Mohon tunggu...
EcyEcy
EcyEcy Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Sejatinya belajar itu sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tanah Harapan

15 Februari 2020   15:38 Diperbarui: 15 Februari 2020   15:44 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri: bedengan tomat yang telah dipasang turus

Mungkin aku tidak benar benar tahu tentang semua hal. Aku tidak tahu, apakah tanah ini sudah benar benar tandus? Ataukah memang tak ada tanaman yang mau hidup di sini? Tanah terbolak Balik. Bahkan sisa akar tanaman pun tak pernah lagi terlihat di sana. Yang tersisa hanyalah bercak putih yang tersebar hampir di seluruh permukaannya.

Dulunya tanah ini hijau permai. Tanaman menghasilkan tumbuh subur. Sayur mayur, tomat dan cabai, bahkan terong terongan menutupi permukaan. Dua Minggu sekali bedengan sayur berganti yang baru. Enam puluh hari sekali cabai dan tomat mulai terlihat memerah siap petik. Sedang terong dengan warna ungu, hijau dan kuning mengkilat menambah gairah perkebunan di sekitarnya.

Kini, setelah seratus hari aku tak pernah mendatanginya, semua sudah benar benar berubah. Apakah ada yang tanah sesalkan? Pertanyaan yang tak mungkin terjawab. Sebab tanah tak dapat bicara. Selama ini ia dengan rela menerima segala perlakuan demi sebuah harapan, yaitu menghasilkan. Sehingga bermanfaat bagi makhluk di sekitarnya.

Kulihat pondok kecil di tepiannya. Kudekati. Tampak bapak tua menyeka peluh di keningnya. Lalu mengibaskan topi purunnya. Mungkin dia ingin menciptakan angin. Sebab matahari siang memanggang padang gersangnya. Cangkul tergeletak begitu saja di tanah kering. Sedangkan dua ember di sampingnya masih terisi air yang mulai menguap diterpa suhu tinggi.

"Selamat siang, Pak." Aku menyapa dari balik topi caping yang baru saja kubeli di pasar tradisional tadi pagi.

"Siang. Eh... Nak Endi. Apa kabar?"

"Alhamdulillah, baik Pak. Kabar Bapak bagaimana?"

"Baik. Alhamdulillah "

"Tapi ini, Pak?" Aku mengarahkan jari telunjukku ke padang gersang di sekeliling pondok.

"Oh... ini sudah biasa kalau habis panen."

"Maksudnya, tanahnya jadi jelek?"

"Nggak. Ini bagian dari proses, Nak Endi."

"Jadi, tanah Bapak ini aman aman aja. Nggak tandus?"

"Alhamdulillah tidak. Bapak lagi melakukan pengolahan tanah. Kemarin habis Bapak traktor pakai rotary. Sekarang Bapak taburi kapur biar tanah tidak terlalu masam. Mungkin besok baru bapak buat bedengannya kembali." Petani itu menjelaskan sambil tersenyum ceria.

"Syukurlah. Aku pikir tak ada lagi tanaman yang bisa hidup di sini."

Petani ini hanya tertawa lepas mendengar penuturanku. Sedangkan aku tak habis habisnya bersyukur pada Tuhan. Betapa banyak ilmu yang bisa kita serap dari alam sekitar. Dari tanah, tumbuhan, petani, hewan, bahkan gejala gejala alam lainnya. Betapa banyak asa yang petani tabur. Di sini. Di tanah harapan.

Ini baru sekelumit kisah tentang tanah pertanian yang baru siap tanam. Aku tak begitu paham. Yang aku tahu hanyalah menikmati hasilnya saja. Sayur sayuran, buah buahan, padi, palawija dan biji bijian. Itu pun beli di pasar. Ternyata aku memang tak benar benar tahu tentang segala hal.

Pixabay.com
Pixabay.com

Benuo Taka, 15 Februari 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun