Ujian Nasional tak lama akan datang kembali. Setiap sekolah sudah menyusun strategi. Guru mata pelajaran terkait ikut berpartisipasi. Siswa segera intropeksi diri. Semua jadi sibuk sana sini.Â
Berkutat dengan perencanaan dan taktik jitu. Menuju ujian nasional sukses sesuai target yang dituju. Lulus dengan nilai terbaik dan mampu bersaing di sekolah jenjang lanjutan yang bermutu.
Sebegitu takutnya 'kah sekolah menghadapi ujian nasional?
Kalau dibilang takut sich tidak, karena sudah terbiasa menghadapi tes akhir ini sejak lama. Hanya saja, tuntutan hasil yang terbaik yang membuat semua sekolah rela melakukan apapun. Sudah alamiah di tanah kita, nilai masih dijadikan patokan baik buruknya kondisi suatu sekolah.
Sekolah dengan nilai baik selalu jadi incaran setiap tahunnya. Bukan hanya incaran pribadi siswa, tapi incaran orang tua juga. Para orang tua siswa masih saja melihat kesuksesan ujian nasional lewat jumlah lulusan yang mendapatkan nilai terbaik di kabupatennya. Nilai itu juga yang menjadi patokan bagi mereka untuk menentukan ini sekolah bermutu atau tidak.
"Sekolah itu kemarin lulusan terbaik di kabupaten loh."
"Yang rengking satu nilai ujian nasional di kabupaten kemarin sekolah itu loh."
"Sekolah itu nilai lulusannya bagus bagus."
"Lulusan sekolah itu mantap. Bisa diterima di sekolah favorit semua. Nilainya tinggi tinggi."
Selalu saja banyak kalimat yang digunakan para orang tua untuk menilai suatu sekolah. Dan semua itu masih berpatokan pada angka angka saja. Akhirnya, bermunculan istilah sekolah bermutu, sekolah favorit atau apa pun ungkapannya yang memberi kasta pada beberapa sekolah dalam setiap wilayah kabupaten atau kota.
Karena hal itu lah akhirnya setiap sekolah berlomba untuk menelurkan siswa dengan nilai terbaik. Berbagai macam cara dilakukan. Bahkan di sekolah saya diterapkan bimbel jam ke Nol atau bimbingan belajar di pagi hari sebelum kegiatan belajar berjalan. Jika jadwal belajar dimulai pukul 07.30 WITA, maka bimbel dimulai pukul 06.30 - 07.30 WITA. Luar biasa, bukan?