Pagi ini kukenakan batik hitam putih khas guru. Kami menyebutnya batik PGRI. Dipadu dengan rok hitam dan jilbab hitam, baju ini terlihat lebih cerah meskipun kainnya sudah lusuh termakan usia. Kata teman seperjuanganku, tak perlu kita beli yang baru. Lebih baik beli buku untuk tambah ilmu. Kurikulum sekarang berubah melulu. Kalau kita tak belajar, kita akan tertinggal di masa lalu. Hanya mampu ceramah ba-bi-bu. Lalu buntu.
Kupikir apa yang disampaikan temanku ada benarnya juga. Penampilan memang nomor satu. Asalkan masih bisa dipakai dan terlihat rapi, aku tak pernah malu menggunakan batik ini di hadapan siswaku. Toh tak ada yang robek atau pun luntur. Hanya warna pudar sebab termakan waktu. Asalkan transfer ilmu mampu kulakukan. Meskipun target kurikulum kukejar dengan tergopoh gopoh. Bukan karena sulit, tapi sempit waktu untuk materi yang bejibun.
Karena hari ini tanggal 25 Nopember, maka di sekolahku pun mengadakan upacara peringatan Hari Guru Nasional. Entah direncanakan atau tidak, yang pasti atas kesepakatan bersama, kami para guru  didaulat tuk menjadi petugas upacaranya. Upacara pun berjalan lancar dan tertib hingga akhirnya selesai. Namun rupanya acara peringatan hari guru ini bukan berakhir di sini. Beberapa siswa perwakilan kelas maju bergantian untuk membacakan puisi ciptaan mereka untuk bapak ibu gurunya.
Satu puisi karangan siswaku mereka persembahkan untukku. Begitu apik dan indah bait baitnya. Aku pun membatin, apakah ini yang dinamakan keberhasilanku hingga mampu membentuk seorang anak menjadi kreatif dan percaya diri untuk tampil dihadapan orang banyak membacakan karyanya? Ah... Sepertinya pemerintah masih menggunakan ujian nasional sebagai patokan keberhasilan siswa. Hanya angka angka yang meyakinkan mereka bahwa seorang anak berhasil dalam belajarnya.
Setelah puisi indah itu selesai dibacakan, siswa tadi berlari kecil mendatangiku yang sedang duduk di tepi lapangan upacara. Memberiku ciuman, sebuket bunga dan kotak bersampul yang tak kuketahui isinya. Kaget? iya. Terharu? ada juga. Senang? Pastinya. Kupeluk dia, kuucapkan terimakasih padanya dan kutitipkan ucapan yang sama buat teman teman sekelasnya. Kulihat titik bening mengaca di kedua matanya. Aku pun membatin kembali, apakah ini keberhasilanku juga hingga mampu menanamkan rasa sayang dan perhatian pada orang lain meskipun bukan keluarganya?
Setelah selesai acara ceremony di lapangan upacara, aku pun beranjak dari tempat dudukku. Belum sampai kakiku melangkah ke tangga turun, siswaku berlari menghampiriku sambil membawakan beberapa tangkai bunga dan hadiah lainnya. Kali ini aku betul betul terharu. Mereka meminta maaf atas kenakalan mereka dan mengucapkan terimakasih padaku atas usahaku selama ini membantu mereka agar berilmu. Bahkan ada yang menitikkan air matanya di hadapanku. Begitu tulus ucapan mereka kala itu. Aku pun membatin, apakah aku telah berhasil sebagai guru hingga dapat menanamkan karakter terpuji itu pada mereka? Ah... Sekali lagi yang teringat padaku hanyalah angka angka dalam SKHU.
Mereka pun memintaku untuk membuka hadiah dari mereka di lapangan itu. Kuiyakan saja permintaan mereka. Kami pun duduk bersama di bawah pohon rindang tepi lapangan untuk melanjutkan buka kado itu. Berlapis bungkusnya yang setiap lapisannya selalu tertulis pesan untukku. Ayo, Bu. Jangan menyerah. Yang sabar ya, Bu. Semangat, Bu. Kalimat yang memberikan kekuatan padaku untuk Istiqomah di bidangku ini. Hingga akhirnya bungkus terakhir terbuka dan benar benar tinggal kotaknya saja yang tampak di depan mata.
"Buka... buka... buka...." Teriak mereka serempak.
Kubuka setiap isolasi yang merekatkan bagian satu dan lainnya hingga kotak dapat terbuka dan terkuak isinya. Mukena berwarna biru sesuai dengan warna favoritku.
"Kami cuma bisa kasih ini ke Ibu," ujar Icha siswaku yang tinggi jangkung dan pintar berpuisi.
"Semoga Ibu senang." Alya berucap sambil menengadahkan kedua tangannya seakan berdoa.