. Dan setiap anak menyelesaikan masalah dengan cara yang berbeda.

Ada anak yang menyelesaikan masalahnya dengan bercerita dengan teman. Anak anak seperti ini biasanya supel dalam pergaulan. Dia memiliki banyak teman. 

Dan dari sekian banyak temannya, ada yang dia percaya untuk berbagi suka dan dukanya. Dengan membagikan masalahnya, anak akan merasa jauh lebih ringan dari masalahnya.

Ada yang menumpahkannya dalam bentuk tangisan. Anak seperti ini biasanya tertutup. Tidak suka bercerita pada teman temannya. Menyimpan semua masalahnya sendirian. Tak ingin berbagi. Mungkin karena takut.

Bisa pula karena malu dengan masalah yang ada. Baginya masalah adalah aib yang harus ditutup rapat. Jadi dengan menumpahkan tangisnya lah mengurangi sesak di dada.

Ada pula anak yang memang tingkat emosionalnya tinggi. Suka menyelesaikan masalah dengan otot, bukan dengan otak. Untuk urusan karakter anak yang main otot, bisa saja kebiasaan ini didapatkannya karena seringnya dia menerima tindakan fisik sebelumnya. 

Pembiasaan baik melalui gerakan kepramukaan di sekolah (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Pembiasaan baik melalui gerakan kepramukaan di sekolah (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Sering melihat, sering mengalami, sering merasakan membuat dia menjadi terbiasa dengan kondisi kasar tersebut. Akhirnya, ketika anak berada dalam situasi yang tak menyenangkan, dia akan mudah marah.

Jadi, banyak faktor yang dapat membentuk sifat seorang anak. Bukan hanya dari sekolah, tapi jauh hari sebelum anak sekolah, mereka sudah ditempa dengan berbagai macam sifat yang ada. Bagaimana bisa?

Perlu diingat, anak merupakan peniru ulung. Apa yang dia lihat, apa yang dia dengar akan mudah terekam dalam ingatannya. Hal wajar kalau anak sering berkata kasar jika setiap hari dia mendengar perkataan kasar dari orang terdekatnya. Apalagi jika diikuti tindakan fisik yang menimbulkan trauma. Anak bisa saja menirunya dengan mudah.

Apa yang dialami anak, baik itu hal positif apalagi yang negatif, jika secara terus menerus diterimanya, maka akan menjadi kental dalam ingatannya.

Mengubah sifat anak yang seperti itu tak semudah membalikkan telapak tangan. jika ada anak kelas 1 SD kidal, artinya anak tersebut paling tidak sudah hampir tujuh tahun mendapatkan ajaran memegang dengan tangan kiri dari lingkungan terdekatnya. 

Karena hal itu terus dibiarkan saja, maka menjadi suatu kebiasaan. Dan kebiasaan itulah yang tertanam hingga sekarang.

Mengubah karakter anak yang sudah tujuh tahun melakukan hal hal yang sama tentu bukan pekerjaan mudah. Oleh karena itu, membentuk karakter lewat pembiasaan pembiasaan yang baik haruslah kita lakukan.

Bukan hanya sebagai orang tua, tetapi sebagai orang yang perduli terhadap sesama. Sebab, baik buruknya sikap anak akan berdampak pada orang disekitarnya.

Dari manakah seharusnya pembiasaan baik itu dilakukan?

Pembiasaan baik bisa dilakukan dari mana saja. Dari lingkungan keluarga saat anak di rumah. Dari lingkungan masyarakat saat anak di luar rumah. Dari lingkungan sekolah jika anak berada di sekolah.

Namun keluarga merupakan modal awal yang membentuk pembiasaan baik tersebut. Karena dalam 24 jam sehari, anak lebih banyak bersama keluarga. Bagaimana? Siap nggak keluarga membentuk karakter anak dengan pembiasaan baik di rumah?

Selama ini keluarga banyak acuh tak acuh dengan perkembangan anak. Entah karena faktor kesibukan bekerja atau hanya sekedar menjalankan kesenangannya semata. Egois? Bisa jadi. Sehingga mereka menyerahkan pendidikan sepenuhnya pada sekolah. Bahkan ada anak yang disekolahkan sejak balita demi mendapatkan pendidikan yang terbaik, katanya. 

Kenyataannya hanya untuk meloloskan para orang tua dalam kenyamanan bekerja tanpa dipusingkan dengan urusan anak anaknya. Sebab anaknya sudah ada yang jaga.

Ada pola yang salah dalam pandangan bapak bahwa tugas mereka hanya mencarikan uang buat masa depan anak anaknya. Beban berat itu diserahkan pada ibunya.

Bagaimana jika ibunya bekerja? Ibu yang bekerja juga harus dapat memanajemen waktu untuk menciptakan saat saat berkualitas dengan anaknya. Bukan masalah lamanya, tapi kepadatan isi pertemuannya dengan hal hal yang berguna. Dan seharusnya bagi bapaknya pun demikian.

Bapak dan ibu sudah bekerjasama dengan apik untuk membuat dan melahirkan anak di dunia, mengapa mendidiknya tidak bisa? Jika ibu dan bapaknya terlalu mementingkan kerjanya dari pada anak anaknya, ambyarlah sudah nasib anaknya.

Mereka akan lebih mudah mencari sosok panutan di luar sana lewat berbagai cara. Kalau yang jadi panutan baik, Alhamdulillah. Jika tidak, celakalah kedua orang tuanya.

Bagaimana cara menerapkan pembiasaan yang baik?

Cara paling bijak untuk menerapkan pembiasaan yang baik dengan  memberi contoh. Perlihatkan hal hal baik yang kita inginkan pada anak dengan cara mencontohkannya.

Kita dapat melakukannya terlebih dahulu agar anak dapat melihatnya. Sebab visualisasi nyata akan lebih mudah diingat anak dari pada omongan semata.

Berilah pengertian pada mereka bahwa semua yang kita lakukan akan ada resikonya. Dan resiko itu akan mereka tanggung nantinya. Jadi katakanlah pada mereka bahwa resiko yang baik akan datang jika dia  melakukan hal hal baik.

Sedangkan resiko buruk akan datang jika dia melakukan hal buruk. Biarkan anak berpikir agar dia siap memilih hal terbaik bagi dirinya. Jika demikian adanya, tentu orang tua pasti merestuinya. Dan Tuhan pun akan merestuinya juga.

Karena masa keemasan membentuk karakter mereka bukan lah datang dengan sekejap mata. Tapi perlu proses dan ditempa. Maka sudahkah kita siap menjadi contoh bagi putra putri kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun