Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

ASN dan Budaya Malu

17 Mei 2022   19:48 Diperbarui: 19 Mei 2022   03:15 1663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ASN dan budaya malu (Sumber: ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho via kompas.com) 

Aparatur Sipil Negara (ASN) dikenal dengan sebutan abdi negara dan abdi masyarakat. Sebagai seorang abdi negara dan masyarakat, ASN dipagari dengan sejumlah aturan disiplin, baik yang mengatur hak maupun kewajiban ASN.

Di luar itu, ada juga aturan yang lebih bersifat lebih teknis-implemetatif yang dibuat oleh pemerintah lokal sebagai turunan dari aturan di atasnya, disesuaikan dengan kebutuhan.

Di sisi kode etik, ada Panca Prasetya KORPRI yang menjadi rambu-rambu bagi ASN dalam menunaikan tugasnya. Para ASN tidak boleh keluar dari aturan yang mengikat itu, tak terkecuali kode etik yang ditetapkan demi kelancaraan pelaksanaan tugas.

Budaya Malu

Satu hal yang relevan untuk dijadikan sebagai kode etik dalam pelaksanaan tugas ASN adalah budaya malu. Di beberapa organisasi perangkat daerah bisa dilihat tulisan yang berisi sejumlah komponen tentang budaya malu.

Daftar budaya malu itu ditulis sedemikian rupa dan diletakkan di tempat yang strategis sehingga mudah dilihat orang pegawai dan siapa pun yang melintas di depannya.

Apa sih budaya malu itu? Budaya malu pada intinya merupakan budaya yang dikembangkan dalam rangka menjaga moralitas kerja dan keharmonisan hubungan antaranggota masyarakat atau organisasi.

Budaya malu diperlukan agar anggota organisasi atau masyarakat terhindar dari perbuatan yang melangggar norma, melanggar hukum, dan kode etik yang berlaku.

Demikian juga dengan budaya malu yang dibuat khusus untuk ASN. Dengan budaya malu ini, ASN diharapkan bisa bekerja selaras dengan rambu-rambu yang ditentukan.

Empat yang Utama

Apa sajakah isi budaya malu tersebut? Ada beberapa item yang diberlakukan di kalangan ASN, tetapi penulis akan mengangkat empat di antaranya yang terpenting saja.

Pertama, malu datang terlambat dan pulang mendahului.

Soal ketepatan waktu menjadi salah satu budaya yang penting untuk dijadikan pegangan bagi para ASN. Ketepatan waktu hadir ke kantor masih menjadi persoalan di beberapa daerah. Demikian pula dengan jam pulang kantor.

Bagi beberapa pegawai yang malas, dia sering terlambat datang dan mendahului pulang kantor.

Jika ada alasannya dan itu pun hanya sesekali saja dilakukan mungkin tidak menjadi persoalan benar, tidak terlalu berpengaruh terhadap kinerjanya sendiri dan kinerja organisasi.

Akan tetapi, jika kemalasan ini keterusan -- padahal tidak sedang WFH, maka mestinya sudah harus diingatkan atau ditegur oleh atasannya. Kalau dibiarkan, perilaku malas seperti ini bisa merembet pada pegawai yang lainnya.

Kedua, malu berpakaian kerja tidak rapi.

Sebenarnya terdapat aturan dalam berpakaian yang mesti ditaati oleh para ASN. Di dalamnya sudah ditentukan hari apa berpakaian apa, berikut kelengkapan pakaian yang harus dipenuhi.

Jadi, berpakaian pun sudah diatur. Dengan demikian, diharapkan ASN akan tampil rapi dengan pakaian atau seragam tertentu. Berpakaian yang tepat dan rapi ini penting untuk memberikan performance positif bagi ASN di mata masyarakat umum.

Tidak boleh ada ASN berpakaian semau gue ke kantor tanpa mengindahkan aturan berpakaian yang sudah ditetapkan. Jika dilakukan juga, maka bukan mustahil dia akan ditegur oleh atasan atau pimpinannya.

Peraturan tentang tata-cara berpakaian harus menjadi dasar bagi setiap ASN dalam mengenakan pakaian atau seragam pada saat melaksanakan tugas kedinasan.

Ketiga, malu terlambat menyelesaikan tugas.

Setiap tugas pasti ada batas waktu atau deadline-nya. Oleh karena itu, setiap ASN perlu memastikan deadline atas tugas yang harus dipenuhinya.

Dengan mengetahui batas waktu penyelesaian tugas, ASN sudah bisa mengarahkan fokus dan membagi waktunya agar tidak terlambat.

Hal ini sangat penting, mengingat setiap ASN memiliki cukup banyak tugas yang mesti dikerjakan. Itulah mengapa ia harus membagi dan mengatur waktu sedemikian rupa sehingga pelaksaan semua tugas itu dapat diselesaikan tepat waktu.

Hendaknya dihindari godaan atau kebiasaan menunda-nunda (procrastination habit) dalam mengerjakan dan menyelesaikan suatu tugas. Hal ini akan berakibat pekerjaan tidak selesai tepat pada waktu.

Kebiasaan menunda-nunda menggarap tugas atau pekerjaan tentu saja tidak baik karena bisa berdampak negatif pada pelayanan yang diberikan. Bisa mendapat complaint dari masyarakat.

Pemerintah, baik pusat maupun daerah, kini sedang memperkuat citra positif di mata masyarakat. Jangan sampai ini citra yang sedang dibangun dengan serius ini jadi atau terganggu lantaran seringkali melabrak deadline. Istilah "kalau bisa diperlambat, mengapa harus dipercepat" mesti dihapus.

Dalam banyak hal, suatu keberhasilan banyak ditentukan oleh momentum. Suatu pekerjaan atau keputusan hanya relevan dan bermanfaat apabila dilaksanakan pada timing yang tepat. Kalau sudah lewat, jadi tak bernilai lagi.

Keempat, malu mengambil sesuatu yang bukan hak.

ASN bertanggung jawab dalam pengelolaan dan penggunaan asset negara, termasuk keuangan negara yang dikumpulkan dan dimanfaatkan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Lantaran tanggung jawabnya itu, maka ASN mesti berpedoman pada aturan dan mekanisme yang ditetapkan. ASN dilarang mengambil apa pun yang bukan haknya.

Dengan kata lain, ASN dilarang keras menyalahgunakan kewenangannya. Simpelnya, ASN dilarang korupsi.

Berani melakukan tindak pidan korupsi, ancaman hukuman sudah menunggu. Baik di pemerintah pusat maupun daerah, tercatat ada saja oknum-oknum yang melakukan tindak pidana korupsi. Alhasil, mereka pun dijebloskan ke penjara dan status kepegawaiannya dicabut.

Menjadi ASN bukanlah jalur untuk menjadi kaya raya. Kalau mau kaya, lebih tepat memilih menjadi pengusaha. Menjadi ASN adalah profesi pengabdian -- sekali lagi, pengabdian.

ASN bertugas melayani negara dan masyarakat. Bahkan, ASN dituntut untuk melakukan segala kegiatan kedinasan dengan prinsip efektif dan efisien, sekaligus transparan dan accountable.

Itulah beberapa item budaya malu yang seyogianya mendapat perhatian oleh siapa pun yang berpredikat sebagai ASN: masuk dan pulang kantor tepat waktu, berpakaian rapi, menyelesaikan tugas tepat waktu, dan menghindari tindak pidana korupsi.

(I Ketut Suweca, 18 Mei 2022).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun