Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Begini Cara Saya Menulis Artikel Opini untuk Koran

13 Juli 2021   04:19 Diperbarui: 16 Juli 2021   19:11 3868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulisan artikel dalam format opini sangat saya sukai. 

Tulisan jenis opini-lah yang sering saya buat dan kirim ke koran atau majalah, dulu. 

Mengenang itu, saya ingin berbagi sedikit tentang proses yang saya lakukan ketika berniat menulis di media massa cetak.

Menemukan Ide

Sebagaimana awal menulis pada umumnya, tentu saja saya mesti menemukan sebuah ide atau gagasan untuk ditulis. Tanpa gagasan, saya tidak bisa menulis, apalagi menulis dengan baik. Jadi, gagasan adalah milik pertama saya untuk kemudian saya rangkai ke dalam bentuk kata, kalimat, hingga menjadi sebuah artikel yang utuh.

Bagaimana saya mendapatkan gagasan? Ada banyak sekali caranya. Salah satunya adalah dengan mengikuti perkembangan pemberitaan yang ada di media. Saya perhatikan pemberitaan dan opini publik.

Nah, dari situ saya sering mendapatkan inspirasi penulisan dengan melihat permasalahan dari sudut pandang saya sebagai penulis.

Acapkali saya membuat corat-coret kecil terlebih dahulu untuk menyusun kerangka tulisan selaras dengan gagasan yang muncul. Corat-coret kecil, seadanya saja. Yang penting saya dapatkan pokok-pokok pikiran yang saya susun secara sistematis dan mengacu pada topik bahasan.

Mengetik Naskah

Setelah mendapatkan gagasan dan kerangkanya, barulah saya mulai mengetik. Sebelum kemunculan komputer atau laptop seperti sekarang ini, dulu saya menulis dengan menggunakan mesin ketik.

Sebelum diketik, saya akan membuat konsep lengkapnya dulu dengan tulisan tangan. Setelah konsep selesai sebagai draft pertama, barulah saya salin ke mesin ketik.

Mengetiknya mesti ekstra hati-hati. Jika salah, terpaksa harus di tip-ex alias diberi pemutih untuk menutupi bagian yang salah ketik.

Kalau bagian yang di-tip-ex itu lebih dari dua kata, misalnya, tampak sekali kita kurang cermat mengetik. Tampilan tulisan kita akan tampak kurang baik. Bopeng. Ini tidak baik di mata  redaksi koran yang akan menerimanya nanti.

Oleh karena itu, kehati-hatian dalam mengetik menjadi faktor penting. Dengan kehati-hatian itu, berharap tidak terjadi kesalahan ketik. Dengan demikian, naskah yang saya buat tampak rapi dan bersih dari kesalahan. Kesan pertama harus baik, begitu pikir saya.

Nah, singkat cerita, naskah yang saya susun sudah kelar. Sudah ada judul, ada lead yang menurut saya sudah enak dibaca, juga dilengkapi ending yang tidak kalah menariknya. Semuanya saya harapkan memberi kesan positif pada redaksi.

Menulis artikel untuk koran (Sumber gambar: track.fiverr.com)
Menulis artikel untuk koran (Sumber gambar: track.fiverr.com)

Membuat Surat Pengantar

Cukupkah sampai di situ? Tentu saja, belum. Masih ada langkah berikutnya agar naskah saya sampai di ruang redaksi sebuah koran. Apa lagi yang diperlukan? Tidak salah lagi, berilah naskah itu Surat Pengantar.

Di dalam surat pengantar ini saya paparkan secara singkat bahwa saya lampirkan sebuah artikel untuk kiranya bisa dimuat. Saya susun surat pengantar tersebut sedemikian rupa untuk menggugah redaksi memuat naskah saya di koran yang dikelolanya.

Ingat, Isi Identitas Diri

Tidak lupa di bagian bawah surat pengantar saya lengkapi dengan identitas diri, misalnya menyangkut nama lengkap, alamat, nomor telepon, pekerjaan, sedikit pengalaman menulis , no rekening, NPWP, dan apa lagi ya? Oh ya, terkadang redaksi juga membutuhan foto penulis untuk menyertai artikel opini.

Itulah yang saya isi di surat pengantar. Bagaimana kemudian mengirimkannya? Mudah saja. Dulu, semuanya dikirim melalui kantor pos, belakangan cukup dikirim melalui email saja. Tidak diperlukan lagi ongkos kirim seperti sebelumnya. Pengiriman melalui email sangat praktis dan efisien.

Setelah naskah terkirim, tunggu saja, apakah naskah itu akan dimuat atau tidak. Biasanya dibutuhkan waktu maksimal 10 hari untuk menentukan dimuat-tidaknya sebuat naskah yang saya kirim.

Ini kurun waktu pada umumnya khusus untuk koran harian. Untuk majalah mingguan dan bulanan, tentu waktu tunggu yang diperlukan lebih lama.

Sembari menunggu naskah dimuat -- atau ditolak Redaksi, saya akan isi waktu dengan menulis artikel berikutnya. Jadi, saya tidak mesti duduk bengong memikirkan nasib naskah yang dikirim. Saya manfaatkan waktu untuk menulis lagi.

Menunggu Honorarium?

Pemuatan naskah, berdasarkan pengalaman saya, maksimal sepuluh hari sejak pengirimannya. Biasanya sekitar seminggu naskah sudah dimuat di koran. Bahkan, sekali waktu, dalam 3 hari naskah saya sudah muncul menghiasi halaman koran. Senangnya melihat tulisan nongol di halaman Opini, berdampingan dengan Tajuk Rencana.

Setelah itu, lalu apa? Ya, tinggal menunggu honorarium atas naskah tersebut. Honornya biasanya dikirim melalui nomor rekening yang dicantumkan di surat pengantar. Jika rajin menulis dan dimuat, maka pastilah isi rekening kita akan tambah gendut, he he he.

Honor ini bisa dipakai untuk membeli buku bacaan atau mentraktir bakso para sahabat sekali waktu. Apalagi kalau bukan untuk menghadiahi diri sendiri atau syukuran bersama pada sahabat.

Etika Itu Penting

Satu hal yang penting, jangan mengirim satu naskah yang sama secara bersamaan kepada dua atau lebih media yang berbeda pada kesempatan yang sama. Hal ini dipandang sangat tidak etis. 

Si penulis bisa di-blacklist oleh koran kalau terbukti sudah melakukan hal itu. Boleh jadi tulisan yang kita kirim berikutnya tidak akan pernah dimuat lagi. Jadi, etika yang berlaku mesti dipegang dengan baik.

Sebuah tulisan baru boleh dikirim setelah kita memastikan bahwa tulisan itu ditolak oleh redaksi yang dikirimi pertama. Setelah itu -- sesudah diedit di sana-sini yang kira-kira masih perlu perbaikan, barulah boleh dicoba dikirim lagi ke media berikutnya. Itu pun kalau kita masih yakin naskah itu memang bermanfaat dan memiliki kualitas yang baik.

Satu kebanggaan yang saya rasakan ketika menulis di koran adalah ketika naskah yang saya kirim, dimuat. Melihat artikel tersebut nampang di kolom Opini, wow, alangkah bahagianya. Kebahagiaan tiada tara yang dirasakan seorang penulis yang tengah berproses menjadi lebih baik.

( I Ketut Suweca, 13 Juli 2021).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun