Seorang sahabat bertutur tentang kuliah anaknya. Ia mengatakan bahwa si anak sudah tamat S1 di sebuah perguran tinggi ternama di negeri ini. Anak sulungnya ini sudah diwisuda sehingga berhak menyandang gelar Sarjana Ekonomi (SE). Akan tetapi, anaknya tidak merasa puas dengan capaiannya itu.
Alasannya, si anak mengaku sudah salah memilih jurusan kendati tetap sanggup mengikuti seluruh proses perkuliahan dan ujian sampai lulus. Tetapi, setelah sarjana, ia ingin mengambil jurusan yang sangat diminatinya, yakni ilmu psikologi.
"Sebenarnya saya lebih suka jurusan psikologi daripada ekonomi, Pak. Saya ingin kuliah lagi di jurusan psikologi," ujar si anak seperti dituturkan ayahnya. Â
Mendengar itu, sahabat saya ini memberikan saran agar diteruskan saja ke jenjang S2 di bidang keilmuan yang sama sehingga tidak dua kali mengambil S1.
Akan tetapi, sang anak tidak mau dan bersikeras untuk belajar ilmu psikologi pada jenjang S1. Akhirnya, sahabat saya dengan berat hati menyetujui usulan anaknya untuk kuliah S1 lagi di jurusan psikologi.
Anda pernah mendengar kasus semacam itu atau bahkan pernah mengalaminya? Ini kasus salah mengambil jurusan yang kemudian membuat orang merasa "tidak pada tempat"-nya dan ingin beralih ke jurusan lain.
Agar tidak terjadi hal seperti contoh di atas, ada baiknya dipertimbangkan beberapa hal berikut ini.
Pertama, sesuaikan minat dengan jurusan yang dipilih.
Sejak masih kecil hingga menjelang tamat SMA atau sederajat, apa yang menjadi minat atau bakat Anda? Anda suka teknik komputer, ilmu matematika atau ilmu komunikasi?