Tidak menyalahkan siapa pun, melainkan diri sendiri, mengapa saya tidak mengedit sendiri buku itu dengan baik di awal-awal sebelum dibawa ke penerbit sehingga hasilnya lebih memuaskan. Juga, tidak memaksakan buku itu diperkenalkan saat acara bedah buku di kampus!
Saya ingin sekali menyunting kembali draft buku itu dan menerbitkan ulang dengan jumlah yang terbatas. Setiap kali melihat buku saya itu, saya merasa sedih.
Karena saya yakin ada banyak nilai-nilai baik pada isi buku itu, akhirnya saya sumbangkan saja ke sejumlah perpustakaan. Tidak ada satu pun yang saya jual. Saya permaklumkan kepada petugas perpustakaan bahwa buku itu masih jauh dari sempurna.
Inilah pelajaran yang sangat berharga, betapa pentingnya melakukan penyuntingan secara ketat ketika sebuah naskah buku masih dalam rancangan.
Penyuntingan Artikel
Tidak hanya pengalaman dalam penulisan buku mengajarkan saya betapa pentingnya penyuntingan atau editing itu.
Ketika membuat naskah artikel untuk saya unggah di kompasiana pun mengharuskan saya -- dan kita, melakukan penyuntingan dengan baik.
Hal itu sudah saya lakukan, bisa dua-tiga kali penyuntingan sebelum akhirnya saya unggah. Begitu saya yakin artikel tersebut sudah lengkap, terutama tidak salah ketik, maka segera saya publish.
Seperti diketahui, begitu di-upload, artikel langsung tayang di platform ini. Nah, ketika sudah tayang, saya pasti akan segera membaca kembali artikel tersebut dengan pertanyaan dalam hati, masihkah ada kesalahan ketik atau kesalahan lainnya?
Apa yang terjadi? Ternyata ada saja bagian-bagian artikel tersebut yang masih salah. Kebanyakan salah ketik. Sebagian ada pula terselip kata yang tidak perlu. Terkadang ada kata-kata yang janggal alias tidak mengalir ketika saya baca kembali.
Biang kerok kesalahan itu terjadi justru pada saat saya melakukan penyuntingan. Ketika, misalnya, saya mengedit satu-dua kata dalam sebuah frase, saya tidak memerhatikan kalimatnya secara keseluruhan.