Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Trio Peneliti, Kesenjangan Global, dan Hadiah Nobel

24 Oktober 2024   08:44 Diperbarui: 25 Oktober 2024   03:39 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trio peneliti penerima Nobel di bidang ekonomi (Sumber gambar:kompas.id).

Sambil istirahat sore usai bekerja, biasanya saya isi dengan membaca koran. Koran pilihan saya adalah Kompas. Membaca koran ini saya merasa mendapatkan berita dan pengetahuan yang bergizi tinggi. Maklum, investigasinya mendalam. Para penulis Opini-nya pun adalah mereka yang kompeten di bidangnya. Hingga kini saya masih berlangganan media cetak yang satu ini

Berbicara tentang pemenang Nobel, beberapa waktu lalu Kompas cetak pernah menyajikan tulisan tentang Han Kang, satu-satunya wanita Korea Selatan yang berhasil meraih Nobel di bidang sastra.

Belakangan muncul lagi trio peneliti yang meraih hadiah Nobel. Kali ini di bidang ekonomi. Siapakah mereka? Inilah yang akan disajikan dalam artikel sederhana ini.

Tiga Sekawan

Ketiga peneliti tersebut adalah Daron Acemoglu, James Robinson, dan Simon Johnson. Penelitian mereka mengenai penyebab ketimpangan kesejahteraan antara negara maju dan miskin dinilai relevan pada saat kondisi ekonomi, politik, dan tata kelola pemerintahan merapuh di banyak negara.

Trio peneliti penerima Nobel di bidang ekonomi (Sumber gambar:kompas.id).
Trio peneliti penerima Nobel di bidang ekonomi (Sumber gambar:kompas.id).

Sebagaimana diberitakan Kompas (15/10/2024), Daron Acemoglu dan Simon Johnson adalah profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Sementara itu, James A Robinson adalah pengajar di University of Chicago.

Trio peneliti ini adalah akademisi yang terpandang dalam bidang ekonomi politik, terutama dalam meneliti hubungan antara institusi politik, pembangunan ekonomi, dan tingkat kesejahteraan suatu negara.

Ketiganya merupakan sahabat dekat yang berkiprah sebagai peneliti di bidang politik dan ekonomi. Pertemanan mereka dipersatukan oleh rasa ingin tahu dan kesamaan karier dalam menulis isu-isu pembangunan ekonomi, relasi kuat antara politik dan ekonomi, serta isu kesejahteraan.

Ketiganya berkali-kali berkolaborasi dan menjadi trio akademisi terpandang di bidang ekonomi politik. Robinson mengatakan, mereka berteman sangat dekat. Masing-masing punya keahlian tersendiri dan saling menghargai satu sama lain.

"Yang paling penting, kami sama-sama suka menghabiskan waktu untuk berdiskusi, bertukar ide, dan berpikir tentang dunia," ujar Robinson dalam wawancara dengan Komite Nobel Ekonomi, seperti dikutip Kompas (16/10/2024).

Menulis Buku

Masih menurut Kompas, pada tahun 2001 mereka bertiga menulis dan mempublikasikan artikel The Colonial Origins of Comparative Development: An Empirical Investigation. 

Selanjutnya, pada tahun 2012, Acemoglu dan Johnson menulis buku Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty, yang mengkaji secara mendalam alasan di balik pertanyaan klasik: mengapa suatu negara bisa kaya dan negara lainnya miskin?

Melalui buku itu, mereka berargumen bahwa kesejahteraan suatu negara sangat tergantung pada kualitas pemerintahan, terutama tata kelola institusi ekonomi dan politik di negara tersebut.

Mereka membagi negara ke dalam dua jalur institusi, yaitu negara dengan institusi inklusif (inclusive institution) dan ekstraktif (extractive institution).

Dalam teori mereka disebutkan, institusi ekonomi dan politik yang inklusif, yang memberi akses secara merata kepada komponen masyarakat dan menaruh perhatian kuat pada kualitas sumber daya manusia, akan mendorong suatu negara ke arah kemajuan.

Sebaliknya, institusi yang ekstraktif, yang disetir oleh sekelompok elite dan hanya menguntungkan segelintir orang, membuat negara itu sulit maju dan bahkan terjebak menjadi negara miskin.

Sepanjang sejarah, sistem yang mengeksploitasi masyarakat dan kekayaan negara demi kepentingan segelintir adalah musuh besar kemajuan. Sistem ektraktif itu memiliki banyak wajah, mulai dari monarkhi, tirani, hingga oligarki yang akhir-akhir ini menjangkiti banyak negara.

Efek Kolonialisme

Pertanyaannya, apa yang membuat sebagian negara memiliki institusi yang inklusif dan yang lainnya ekstraktif?

Penelitian mereka menyimpulkan, kualitas institusi dan tata kelola pemerintahan di suatu negara berbeda-beda karena efek kolonialisme, yang mayoritas dulu dilakukan negara-negara Eropa.

Menurut Acemoglu, fase kolonialisme membagi dua dunia ke dalam pola institusi tingkat kesejahteraan yang sangat berbeda.

Menurutnya, institusi ekstraktif lahir dari penjajah yang secara brutal mengeruk kekayaan daerah jajahannya demi memperkaya diri mereka yang tinggal di belahan bumi lain.

Institusi inklusif umumnya lahir dari penjajah yang memutuskan untuk tinggal di daerah jajahannya. Demi kepentingan mereka sendiri, mereka melahirkan institusi yang lebih inklusif dan demokratis, yang bertahan dan berkembang hingga setelah kolonialisme berakhir.

Acemoglu dan kawan-kawan menemukan, daerah terjajah yang dulunya sangat kaya cenderung jatuh miskin sesudah penjajahan berakhir, seperti India dan negara-negara di Asia Tenggara. Kekayaan mereka habis dikeruk penjajah dan sistem pemerintahan di negara tersebut adalah institusi yang korup dari penjajah.

Sebaliknya, daerah terjajah yang tidak begitu kaya cenderung lebih berkembang dan maju pasca berakhirnya penjajahan. Contohnya negara-negara di Amerika Latin, Australia, dan Selandia Baru

Dan salah satu solusi yang ditawarkan ketiga peneliti ini adalah pentingnya mengubah sistem institusi dari ekstraktif ke inklusif adalah perlawanan kolektif dari akar rumput.

Robinson mengatakan, perubahan bisa dimulai dari bawah. Dari orang-orang yang selama ini menderita di bawah institusi korup, kesenjangan, dan marjinalisasi. Institusi inklusif, kata Robinson, tidak diciptakan oleh niat baik para elite. Oleh karena itu, rakyatlah yang harus melawan dan memperjuangkan hak-hak mereka (Kompas, 16/10/2024).

Berburu Buku

Itulah sekilas tentang pemikiran ketiga peneliti tersebut yang saya petik dari Kompas dan sumber lainnya. Dan, saking penasaran, akhirnya saya berusaha menemukan buku yang mereka tulis sebagaimana disebutkan di atas.

Hasilnya? Saya temukan buku karya Daron Acemoglu dan James A. Robinso dimaksud dalam Bahasa Indonesia. Judulnya: Mengapa Negara Gagal: Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan. Sebuah buku yang berketebalan 582 halaman.

Membacanya secara sepintas dan acak, saya merasa yakin buku ini enak dibaca. Maklum saja, penerbitnya bukan penerbit sembarangan, melainkan Elex Media Komputindo, salah satu penerbitan kelompok Kompas Gramedia.

Perlu waktu yang cukup untuk membacanya. Ya, pelan-pelan saja.

(I Ketut Suweca, 24 Oktober 2024).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun