"Saya akan bekerja keras agar anak-anak saya hidupnya baik dan bahagia. Saya tidak mau anak-anak mengalami penderitaan seperti yang pernah saya alami dulu."
Anda pernah mendengar kata-kata orangtua seperti itu? Atau, bahkan Anda sendiri yang mengatakannya? Sebagai orangtua, Anda merasa memiliki kewajiban untuk memberikan bekal kehidupan bagi anak-anak semampu Anda.
Tujuannya tiada lain adalah untuk membuat anak-anak itu merasa tenang, aman, nyaman dan segala kebutuhannya bisa terpenuhi.
Begitulah pemikiran sejumlah orangtua. Sebuah pemikiran yang dipenuhi oleh semangat agar kehidupan generasi penerus di dalam keluarga menjadi lebih baik.
Berlatih Menderita?
Menghindari penderitaan adalah hal yang mustahil. Tidak ada kehidupan yang terdiri dari kesenangan-kesenangan, tanpa kesulitan. Sebaliknya, tidak ada kehidupan yang terdiri dari penderitaan melulu tanpa sedikit pun merasakan kesenangan atau kebahagiaan.
Oleh karena itu, ketika kehidupan kita kini relatif baik dan stabil dari segi ekonomi dan lainnya, maka perlu untuk melatih diri menghadapi hidup dalam penderitaan sebagaimana diajarkan dalam filsafat Stoisisme. Ya, melatih diri hidup dalam penderitaan.
Kalau boleh diandaikan dengan tentara, mereka berlatih justru di saat damai, bukan? Bukannya mereka berleha-leha saat tidak ada perang. Mereka berlatih keras dengan berbagai senjata di medan yang berat.
Maksudnya tiada lain adalah jika suatu saat keadaaan tidak lagi damai karena ada serangan musuh misalnya, maka mereka sudah siap untuk berperang. Jadi, mereka mesti bersiap-siap untuk berperang selagi negara dalam keadaan damai.
Seperti halnya para tentara, kita pun seyogianya berlatih menderita! Saya sering juga menyebut hal ini sebagai berlatih hidup prihatin! Hidup dalam kesusahan, kesulitan!
Wujudnya seperti apa? Misalnya, Anda yang makan tiga kali sehari mencoba makan hanya dua kali sehari. Misalnya, Anda biasanya berpakaian yang bagus, cobalah mengenakan pakaian yang sudah lama dan lusuh. Merasakan tidur di atas tikar tanpa kasur. Dan, lainnya.
Latihan hidup menderita itu cukup dilakukan dalam 2-3 hari saja dalam setahun sebagai cara untuk menggembleng diri dalam keprihatinan. Merasakan seperti apa penderitaan yang dialami oleh mereka yang menjalaninya dalam keseharian. Mau mencoba? Silakan.
Berlatih Keras dan Disiplin
Saya akan menambahkan sebuah contoh. Sebagai anggota (kenshi) Shorinji Kempo, kami dilatih dan berlatih dengan keras.
Setiap kali ada pemusatan latihan, kami akan digembleng menjadi kenshi yang kuat dan tahan banting, merasakan dan menghayati kesulitan dalam kesederhanaan hidup.
Kami berlatih sangat keras, penuh disiplin, semangat, patuh, dan tepat waktu. Siap menerima hukuman kalau salah.
Pagi-pagi sekali kami mesti bangun dan bersiap-siap untuk berlari keliling kota bersama-sama. Usai itu kami senam bersama dan latihan teknik dasar. Setelah diberikan kesempatan mandi sekaligus sarapan pagi beberapa saat, kami kembali berlatih.
Pada siang harinya ada kesempatan makan siang dan istirahat sejenak dan terus berlatih sampai senja bahkan terkadang hingga malam. Begitu yang kami lakoni selama 3-4 hari berturut-turut di tempat pemusatan latihan.
Tidak peduli apakah di antara kami ada yang bergelar profesor, doktor, dokter, dan perwira tinggi. Atau, sebagai pejabat tinggi, pengusaha, mahasiswa, guru, dosen, atau apa pun.
Kami diperlakukan sama dan dilatih dengan standard yang sama: penuh dengan kedisiplinan sampai akhirnya kami dinyatakan lulus dari latihan bersama (gashuku) itu.
Begitulah yang beberapa kali saya alami dan ikuti. Untuk apa? Apalagi kalau bukan untuk memantapkan teknik sekaligus merasakan hidup "menderita" dalam gemblengan para master (sensei) Kempo yang profesional dan mengasihi kenshi-kenshinya. Â
Menghitung Manfaat
Jika ditelusuri lebih jauh, terdapat beberapa manfaat yang bisa kita petik dengan berlatih menderita seperti ini.
Pertama, mempersiapkan diri apabila penderitaan hidup itu benar-benar datang menghampiri. Karena sesekali sudah berlatih menderita, kita akan menjadi lebih siap menghadapinya, lebih tangguh. Sama seperti pasukan tentara yang, karena sudah sering berlatih, jadi siap jika suatu waktu harus  berperang.
Kedua, bisa merasakan kehidupan orang-orang susah. Tidak cukup hanya merasa prihatin terhadap kehidupan mereka, melainkan sekali waktu kita merasakan penderitaan seperti mereka kendati kita buat dengan sengaja. Dengan begitu, berharap kita bisa menyelami kehidupan mereka sekaligus berempati terhadap mereka.
Ketiga, lebih menghargai kehidupan yang kita jalani. Kalau, misalnya, kita terbiasa makan serba enak, maka dengan makan sedikit dan sederhana dalam beberapa hari, kita akan bersyukur bisa makan enak selama ini.
Kalau kita terbiasa dengan pakaian yang berkualitas bagus dan berharga mahal, dengan sesekali berpakaian lama dan lusuh dalam beberapa hari, kita akan bisa mensyukuri dan menghargai pakaian bagus yang sering kita kenakan.
Tanpa menyelami hal yang lebih menderita atau lebih susah, kita tak akan kesulitan menghargai apa yang kita miliki, apa yang kita jalani. Hidup dalam penderitaan, kendati dalam sesaat, membuat kita menjadi manusia yang kian mengerti betapa besarnya karunia Tuhan kepada kita.
Alih-alih mengeluh, kita akan memilih menerima apa yang ada, rendah hati, dan hidup dalam rasa syukur yang tiada akhir.
Anda atau anak-anak Anda siap untuk mencoba sesekali menjalani kehidupan dengan menurunkan semua standar hidup kendati hanya untuk beberapa hari?
Filsuf Seneca dalam Letters pernah menulis,"Jika kamu ingin seseorang tak goyah saat krisis menghantam, maka latihlah ia sebelum krisis itu datang."
( I Ketut Suweca, 9 Agustus 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H