Persoalan pendidikan anak perempuan sebenarnya sudah lama menjadi perbincangan. Terutama sejak didengung-dengungkannya emansipasi wanita yang dilanjutkan dengan wacana dan program intensif keseteraan gender.
Kurang Mendapat Perhatian
Pada zaman dulu, pendidikan terhadap anak perempuan kurang mendapatkan perhatian. Pada saat itu, orang masih beranggapan bahwa perempuan hanya berperan di tiga tempat, di kasur, di dapur, dan di sumur (mencuci, maksudnya). Tentu saja juga -- terutama, mengandung, melahirkan, dan mengurus anak.
Perempuan pun terkadang kurang dihargai. Mereka tidak boleh terlibat dalam pengambilan keputusan apa pun di dalam keluarga, termasuk perkara menikah dengan siapa. Â
Setelah berkeluarga pun perempuan mesti mengikuti apa kata suami, entah si suami benar atau salah. Tidak boleh membantah suami, hanya boleh ngedumel dalam hati, he he he.
Perempuan zaman dulu jarang mengenyam pendidikan. Mendapat pendidikan SD dan SMP saja sudah beryukur. Sangat langka yang sampai mengenyam pendidikan hingga SMA, apalagi hingga Perguruan Tinggi.
Masyarakat masih terkooptasi dengan cara berpikir, untuk apa bersekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan kembali ke dapur. Begitu kata-kata yang beredar. Dalam praktiknya pun tidak berbeda, tempoe doeloe.
Akan tetapi, apa yang terjadi zaman sekarang? Perempuan sudah mendapatkan hak kesetaraannya. Duduk dan berdiri, selalu sejajar dengan laki-laki.
Itu semua berkat perjuangan emansipasi dan keberhasilan program kesetaraan gender. Perempuan banyak yang menempuh pendidikan tinggi dan berkarier di berbagai lapangan pekerjaan.
Menjadi Seorang Psikolog
Di dalam keluarga kecil saya, misalnya, saya selalu mengupayakan kesetaraan pendidikan anak laki-laki dan perempuan. Mereka mesti mendapatkan pendidikan yang baik. Begitulah selalu harapan saya harapkan selaku orangtua terhadap kedua anak kami.
Anak perempuan saya yang sulung berhasil menamatkan S1 di Universitas Indonesia (UI) dan S2 di Universitas Katolik Indonesia (UNIKA) Atma Jaya, Jakarta. Kini ia sudah berhak mendapat sebutan psikolog karena menamatkan kuliah di S2 Psikologi Profesi Khusus Klinis Dewasa.
Ia mulai berpraktik setelah mendapatkan ijin praktik dari Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi). Ia menangani banyak klien yang memiliki masalah psikologis.
Hari-harinya dipenuhi oleh kegiatan melayani klien yang membutuhkan konsultasi dan terapi psikologi. Ia juga sering mengisi webinar seputar ilmu yang dikuasainya, termasuk mindfulness meditation (meditasi kesadaran).
Pada zaman modern ini rupanya semakin banyak saja orang menghadapi masalah kejiwaan, dari yang paling ringan hingga yang berat. Ditambah lagi dengan deraan pandemi yang belum juga usai. Akibatnya, semakin bertambah tekanan-tekanan psikologis yang dialami masyarakat.
Bagi yang tidak mampu mengatasinya sendiri, akhirnya mereka harus berkonsultasi dan mendapatkan bantuan dari seorang psikolog.
Begitulah anak sulung saya sejak tahun lalu sudah menangani klien yang mengalami masalah dengan kejiwaan.
Saya sungguh bersyukur bisa memberikan pendidikan yang cukup untuknya kendati membutuhkan biaya yang cukup besar.
Saya berharap dengan bekal ilmu yang diperolehnya, ia akan bisa mendapatkan penghasilan yang memadai sehingga bisa mandiri sekaligus bisa pula menolong orang lain.
Bekerja Sambil Kuliah
Anak saya yang kedua, bungsu, juga kuliah S1-nya di PTN yang sama dengan kakaknya di kawasan Depok, Jakarta. Berbeda dengan kakaknya yang mengambil psikologi, si bungsu ini justru tertarik pada bidang teknik.
Ketertarikannya dengan bidang komputer sudah tampak sejak SMA. Ia sering mengikuti berbagai lomba pemrograman komputer. Akan tetapi, saat mendaftar kuliah ia bergeser sedikit dari kesukaannya itu. Ia memilih Teknik Elektro.
Ternyata ia menyukai ilmu itu dan berhasil menyelesaikan studinya dalam waktu 3,5 tahun dengan predikat cumlaude. Apakah kemudian ia melanjutkan ke jenjang S2 teknik elektro juga?
Ternyata pilihannya berubah. Setelah bekerja di dunia perbankan selama 3 tahun begitu tamat S1, akhirnya ia menemukan minat barunya. Kalau sebelumnya ia menyukai  bidang keteknikan, kali ini ia mengaku sangat tertarik dengan bidang bisnis.
Nah, darimana asal-muasalnya sehingga ia suka bidang bisnis ini? Rupanya dia kepincut dengan bidang bisnis setelah bekerja di dunia perbankan dan fintech selama tiga tahun.
Dari pengalaman tersebut, ia berkeinginan mendalami ilmu bisnis dengan mengambil Master of Business Administration (MBA) di SBM-ITB Jakarta.
Untuk sekadar dimaklumi, program MBA Institut Teknologi Bandung (ITB) tidak hanya ada di Bandung, juga ada di Jakarta sejak belasan tahun lalu.
Ia baru saja berhasil diterima sebagai mahasiswa di situ setelah menjalani proses seleksi. Perkuliahan akan dimulai pada Agustus 2021. Tentu saja dia mesti mempersiapkan segala sesuatunya untuk kembali belajar.
Pernah Melamar di UCL
Sebenarnya, dia memiliki keinginan untuk meneruskan kuliah di luar negeri dengan bantuan pendanaan dari lembaga pemberi beasiswa. Ia terobsesi kuliah di University College London (UCL).
Dua kali mencoba melamar di universitas yang termasuk dalam ranking 10 besar dunia itu, tapi tidak berhasil. Padahal, nilai IELTS-nya rata-rata 7,5 dan TOEFL 620. Sedangkan, nilai TPA-nya juga 620.
Persaingan di universitas yang dituju rupanya demikian ketat dan mungkin ada banyak sekali para calon mahasiswa yang sangat pandai mengikuti seleksi di sana. Dua kali melamar dan tidak diterima, akhirnya ia mengambil jalan tengah, kuliah sambil bekerja di dalam negeri.
Pilihannya akhirnya jatuh di program studi Business Leadership Excecutive MBA yang dikenal dengan singkatan BLEMBA-ITB.
Di antara beberapa pilihan yang tersedia, ia memutuskan memilih program studi ini. Ia berharap akan mendapatkan ilmu dan kemampuan manajemen dan leadership sebagai bekal dalam berkarier.
Saya sebagai orangtua tentu saja mendoakan dan memberikan dukungan sebisa-biasanya sehingga dia mampu meneruskan studinya dengan baik sambil bekerja, persis seperti yang saya lakukan juga dulu.
Dengan bekal ilmu pengetahuan, saya yakin anak-anak akan bisa mandiri dan mampu menyiasati hidup dan kehidupan dengan baik. Ilmu pengetahuan merupakan bekal terbaik bagi anak-anak dalam menapaki karier dan kehidupan mereka.
Ini hanyalah contoh kasus kecil yang saya dan keluarga lakukan. Saya berharap, tidak ada lagi diskriminasi di sektor pendidikan terhadap anak perempuan khususnya.
Tugas sebagai orangtua adalah mengantarkan anak-anak mendapatkan pendidikan terbaik yang bisa diraih. Mereka, laki-laki dan perempuan, berhak untuk maju. Pendidikan adalah bekal utamanya.
(Â I Ketut Suweca, 3 April 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H