Pertanyaan yang patut diajukan kepada diri sendiri adalah ini: Apakah saya senang menulis di kompasiana?Â
Apakah saya merasa demikian bergairah saat menulis di kompasiana? Apakah saya selalu merasa terpanggil untuk menulis di kompasiana?
Jawaban Ya?
Jika atas pertanyaan sederhana itu Anda menjawab dengan "ya" maka Anda layak untuk meneruskan menulis di kompasiana, bahkan hingga  masa pensiun.Â
Kalau dengan menulis Anda merasa sama sekali tidak terbebani, merasa senang dan bahagia, dan menjalaninya dengan penuh gairah dan antusiasme, mengapa tidak memilih terus menulis ketika Anda sudah pensiun dari pekerjaan utama?
Kompasianer Bapak Tjiptadinata Effendi dan Ibu Roselina adalah contoh pasangan yang tetap aktif menulis di kompasiana hingga kini kendati beliau sudah lama pensiun dari pekerjaan dan sudah berusia lanjut.
Semangat beliau berdua mungkin menginspirasi kita yang lebih mudah untuk terus menulis.
Saya masih ingat kata-kata Pak Tjiptadinata Effendi pada salah satu artikelnya bahwa dengan menulis kita akan terhindar dari kepikunan. Dengan menulis pikiran menjadi tetap aktif dan tidak melempem.
Lahan yang Tidak Ditanami
Kalau pikiran tidak dimanfaatkan, ia sama saja dengan lahan yang tidak ditanami apapun. Sawah ladang yang tidak ditanami akan ditumbuhi tanaman liar dan semak-semak tidak berguna.
Demikian juga dengan pikiran. Jika pikiran kita tidak diarahkan dan diasah secara kontinu, bukan mustahil akan ditumbuhi oleh rumput-rumput negativitas yang membawa keterpurukan. Pikiran-pikiran negatif bisa tumbuh dengan suburnya.
Oleh karena itu, sangat penting untuk mengaktifkan dan mengarahkan pikiran ke hal-hal yang positif dan bermanfaat.
Di dalam pikiran tentu terpendam pengetahuan dan pengalaman selama menjalani hidup atau saat masih aktif bekerja sebelumnya. Ada banyak pengalaman dan pengetahuan yang tersimpan.
Nah, sayang sekali kalau pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan itu hanya untuk dibawa mati. Ikut dikubur ketika kita mati tanpa meninggalkan catatan apa pun.
Membaca Buku
Di samping itu, untuk bisa menulis secara berkesinambungan dan ada manfaatnya bagi pembaca, tentu kita mesti rajin menambah pengetahuan dari berbagai sumber.
Kita bisa membaca buku-buku yang kita minati. Paling tidak membaca perkembangan opini agar tetap aktual ketika hendak menulis.
Dengan demikian, kita bisa bagikan kepada khalayak pembaca sesuatu yang selalu memberikan unsur kebaruan di samping sejumlah pengalaman hidup yang barangkali berguna bagi orang lain.
Sampai di sini saya teringat dengan apa yang ditulis oleh sastrawan terkenal Pramoedya Ananta Toer yang ungkapannya banyak disitir oleh para penulis.
Dikatakannya, "Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari".
Selanjutnya dikatakan, "Menulislah, karena tanpa menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah."
Tepat sekali apa yang Pramoedya tulis. Pengalaman beliau mengajarkan betapa pentingnya menulis untuk meninggalkan jejak-jejak makna -- pinjam istilah Gede Prama, dalam kehidupan.
Dengan menulis kita bisa meninggalkan buah pikiran untuk dibaca orang lain. Tidak hanya untuk saat ini, bahkan bisa dibaca orang hingga kita sudah tiada.
Oleh karena itu, semangat menulis kendati sudah memasuki masa pensiun nanti, hendaknya bagai api nan tak kunjung padam.
Dengan menulis kita akan membawa pikiran tetap aktif, Â meninggalkan jejak yang bermakna, terhindar dari kepikunan, dan hidup sehat dan bahagia.
Jangan ragu, mari terus menulis.
(I Ketut Suweca, 8 Agustus 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H