Kupikir kemarau panjang bisa mengeringkan luka. Nyatanya, bekasnya saja masih meninggalkan perih yang menyiksa. Begitu sulitnya terlupa dalam setiap rongga di kepala. Ruang hampa pun tak sanggup menyimpannya lebih lama. Hingga luka selalu muncul menemui jiwa yang merana.
Kuharap musim panas ini dapat menguapkan duka. Seperti air yang hilang tak berbekas di alas. Nyatanya duka itu masih betah mengisi rongga rongga sel tubuhku. Terikat dalam setiap sel darahku. Terbawa ke setiap jengkal tubuhku. Membekas seperti garam laut yang tertinggal di ruas ruas bambu.
Anehnya diriku masih saja mengenang kisah usang di pertengahan September dulu. Ketika lupamu memutuskan persaudaraan tanpa ikatan darah itu. Kau renggut kasihnya yang kau tahu itu untukku. Bukan karena cinta. Sebab api dendam mengibarkan amarahmu. Karena kau pikir, aku lebih beruntung darimu.
Sungguh iri itu mempersempit pemikiranmu. Dan nyata memang rasa dengki itu menjerumuskanmu. Bukankah kita terlahir sama ke dunia? Hanya usaha dan doa yang mampu membedakannya. Kau tahu, Tuhan Maha Adil bagi kehidupan kita. Hanya rasa kita yang tak mampu memahaminya. Perkuatlah dengan taqwa. Agar tautan tangan kita dapat bersua.
Salam hangat salam literasi😊🙏
Love and peace😁✌️
EcyEcy; Benuo Taka, 18 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H